Melindungi Ruang Tangkap Agar Nelayan tak Makin Terhimpit | IVoox Indonesia

October 11, 2025

Melindungi Ruang Tangkap Agar Nelayan tak Makin Terhimpit

100725-Nelayan2
ILUSTRASI - peran negara sangat dibutuhkan untuk melindungi ruang hidup nelayan, memberi akses alat dan bahan bakar yang adil, serta memastikan resiliensi mereka benar-benar menopang keberlanjutan hidup dan masa depan laut Indonesia. IVOOX.ID/AI

IVOOX.id - Sore menjelang malam hari, suasana di Jalan Muara Karang Raya, Jakarta Utara, begitu ramai. Mobil-mobil terparkir di depan aneka restoran atau pun mini market.

Kawasan kuliner ini dipenuhi hiruk-pikuk pengunjung yang baru saja datang selepas jam kerja. Lalu lintas merayap, mobil dan motor berebut ruang parkir di tepi jalan. Dari sisi kiri dan kanan, deretan restoran seafood, café, rumah makan chinese food, hingga gerai cepat saji tampak ramai oleh keluarga dan anak-anak muda yang bercengkerama.

Lampu-lampu kedai dan restoran saling beradu terang. Aroma udang, kepiting, dan cumi yang ditumis atau dibakar menyeruak ke jalan, menambah semarak suasana sore menjelang malam itu.

Suasana yang berbeda dapat mulai dirasakan saat memasuki pemukiman nelayan yang letaknya tidak terlalu jauh dari situ. Tak ada lagi deretan mobil yang berjejer, melainkan perahu-perahu cumi, perahu yang dirancang khusus untuk menangkap cumi-cumi pada malam hari, yang bersandar di tepian jembatan kayu.

Rumah-rumah kecil berdempetan, suara motor saling bersahutan, dan udara dipenuhi aroma amis bercampur asin yang semakin pekat seiring langkah semakin jauh ke dalam. Kontrasnya begitu terasa: dari gemerlap restoran dan hiruk-pikuk kota, berganti menjadi suasana khas perkampungan nelayan yang hidup berdampingan dengan laut.

Di ujung sebuah jalan yang sempit, berdiri sebuah bangunan sederhana bercat hijau yang sebagian besar terbuat dari kayu. Sebuah papan kayu bertuliskan “Warung Riky Putra” tergantung di atas pintu.

Warung itu menjadi tujuan penulis malam itu. Meski tampak sederhana, suasananya hangat. Sebuah televisi kecil menyala di sudut, ditemani lampu bohlam yang menggantung di tengah ruang, menjadi pusat hiburan sekaligus penerang.

Di teras bambu dan lorong kayu yang menghubungkan warung dengan perahu-perahu bersandar, para nelayan kerap menambal jaring, merajut, bahkan membuat jaring baru. Lebih dari sekadar tempat berjualan, warung ini merupakan salah satu simpul kehidupan sosial nelayan Muara Angke: tempat beristirahat, menyiapkan alat tangkap, bercengkerama, hingga berbagi cerita tentang laut dan hasil tangkapan.

Di antara obrolan yang mengalir malam itu, seorang nelayan menuturkan bagaimana ia pertama kali mengenal alat tangkap bernama rejung. Kisahnya bermula sekitar tahun 2015, ketika ia masih mengandalkan hasil tangkapan rajungan dengan perahu kecil. Saat itu, ia berjumpa dengan seorang nelayan lokal yang lebih dulu memakai metode tangkap berbeda.

Dari percakapan santai itulah ia mendengar istilah “rejung”. Rasa ingin tahu mendorongnya mendatangi langsung pembuat alat tersebut untuk melihat proses perakitan. Berbekal pengalaman lama menggunakan perangkap rajungan, ia cepat memahami tekniknya dan akhirnya mampu merangkai sendiri.

Kala itu, ia menjadi satu-satunya nelayan di lingkungannya yang memiliki rejung. Ia juga sempat meminjamkan jaring rejung tersebut kepada rekan sesama nelayan yang sering beraktivitas di sekitar Kali Adem.

Perlu ditekankan di sini bahwa penggunaan jaring rejung bukan sekadar soal alat baru. Ia lahir di tengah guncangan proyek reklamasi yang mempersempit ruang laut dan mengurangi hasil tangkapan, yang membuat nelayan harus putar otak untuk tetap bisa hidup dari laut.

Dampak reklamasi

Sekitar tahun 2015, proyek reklamasi di Pantai Utara Jakarta masih berjalan. Meski resmi dihentikan pada 2018, dampaknya sudah terlanjur dirasakan nelayan Muara Angke. Banyak habitat dan area tangkap tradisional hilang, membuat hasil tangkapan turun drastis.

Jika dulu mereka bisa membawa pulang lebih dari 10 kilogram rajungan, kini sering kali tak sampai separuhnya. Padahal harga rajungan sempat stabil di kisaran Rp40.000 hingga Rp45.000 per kilogram pada akhir 2024 hingga awal 2025.

