Melestarikan Tradisi Sema Antau Sema Nagori di Riau
Melestarikan Tradisi Sema Antau Sema Nagori di Riau
IVOOX.id - Pagi itu sekerumun awan tengah menggantung di langit-langit desa. Tembok-tembok rumah masih membayang dingin. Di dalamnya, para datuk duduk bersila. Para pemimpin adat sedang mematangkan rencana pelaksanaan Sema Antau Sema Nagori. Tradisi lama di Kenegerian Malako Kociak, Desa Tanjung Beringin, Kabupaten Kampar, Riau.
Datuk Pucuk Kenegerian Malako Kociak Ajismanto mengatakan, Sema Antau Sema Nagori merupakan tradisi penghapusan dosa antarsesama dan sekaligus bentuk hubungan sakral antara anak keturunan dengan leluhur mereka.
Secara administratif, Kenegerian Malako Kociak berada dalam kawasan lindung suaka margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling. Namun, secara adat, daerah itu masuk dalam teritori Kerajaan Rantau Kampar Kiri atau Gunung Sahilan, yang saat ini dipimpin Sri Paduka Raja XII Tengku Muhammad Nizar.
Kenegerian Malako Kociak sendiri dipimpin oleh dua datuk atau “godang duo sekato”, yakni Datuk Pucuk dan Datuk Senaro. Datuk Pucuk mengemban amanah di darat, sementara Datuk Senaro bertanggung jawab di sungai. Keduanya memimpin lima suku, Domo Bukit, Domo Baua, Melayu, Amputopang, dan Caniago.
Datuk Pucuk menyebutkan, tradisi Sema Antau Sema Nagori dimulai dengan pencarian kerbau. Kerbau dicari di luar desa yang berjarak sekitar 1 jam perjalanan menggunakan piyau atau perahu motor. Piyau merupakan satu-satunya moda transportasi antardesa di sana. Dan dengan piyau jualah kerbau untuk pelaksanaan tradisi Sema Antau Sema Nagori itu diangkut.
Tak mudah memindahkan hewan bertanduk seberat 500 kilogram itu ke atas piyau. Perlu tenaga enam orang lebih untuk mengangkatnya. Dan perlu jam terbang lebih lama untuk mengikat dan menenangkannya selama berada di atas piyau.
Datuk Pucuk menyebutkan, kerbau tersebut akan disembelih di desa, bagian dagingnya akan dibagikan kepada warga tanpa kecuali, sementara bagian kerangka kepala disiapkan untuk dilarung dalam prosesi puncak. “Dilarung persis di ujung (batas) desa bagian hulu, di atas aliran Sungai Subayang,” katanya.
Datuk Pucuk menambahkan, penyembelihan dan pembagian daging kerbau harus sudah selesai sebelum waktu penjemputan raja atau sebelum tengah hari.
Sesuai tradisi, Raja akan dijemput Datuk Pucuk menggunakan piyau berkajang kain dengan dominasi warna kuning, warna kebesaran Kerajaan Rantau Kampar Kiri. Piyau tersebut akan menjadi kendaraan raja dan rombongan kerajaan selama helatan Sema Antau Sema Nagori. “Kedatangan raja akan diiringi musik calempong dan beberapa perangkat ritual lain. Besoknya, baru dilanjutkan dengan ziarah makam dan pelarungan kerangka kepala kerbau,” kata dia.
Ziarah makam adalah bentuk penghormatan warga Kenegerian Malako Kociak kepada leluhur mereka. Terdapat dua makam yang menjadi tempat tujuan ziarah, yakni makam Datuk Pagar dan Datuk Darah Putih. Datuk Pagar merupakan sosok yang diriwayatkan mampu berinteraksi dengan satwa kunci di sana, yakni Harimau Sumatra, sementara Datuk Darah Putih merupakan seorang dukun kampung yang dalam riwayatnya disebut memiliki darah berwarna putih.
Dalam rangkaian ziarah itu, mereka melangitkan doa-doa, untuk yang telah lalu dan yang sekarang masih hidup. “Kita mendoakan keselamatan untuk leluhur dan keamanan untuk kampung, baik yang beraktivitas di darat ataupun di air,” katanya.
Selanjutnya, pada puncak ritual kerangka kepala kerbau yang telah disiapkan akan dilarung dari atas piyau oleh Datuk Sinaro, dengan disaksikan Raja, dan warga. Pelarungan sendiri dilakukan di atas aliran Sungai Subayang, di perbatasan Desa Tanjung Beringin dengan Desa Gajah Bertalut.
Datuk Pucuk berharap, tradisi itu bisa terus diwariskan ke generasi-generasi berikutnya.
“Sumpah Sotiah di Muaro Bio.
Surek tekarang Muaro Semangi.
Batu di butir Pulau Angkako.
Dicampuang ke Lubuk ALai.
Tidak boleh dibongkar dibangkit lagi”, tutup dia.
Foto dan teks : Wahdi Septiawan
Editor: Akbar Nugroho Gumay

0 comments