Kualitas SDM Jadi Tantangan Industri Keuangan Syariah | IVoox Indonesia

July 14, 2025

Kualitas SDM Jadi Tantangan Industri Keuangan Syariah

Mandiri-Syariah-1

IVOOX.id, Jakarta - Walaupun tampak menggeliat, pertumbuhan industri keuangan syariah sulit lepas dari jeratan 5% tiap tahunnya. Masih kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni menjalankan industri ini disebut-sebut sebagai penyebabnya.

Ahli keuangan syariah dari Universitas Durham, Inggris, Habib Ahmed tak ayal menganggap persoalan pengadaan SDM yang berkualitas mesti diselesaikan terlebih dahulu jika ingin mendorong potensi industri keuangan syariah. Pasalnya, kebanyakan SDM syariah saat ini masih berasal dari industri keuangan konvensional.

Ia pun menyadari bahwa pemenuhan tenaga yang berkualitas untuk industri ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Harus diakui, diperlukan sebuah proses jangka panjang yang belum bisa dilakukan dalam waktu cepat.

"Ini memang merupakan proses jangka panjang yang membutuhkan waktu. Kita butuh lulusan yang benar-benar memahami prinsip syariah di tingkat keahlian praktis karena banyak juga teori yang sulit diterapkan dalam kehidupan nyata," tutur alumnus Univeristas Durham ini seperti dilansir Antara, Sabtu (7/7).

Namun ia percaya, jika SDM mumpuni telah mencukupi, pertumbuhan industri keuangan syariah akan kian cerah. Ini karena kebutuhan SDM merupakan hal terpenting untuk mendorong literasi maupun meningkatkan potensi sektor ini.

Terkait industri yang satu ini, pemahaman masyarakat memang masih minim. Berdasarkan data dari Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2016, tingkat literasi keuangan syariah hanya 8,11% dari total penduduk Indonesia. Jumlah yang minim memang.

Tingkat Inklusi Minim

Selain SDM, menurut Ahmed, masih ada tantangan lain terhadap industri keuangan syariah. Tantangan tersebut, yakni produk syariah yang belum terlalu diminati masyarakat dan masih kalah bersaing dengan produk yang ditawarkan oleh bank konvensional.

Untuk mengatasi hal tersebut, Ahmed berharap ada sinergi antara perbankan syariah dengan masyarakat, khususnya para pelaku usaha kecil yang bisa menjadi nasabah potensial dalam mendapatkan pembiayaan.

"Industri keuangan syariah harus mulai bersinergi dengan kebutuhan pasar, seperti pelaku UMKM atau masyarakat menengah ke bawah. Jadi, harus mencari pasar baru yang belum digarap dan strategi khusus untuk melayani," paparnya.

Sebagai informasi, tak hanya tingkat literasi industri keuangan syariah yang minim. Di 2016, tingkat iklunsi keuangan syariah nasional hanya berada di angka 11,06%. Kalah jauh dibandingkan inklusi keuangan konvensional yang berada di angka 67,82% di tahun yang sama.

Pemanfaatan teknologi digital seperti fintech dianggap bisa menjadi alternatif inovasi untuk mencari nasabah. Hanya saja, untuk pemanfataannya diperlukan regulasi yag mapan.

“Memang transaksi digital masih membutuhkan platform yang jelas dan berbagai isu syariah yang harus dipenuhi agar tidak kesulitan menjual produk," ujarnya.

Solusinya, menurut dia, para penyedia jasa teknologi finansial mesti mempunyai konsultan yang mempunyai keahlian dalam bidang ekonomi syariah. Tujuannya supaya produk yang diluncurkan benar-benar sesuai prinsip syariah.

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI), Ronald Yusuf Wijaya melihat, sebenarnya yang menjadi tantangan terbesar pengembangan fintechsyariah ada literasi keuangan masyarakat yang masih minim, khususnya bagi produk berbasis syariah.

Padahal, potensi perkembangan fintech syariah sangat besar. Ini mengingat Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak dengan jumlah pengguna internet yang sangat besar.

"Kalau ada konsep fintech, seharusnya ini menjadi benefit untuk industri syariah, karena populasi muslim kita terbesar di dunia," ujarnya.

Sama seperti Ahmed, masalah regulasi pun menjadi tantangan lain untuk pengembangan fintech syariah. Ini terkait proses pendaftaran perizinan ke otoritas terkait yang masih memakan waktu lama.

Untuk diketahui, proses perizinan fintech syariah tidak hanya melalui direktorat industri keuangan nonbank di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pelaku usaha juga mesti bertandang ke Majelis Ulama Indonesia untuk pengajuan fatwa.

"Proses pengajuan izin fintech syariah saat ini harus ke IKNB, kemudian ke MUI, pemerintah bisa mendukung supaya percepatan terjadi," tegas Ronald seperti dilansir Antara, Jumat (6/7).

Dari menjamurnya fintech di Indonesia, jumlah perusahaan yang telah memperoleh izin memang masih minim. Per Juni kemarin, baru ada 64 usaha fintech yang mendapatkan izin otoritas. Dari angka tersebut, hanya dua yang berstatus syariah, yakni Ammana dan Danasyariah.

Dari kondisi keuangannya, sektor perbankan syariah tampil cukup apik. Contohnya berdasarkan Statistik Perbankan Syariah, hingga April 2018, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) bank umum syariah secara nasional berada di angka 17,93%. Angka ini meningkat 1,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

CAR bank umum syariah terdiri atas modal dengan nilai Rp31,87 triliun. Sementara itu, nilai aktiva tetap menurut risiko berada di angka Rp177,71 triliun.

0 comments

    Leave a Reply