Kelola Sampah melalui Perusahaan Start Up | IVoox Indonesia

May 2, 2025

Kelola Sampah melalui Perusahaan Start Up

IMG-20220225-WA0004
Foto: Dok. KLHK

IVOOX.id, Jakarta - Pengelolaan sampah tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah. Keterlibatan swasta dalam industri pengelolaan sampah sangat diharapkan untuk menyelesaikan persoalan ini, tentu dengan peran serta masyarakat.

Sejauh ini cukup banyak pihak swasta yang mempu­nyai inisiatif untuk mengelola sampah secara profesional, termasuk dari perusahaan rintisan atau start-up. 

Misalnya adalah Rapel.id, aplikasi untuk menjual sampah anorganik.

Business Development Rapel.id Christopher Nugroho menjelaskan, platform ini didirikan pada 2019 atas ­keprihatianan terhadap permasalahan sampah di Tanah Air. 

Mulai dari perilaku masyarakat hingga volume sampah yang sangat besar di TPA.

“Kalau polanya sampah hanya dibuang, diambil, dikumpulkan oleh petugas kebersihan, kemudian diangkut dan dibuang ke TPA, sementara di TPA sendiri tidak ada proses yang semestinya, hanya ditumpuk, suatu saat akan penuh dan akan timbul banyak masalah,” ungkapnya, Minggu (20/2).

Untuk itu, permasalahan sampah harus bisa diurai sejak dari sumbernya. Menurut Christopher, pihaknya ingin melibatkan sumber sampah (rumah tangga, tempat usaha, rumah makan, hotel, dan lain-lain) untuk mulai memilah.

Dengan fokus pada sampah anorganik, aplikasi Rapel.id dikembangkan untuk menghubungkan sumber sampah dan industri daur ulang. “Jadi konsep Rapel, sumber sampah ketika sudah dilakukan pemilahan bisa dijemput, diserap, kemudian kita pilah lebih lanjut di gudang sentra pemilahan Rapel di sejumlah kota,” jelas Christopher.

“Setelah itu, kita kelompokkan berdasarkan jenisnya untuk kami kirim ke pabrik daur ulang masing-masing sehingga sampah itu tidak sampai mencemari lingkung­an,” imbuhnya. 

Pengguna aplikasi yang mengirimkan sampahnya ke Rapel.id pun akan diberikan reward berupa saldo.

Berawal di Yogyakarta, kini sentra pemilahan sampah Rapel.id sudah merambah ke sejumlah kota di Jawa seperti Semarang dan Solo, serta Tangerang. Sampai saat ini diperkirakan hampir 1.000 ton sampah anorganik yang berhasil dikelola.

Selain mengelola sampah, Rapel.id juga gencar megedukasi masyarakat soal pemilahan sampah. “Untuk mengurangi sampah, untuk mengelola sampah sebagaimana mestinya, bahwa yang anorganik itu hendaknya tidak dibuang ke sungai, tidak dibakar, tidak ikut dibuang ke TPA, tetapi hendaknya itu dikirim ke pabrik daur ulang, yang notabene memang butuh bahan baku,” tutur Christopher.

Dia pun menekankan bahwa permasalahan sampah hanya bisa diselesaikan ketika semua pihak terlibat. 

“Bukan hanya pemerintah dalam hal ini Kementerian LHK, tetapi masyarakat sendiri sebagai sumber sampah juga harus aktif,” tegasnya.

Jika Rapel.id fokus pada pengelolaan sampah anorganik, lain halnya dengan PT Green Prosa, perusahaan ristisan yang didirikan pemuda asal Banyumas, Arky Gilang. Dengan metode penguraian sampah menggunakan maggot (belatung) dari lalat black soldier fly (BSF), Green Prosa bisa mengelola sampah organik sebanyak 12 ton per hari.

“Green Prosa berdiri pada 2021 tapi kegiatannya sendiri sudah dimulai dari 2018, (alasan didirikan PT) karena butuh legalitas untuk kontrak penjualan dan sebagainya,” ujar Arky saat dihubungi, Minggu (20/2).

Arky bercerita bahwa pe­ngolahan sampah menggunakan metode maggot BSF ini berawal ketika ia dan beberapa temannya mendapati volume sampah organik di lingkungannya cukup besar, hampir 65%.

“Awalnya kita composting, ternyata kita butuh waktu lama, belum tentu jadi, lahan butuh luas karena sampahnya juga banyak. Makanya kita mencoba menggunakan maggot BSF,” kisahnya.

Sementara BSF, katanya, dalam satu hari bisa mengurai sampah sebanyak 5-10 kali berat badannya. 

“Per harinya mereka bisa langsung menye­lesaikan permasalahan itu, jadi penguraiannya cepat. Dan relatif bisa menghilangkan bau dari sampah organik. Setelah diurai sampah organiknya bisa jadi pupuk,” jelas Arky.

Untuk penjualan pupuk, pihaknya bermitra dengan Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S) dan kelompok tani yang sebagian besar untuk dimanfaatkan sendiri. “Kami menjual sangat murah, hampir sepertiga pupuk organik komersil,” kata Arky.

Dia menerangkan dampak dari pengelolaan sampah organik ini terhadap permasalahan sampah khususnya di wilayah sekitar. 

“Saat ini kami mengelola (sampah organik) lebih dari 5.890 rumah. Setiap harinya bertambah terus. Anggaplah 6.000-an rumah, satu rumah misalkan 4 orang, berarti sudah lebih dari 20.000 ribu orang yang menerima manfaat tidak langsung,” ung­kapnya.

“Belum lagi instansi pemerintah, rumah sakit, pasar tradisional, hotel, rumah makan, bahkan sampah industri seperti makanan kadaluarsa. 

Sementara dampak langsung secara ekonomi kami bermitra dengan kelompok swadaya masyarakat pengelola sampah, total yang mendapatkan penghasilan dari situ sekitar 115 orang,” imbuhnya.

Arky pun berharap pemerintah dapat bekerja sama dengan pihak swasta untuk menanggulangi permasalahan sampah. 

“Tidak mungkin pemerintah berdiri sendiri mengelola sampah, kuncinya kolaborasi bersama. Saya pikir teknologi sudah sangat banyak, ketika semua bisa berkolaborasi itu akan bisa selesai (permasalahan sampah). Sangat optimistis,” pungkasnya.

0 comments

    Leave a Reply