Jika Efek Samping Puber Politik adalah Perpecahan, Pancasila Jadi Obatnya | IVoox Indonesia

July 18, 2025

Jika Efek Samping Puber Politik adalah Perpecahan, Pancasila Jadi Obatnya

Seorang anak menaiki ban saat melintasi banjir di kawasan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (13/11).
Seorang anak menaiki ban saat melintasi banjir di kawasan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Novrian

IVOOX.id, Jakarta - Kondisi perpolitikan di Tanah Air beberapa tahun belakangan ini telah mewabah ke masyarakat awam, terlebih menjelang Pilpres 2019. Mereka yang dulunya antipati dan enggan terlibat dengan urusan politik, kini seolah berbalik 180 derajat menjadi aktif berargumen, khususnya di media sosial dan platform masing-masing.

Hal ini sontak menjadikan media sosial ajang adu opini soal politik dari para politikus "dadakan" tersebut. Mulai kaum milenial sampai ibu rumah tangga disibukkan dengan wacana politik yang turut menjadi agenda perbincangan sehari-hari.

Gairah dalam menyelami masalah ini membuat masyarakat awam seolah sedang puber politik di tengah minimnya ilmu yang mereka ketahui.

"Sekarang semacam ada magnet terhadap orang berpolitik, tapi tidak mengerti tentang masalah makna politik itu sendiri. Karena politik itu sebetulnya ilmu yang mengatur tentang keindahan di dalam kita bermasyarakat untuk mencapai ke suatu cita-cita mendasar," kata tokoh politik nasional Slamet Hardani.

Maraknya keikutsertaan masyarakat terhadap urusan politik saat ini, menurut pria yang akrab disapa Bung Slamet ini, perlu diimbangi dengan cara pandang yang objektif dan terutama memiliki dasar ideologi Pancasila.

Hal itu demi menghindari perpecahan di kalangan masyarakat akibat kurangnya kesadaran akan makna politik yang sesungguhnya. Sebab seperti diketahui, fenomena puber politik telah membuat masyarakat terpecah menjadi dua kubu yang saling menyerang dengan komentar-komentar diskriminatif.

"Pancasila itu ideologi permanen bangsa Indonesia. Nah, inilah yang harus dibawa secara politis untuk mencapai kepada nilai cita itu dengan tahapan-tahapan untuk mencapai masyarakat yang kita inginkan, yaitu tatanan masyarakat Pancasila yang adil dan makmur lahir dan batin," ujar Slamet.

Hal tersebut, kata dia, yakni tentang bagaimana agar politik dapat membawa persatuan bagi sebuah bangsa tanpa adanya dikotomi hitam putih, mayoritas-minoritas, atau yang lebih tren saat ini sebutan "cebong" dan "kampret". Semua itu diakui butuh peran dari pihak terkait, khususnya para politikus yang memiliki andil dan tanggung jawab lebih besar dalam mewujudkan hal tersebut.

"Bagaimana di dalam negara kita ini politik membawa suatu kehangatan kepada individu sesuai dengan agama masing-masing. Tidak saling mencaci, tidak ada mayoritas menampikkan minoritas. Itu ideologi nilai cita dan harus dibawa oleh motor dari apa yang dimaksudkan politik itu," tegasnya.

0 comments

    Leave a Reply