Korporasi Petani Singkong, Peluang Dan Tantangan Petani Milenial Memajukan Ekonomi Pedesaan Lampung | IVoox Indonesia

May 22, 2025

Korporasi Petani Singkong, Peluang Dan Tantangan Petani Milenial Memajukan Ekonomi Pedesaan Lampung

pusat_c1d8ae87-fe94-41e0-9f48-67b99f881141_news
(Foto: Ahmad Suryanto, Widyaiswara Bapeltan Lampung)

IVOOX.id, Lampung - Sudah sejak lama Provinsi Lampung menempati rangking pertama dalam produksi ubi kayu atau biasa disebut juga dengan singkong.

Sebagai gambaran, berdasarkan data yang dirilis Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian, sebagaimana terangkum dalam Outlook Ubi Kayu 2020, dalam kurun waktu 2015-2019 secara rata-rata Lampung menyuplai 25,05 % luas area pertanaman singkong nasional, yaitu sebesar 198,54 ribu hektar. Luas ini menghasilkan umbi basah rata-rata sebesar 5,96 juta ton dan menyumbang sebesar 31, 81 % dari total produksi nasional. Dari data yang tersedia di Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung (2015), secara lokasi, luas dan jumlah produksi singkong di Lampung didominasi oleh tiga kabupaten yaitu Lampung Tengah, Lampug Utara, dan Lampung Timur.

Semua produksi singkong yang cukup besar di atas, hampir bisa dipastikan semuanya adalah hasil produksi dari lahan usaha petani dan hampir bisa dipastikan mendekati 100% umbi basa produksi petani tersebut dijual ke pabrik-pabrik industri tapioka yang banyak berkembang di Lampung. 

Penulis memiliki beberapa catatan atas usaha tani yang dilakukan para petani singkong di provinsi Lampung berdasarkan pengamatan penulis di lapangan dan dari pengalaman penulis yang selama ini bekerja memberi pelatihan kepada para petani dan penyuluh pertanian, dimana sebagian mereka adalah petani dan penyuluh pertanian dengan fokus usaha tani komoditas singkong. 

Pertama, adalah bahwa pola usata tani singkong yang diusahakan setiap petani umumnya berlahan sempit (di bawah 2 hektar), tidak terkonsolidasi menjadi satu kawasan atau sendiri-sendir dan menyebar. Akibatnya dalam penyediaan sarana produksi seperti bibit dan pupuk hingga pengerjaan pengolahan lahan, perawatan dan panen menjadi tidak terencana agar bisa sinergi dengan kebutuhan pabrik dan kurang efisien karena skalanya yang tidak memenuhi syarat luas.

Kedua, sistem usaha tani singkong yang dilakukan petani di Lampung pada umumnya belum menerapkan teknologi pertanian terpadu (integrated farming) dan prinsip-prinsip pertanian modern. Banyak nilai tambah yang bisa diciptakan dengan jika petani bisa menerapkan pertanian terpadu, yaitu dengan memadukan usaha tani singkong dengan ternak ruminansia, berupa sapi atau kambing atau domba. Sebagaimana kita ketahui, pertanaman singkong itu bisa menghasilkan berbagai bahan atau biomassa yang bisa digunakan untuk menghasilkan pakan ternak bermutu untuk ternak ternak ruminansia tersebut. Daun dan batang singkong serta onggok yang selama ini merupakan hasil samping atau limbah dari pabrik tapioka, semua itu merupakan bahan-bahan yang baik untuk pakan yang bisa diracik dalam bentuk silase di gudang pakan. Sementara kotoran ternak yang dihasilkan dari ternak bisa dijadikan biogas untuk memasak dan pupuk yang bisa dikemabalikan ke lahan.

Nilai tambah ekonomi akan tercipta dan bisa dinikmati petani jika sistem pertania terpadu di atas diterapkan.

Ketiga, dalam usaha tani singkong secara umum petani kurang memperhatikan sayarat mutu panen sesuai standard. Hal ini terutama terkait dengan umur tanaman singkong yang serigkali dipanen di bawah umur yang sesuai. Misalnya, tanaman yang semestinya baru dipanen pada umur 10 bulan tapi sudah dipanen pada umur 6 atau 7 bulan. Dengan penen muda ini akibatnya kadar pati umbi belum memenuhi syarat bagi pabrikan tapioka. Makanya seringkali kita mendengar potongan atau rafaksi sangat tinggi, sampai di atas 25% dari timbangan, saat singkong dikirm ke pabrik.

Selain itu, masalah tidak terkoneksinya jadwal panen sesuai kebutuhan industri atau tidak adanya kerjasama yang pasti antara petani dengan pabrik, hal ini seringkali mengakibatkan ketidakpastian harga yang disebabkan suplay dan demand yang tidak seimbang. Kadangkala terjadi kelangkaan, kadangkala terjadi over suplay. 