Situasi ini memaksa nelayan mencari cara lain untuk bertahan. Ada yang menambah jenis tangkapan dengan jaring rejung, ada pula yang memperbanyak jumlah jaring rajungan. Hasilnya memang tidak besar, apalagi harga ikan rejung hanya Rp20.000–Rp25.000 per kilogram, hanya cukup untuk menyambung hidup.

Masalah lain muncul ketika musim hujan tiba. Pabrik memanfaatkan derasnya aliran sungai untuk membuang limbah ke laut. Air jadi keruh, ikan dan rajungan berkurang, sementara jaring nelayan penuh dengan sampah plastik dan lumpur. Akibatnya, tangkapan semakin sedikit dan pekerjaan mereka bertambah berat.

Untuk mengatasinya, sebagian nelayan terpaksa melaut lebih jauh hingga ke Pulau Bidadari. Namun langkah ini menambah biaya: solar yang biasanya cukup dua liter sekali jalan, kini harus empat sampai lima liter, dengan harga Rp10.000 per liter karena dibeli di warung nelayan.

Cerita-cerita dari warung kecil ini memperlihatkan kerasnya tekanan struktural dan ekologis yang mereka hadapi. Meski begitu, para nelayan tidak menyerah. Dengan berbagai cara sederhana mulai dari inovasi alat, memperluas wilayah jelajah, hingga mengandalkan solidaritas sesama, mereka terus berusaha bertahan. Di balik kerentanan yang tampak, ada daya lenting yang membuat mereka tetap bisa melanjutkan hidup dari laut.

Resiliensi sebagai jalan keluar

Menurut Reivich dan Shatté, resiliensi adalah kemampuan untuk bertahan dan menyesuaikan diri ketika hidup menghadirkan tekanan. Ketangguhan ini tampak jelas dalam keseharian nelayan Muara Angke.

Mereka tetap tenang meski hasil rajungan menurun, mencari cara baru dengan jaring rejung, melaut lebih jauh saat laut tercemar, hingga menambah jenis tangkapan agar penghasilan tetap ada. Rasa empati juga hidup di antara mereka melalui berbagi alat, sementara keyakinan diri mendorong mereka membuat jaring sendiri dan berani mencoba peluang baru.

Namun daya lenting itu tidak cukup menjamin keberlangsungan hidup. Reklamasi, pencemaran, dan mahalnya biaya operasional tetap menekan dari luar kendali mereka. Karena itu, peran negara sangat dibutuhkan untuk melindungi ruang hidup nelayan, memberi akses alat dan bahan bakar yang adil, serta memastikan resiliensi mereka benar-benar menopang keberlanjutan hidup dan masa depan laut Indonesia.

Rekomendasi strategis

Di tengah tekanan pembangunan pesisir dan tantangan ekologis yang semakin kompleks itu, nelayan tradisional menghadapi ancaman terhadap ruang hidup dan sumber penghidupan mereka. Pemerintah memiliki peran krusial dalam memastikan keberlanjutan sektor perikanan rakyat melalui kebijakan yang berpihak dan responsif terhadap realitas di lapangan.

Sejumlah rekomendasi yang perlu segera diimplementasikan adalah, pertama, menjamin perlindungan ruang tangkap tradisional. Pemerintah perlu memastikan reklamasi atau pembangunan tanggul laut tidak lagi mengorbankan area tangkap tradisional. Perlindungan kawasan perairan dangkal (in-shore) yang menjadi sumber utama rajungan, rejung, dan berbagai komoditas laut lainnya harus dijamin melalui regulasi yang jelas. Tanpa perlindungan ruang tangkap, keberlanjutan ekonomi nelayan akan terus terancam.

Kedua, mengendalikan pencemaran laut. Penegakan hukum terhadap pabrik yang membuang limbah ke laut harus lebih tegas karena pencemaran laut akibat limbah industri telah merusak ekosistem pesisir dan mengganggu hasil tangkapan nelayan. Selain itu perlu dibangun sistem pemantauan berbasis komunitas nelayan. Dengan melibatkan nelayan sebagai pengawas lingkungan, efektivitas kontrol limbah dapat meningkat dan rasa kepemilikan terhadap laut pun tumbuh.

Ketiga, menyediakan bantuan alat tangkap. Banyak nelayan di Muara Angke dan wilayah pesisir lainnya masih menggunakan alat tangkap seadanya. Pemerintah wajib hadir melalui program bantuan alat tangkap yang inklusif dan tidak diskriminatif. Bantuan harus diberikan tanpa memandang asal KTP, karena laut adalah ruang hidup bersama dan hasil tangkapan mereka turut menyuplai kebutuhan pangan laut masyarakat luas.

Keempat, memastikan akses bahan bakar yang merata. Solar bersubsidi merupakan kebutuhan vital bagi nelayan kecil, namun akses terhadapnya sering terhambat oleh syarat administratif yang rumit, termasuk keterbatasan dokumen kependudukan.

Pemerintah perlu menyederhanakan mekanisme distribusi bahan bakar agar nelayan kecil tidak terus dirugikan. Keadilan akses energi adalah fondasi penting bagi keberlanjutan usaha perikanan rakyat.


Penulis: Muhammad Haidar Allam

Peneliti di Populi Center

Sumber: Antara

0 comments

    Leave a Reply