Komisi II DPR Minta MK Bijak Tanggapi Putusan Pemisahan Pemilu

IVOOX.id – Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, mengimbau Mahkamah Konstitusi (MK) untuk bersikap bijak dalam menanggapi gugatan terhadap putusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah. Gugatan tersebut dilayangkan sejumlah pihak yang menganggap putusan MK itu berpotensi memperpanjang masa jabatan anggota DPRD, sehingga menimbulkan polemik baru di masyarakat.
“Kita kembalikan lagi kepada kebijaksanaan dari MK sendiri dalam melihat dampak keputusan yang dibuat oleh MK. Karena ini bukan hanya pembuat undang-undang saja, tetapi juga masyarakat. Pasti akan berdampak ke masyarakat. Kita tunggu saja kalau begitu bagaimana sikap MK,” ujar Dede Yusuf dalam keterangan resmi yang diterima ivoox.id Kamis (7/8/2025).
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan jadwal pemilu nasional dan daerah dinilai menimbulkan tafsir kontroversial. Pasalnya, jarak pemilu yang cukup jauh antara nasional dan daerah sekitar 2 hingga 2,5 tahun dikhawatirkan akan memperpanjang masa jabatan sejumlah pejabat daerah, termasuk anggota DPRD, hingga tujuh tahun, jauh melebihi masa jabatan ideal yang selama ini ditetapkan dalam sistem pemilu lima tahunan.
“Ini menimbulkan polemik karena seolah-olah MK melegalisasi DPRD untuk meneruskan jabatan. Atau harus dibuatkan undang-undang baru terkait dengan DPRD sementara. Dan menurut saya setiap warga negara memiliki hak untuk memberikan pandangan ataupun juga sikap,” ujar Dede.
Ia menilai bahwa hak masyarakat untuk menggugat maupun menyampaikan kritik terhadap putusan MK merupakan bagian dari dinamika demokrasi yang sehat. Oleh karena itu, ia mendorong agar MK tidak semata-mata terpaku pada aspek legal-formal, tetapi juga mempertimbangkan implikasi sosial-politik dari setiap keputusan yang dibuat.
Dalam petitum gugatan yang diajukan ke MK, para pemohon berpendapat bahwa putusan pemisahan pemilu justru menjadi bentuk intervensi yudisial terhadap proses politik. “Keputusan MK meski didasarkan pada interpretasi konstitusi namun dapat dilihat sebagai intervensi yudisial yang membentuk kebijakan elektoral,” kata Dede Yusuf.

0 comments