Keempat, di kalangan petani singkong belum berkembang secara signifikan hilirisasi atau pengolahan singkong menjadi produk bernilai tambah. Sebagaimana telah disinggung di atas, umumnya petani singkong menjual hasil panennya dalam bentuk umbi segar yang sama sekali belum diolah. Belakangan ini di beberapa lokasi mulai terbentuk kesadaran petani untuk mengolah hasil panen singkongnya menjadi produk, seperti misalanya tepung Mocaf (modified cassava flours), yaitu tepung singkong yang dimodifikasi elalui proses fermentasi, atau bahkan produk-produk siap konsumsi seperti brownis, kukis, mie, dan aneka makanan lain berbasis singkong. Namun, jika dibandingkan dengan umbi segar yang dikirim ke pabrik tapioka, jumlahnya ini masih sangat kecil.

Dari keempat hal di atas, muaranya adalah pada kondisi sejahteraan petani singkong masih belum optimal. Ini bisa dilacak dari Indikator Nilai Tambah Petani (NTP) di Provinsi Lampung. Dari data yang dirilis BPS, setiap tahun umumnya NTP petani di Lampung berada di bawah rata-rata nasional. Bahkan di tingkat regional Sumatera, sebagai misal, pada Laporan BPS pada Triwulan I 2022, NTP Provinsi Lampung berada di rangking 9 dari 10 Provinsi di Sumatera. Sedangkan berdasarkan laporan BPS Provinsi Lampung, selama tahun 2021 secara rata-rata NTP sub sektor tanaman pangan dan palawija, dimana singkong termasuk di dalamnya, hanya berada di angka 92,33. Ini berarti petani mengalami defisit, yaitu pendapatan lebih kecil dari kebutuhan yang harus mereka bayar. Angka impas NTP adalah 100, artinya petani bisa membayar kebutuhannya secara impas tanpa bisa menabung. Jika lebih dari 100 artinya petani punya pendapatan lebih yang bisa ditabung.

Kondisi kesejahteraan petani singkong, sebagaimana secara umum tercermin pada data NTP di atas, tentu membuat kita perihatin. Diperlukan langkah-langkah perbaikan pengelolaan usaha tani agar petani bisa lebih sejahtera.

Pertama, secara kalayakan luas lahan pengelolaan diperlukan konsolidasi lahan antar petani yang bisa harus dioordinasikan. Penggunaan alat mesin modern juga dibutuhkan untuk efisiensi ini.

Kedua, pertanian terpadu (integrated farming) yang mengintegrasikan ternak dengan pertanaman singkong harus dilakukan untuk meperoleh nilai tambah yang besar.

Ketiga, mutu dan jadwal panen harus terkoordinasi dan terhubung dengan industri sehingga stailitas harga bisa terjamin karena adanya keseimbangan suplai dan demand.

Keempat, hiliriasi produk bebasis singkong harus dikembangkan sedemikain rupa sehingga ada diversifikasi produk yang bisa menjamin nilai tambah singkong yang dihasilkan petani. 

Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana agar berbagai perbaikan pengelolaan usaha tani singkong untuk memperbaiki pendapatan petani di atas bisa terlaksana? Menurut penulis, salah satu harapannya adalah berada di pundak generasi muda milenial yang peduli dengan petani singkong dan perekonomian pedesaan di Lampung. Kalangan ini perlu diberi pencerahan kesadaran, diberi bekal kepemimpinan, dan diberi kemampuan manajemen untuk kemudian diterjunkan berwira usaha dan melakukan konsolidasi di kelompok-kelompok tani singkong di desa-desa di Lampung. 

Bagi generasi muda milenial di Lampung, ini semestinya bisa dijadikan peluang sekaligus tantangan untuk mewujudkan kewirausahaan berdimensi sosial yang bisa berkontibusi menciptakan kesejahtaraan masyarakat pedesaan di Provinsi Lampung. 

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mempersiapkan anak-anak muda milenial ini hingga mereka memiliki kecakapan yang memadai untuk terjun berwirausaha dan melakukan konsolidasi di kalangan petani? Jawabnya adalah melalui program pemerintah, yaitu program Korporasi Petani dan Petani Milenial.

Sebagaimana kita ketahui, dalam beberapa tahun ini pemerintah menggalakkan program korporasi petani. Bahkan Bapak Presiden Joko Widodo secara langsung dan berulangkali menegaskan kapada para menterinya untuk meralisasikan korporasi petani ini. Melalui korporasi petani, diharapkan para petani bisa dikonsolidasikan dalam usaha bersama sehingga skalanya besar dan efisien dan sesuai dengan permintan pasar. 

Sementara itu, dalam beberapa tahun ini pemerintah juga telah menggalakkan untuk merekrut dan memberdayakan petani muda, dimana ditargetkan hingga 2024, petani muda baru akan mencapai jumlah 2,5 juta orang.

0 comments

    Leave a Reply