Kasus Dosen Unsyiah Cerminan Prinsip Negara Hukum Diruntuhkan | IVoox Indonesia

July 6, 2025

Kasus Dosen Unsyiah Cerminan Prinsip Negara Hukum Diruntuhkan

RUU-ITE_KUHP
Ilustrasi. RUU ITE/Antara

IVOOX.id, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Padjajaran Prof Susi Dwi Harijanti menilai kasus yang menimpa dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Saiful Mahdi yang terjerat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE merupakan cerminan prinsip negara hukum sedang diruntuhkan.

"Lagi-lagi prinsip negara hukum diruntuhkan dalam kasus yang menjerat Pak Saiful Mahdi," kata dia di Jakarta, seperti dilansir Antara.

Dalam prinsip negara hukum, Prof Susi menilai pengadilan seharusnya berdiri di garda terdepan untuk memenuhi dan meneguhkan prinsip negara hukum di Indonesia.

Apalagi, katanya, prinsip tersebut telah diatur dalam Pasal 1 ayat (3) yang seharusnya menjadi norma dan konstitusi. Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) dan lembaga peradilan yang berada di bawahnya harus memegang teguh dalam menjalankan atau menafsirkan prinsip negara hukum.

Dalam kasus yang menimpa dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unsyiah tersebut, Prof Susi memandang hakim hanya berperan seakan-akan sebagai corong undang-undang, tetapi tidak menjalankan fungsi lainnya yakni menemukan hukum atau menafsirkan ketentuan-ketentuan yang ada di pasal yang dituduhkan pada terdakwa.

"Jelas tujuannya untuk keadilan sosial dan humanisasi," kata dia.

Susi juga mengatakan hal itu tidak mencerminkan keberpihakan pada kebebasan akademik.

"Bahwa badan peradilan kita terutama hakim-hakim memperlihatkan ketidakberpihakan kepada kebebasan akademik," kata dia.

Selain berpandangan MA dan lembaga peradilan tidak mencerminkan keberpihakan pada kebebasan akademik, Susi melihat fungsi-fungsi pendidikan juga gagal dilihat oleh lembaga peradilan di Tanah Air.

"Karena tidak melihat lembaga pendidikan mempunyai fungsi utama mengembangkan keilmuan yang berpegang teguh pada kebebasan akademik," ujar dia.

Jika kebebasan akademik menjadi salah satu hal yang penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan harus ditopang dalam sistem yang menyeluruh, maka hal itu mencerminkan kegagalan badan peradilan.

Sebagaimana diketahui Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh memvonis Saiful Mahdi tiga bulan penjara dan denda subsider Rp10 juta, subsider satu bulan penjara.

Tidak terima atas putusan PN Banda Aceh, dosen Unsyiah tersebut mengajukan banding dan kasasi namun ditolak.

Kasus tersebut bermula saat Saiful Mahdi menyampaikan kritik di salah satu grup percakapan WhatsApp terkait hasil penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) di kampus tempat ia mengajar.

Namun, kritikan yang disampaikannya tersebut dianggap sebagai bentuk pencemaran nama baik dan melanggar ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

0 comments

    Leave a Reply