Menag Nasaruddin Sarankan Gunakan Bahasa Agama dalam Mengomunikasikan Kebijakan Pemerintah | IVoox Indonesia

July 1, 2025

Menag Nasaruddin Sarankan Gunakan Bahasa Agama dalam Mengomunikasikan Kebijakan Pemerintah

Menteri Agama Nasaruddin Umar
Menteri Agama Nasaruddin Umar saat menjadi pembicara pada Retret Kepala Daerah Gelombang II di Balairung Rudini, Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Kamis (26/6/2025). IVOOX.ID/doc Kemenag

IVOOX.id – Menteri Agama Nasaruddin Umar menekankan pentingnya penggunaan bahasa agama dalam menyampaikan kebijakan publik, termasuk oleh para kepala daerah. Menurutnya, bahasa agama memiliki kekuatan tersendiri untuk menyentuh nurani masyarakat, karena merupakan bagian dari keseharian mereka.

"Bahasa masyarakat itu, mereka itu sehari-hari menggunakan bahasa agama. Sadar atau tidak sadar, kita juga menggunakan \[bahasa] religius lainnya, bahasa agama itu. Jadi kalau Bapak-Ibu menggunakan bahasa agama, di mana pun juga berada, \[yang kita ajak bicara] pasti mendongak," ujar Nasaruddin dalam keterangan resmi yang diterima ivoox.id Kamis (26/6/2025).

Ia menjelaskan bahwa pemimpin perlu memadukan dua pendekatan komunikasi, yakni bahasa induktif dan kuantitatif. Bahasa induktif dimulai dari akar rumput atau suara masyarakat, sementara bahasa kuantitatif menyampaikan pesan berbasis data konkret agar lebih meyakinkan.

“Coba kita lihat Pak Prabowo itu mengabsen pejabatnya satu per satu. Itu jauh lebih menyentuh daripada \[menyebut] ‘Yang terhormat Bapak-Ibu sekalian’. Itu menyentuh batin, kan,” ucapnya, mencontohkan gaya komunikasi yang menyentuh emosi publik.

Ia menekankan pentingnya menyampaikan informasi secara terang, disertai angka atau data yang mudah dipahami masyarakat. Hal ini diyakini dapat meningkatkan efektivitas komunikasi kebijakan publik.

Lebih jauh, Nasaruddin mengingatkan bahwa meskipun seorang kepala daerah bukanlah tokoh agama, ia tetap perlu memahami simbol-simbol bahasa religius masyarakat yang dipimpinnya.

“Walaupun Bapak bukan ahli agama, bukan praktisi (tokoh) agama, tapi begitu Bapak menjadi pejabat publik di Republik Indonesia ini, apa pun agamanya harus menguasai simbol-simbol bahasa agama masyarakat yang dipimpin,” katanya.

Dalam konteks bernegara, ia juga menyinggung pentingnya pemahaman tentang moderasi beragama. Menurutnya, yang perlu disesuaikan bukanlah isi ajaran agama, melainkan cara menghayati dan menjalankannya agar sejalan dengan kemajuan zaman.

“Kita tidak kompeten mengubah bibel, mengubah ayat. Tapi cara beragama kita itu yang perlu berubah. Tanpa harus mengubah teks kitab suci kita. Itu yang disebut dengan moderasi beragama,” katanya.

0 comments

    Leave a Reply