Jaksa Pinangki Jual Nama Pejabat Kejagung dan MA Rp 148,5 Miliar Demi Fee 10 Persen, Untuk Foya-foya | IVoox Indonesia

June 25, 2025

Jaksa Pinangki Jual Nama Pejabat Kejagung dan MA Rp 148,5 Miliar Demi Fee 10 Persen, Untuk Foya-foya

IMG-20200918-WA0014

IVOOX.id, Jakarta - Terungkap kenekatan Jaksa Pinangki Sirna Malasari menjual nama pejabat kejagung dan Mahkamah Agung 10 juta dolar AS atau sekitar Rp 148,5 miliar ke terpidana Djoko Tjandra.

Kenekatan Jaksa Pinangki itu didasari keinginannya mendapat bonus atau fee 10 persen atau 1 juta dolar AS (sekitar Rp 14,85 miliar).

Ironisnya, sebagian dana tersebut cuma dipakai Jaksa Pinangki untuk berfoya-foya dan bergaya hidup hedon.

Hal ini terungkap dalam keterangan terbaru Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono, Kamis (17/9/2020).

Dikatakan, Jaksa Pinangki Sirna Malasari diduga membuat proposal "Action Plan" untuk membantu Djoko Tjandra mengurus fatwa di Mahkamah Agung ( MA).

Proposal tersebut juga sudah diserahkan kepada Djoko Tjandra melalui teman dekat Pinangki sekaligus mantan politikus Partai Nasdem, Andi Irfan Jaya.

"Joko Soegiarto Tjandra bersedia menyediakan imbalan berupa sejumlah uang sebesar 1.000.000 USD untuk terdakwa PSM untuk pengurusan kepentingan perkara tersebut, namun akan diserahkan melalui pihak swasta yaitu Andi Irfan Jaya selaku rekan dari terdakwa PSM," kata Hari melalui keterangan tertulis, Kamis (17/9/2020).

"Hal itu sesuai dengan proposal 'Action Plan' yang dibuat oleh terdakwa PSM dan diserahkan oleh Andi Irfan Jaya kepada Joko Soegiarto Tjandra," sambungnya.

Menurut Kejagung, kasus ini berawal dari pertemuan antara Pinangki, Andi Irfan, dan Anita Kolopaking, dengan Djoko Tjandra, di Kuala Lumpur, Malaysia, pada November 2019.

Sebagai informasi, Anita Kolopaking merupakan mantan pengacara yang mendampingi Djoko Tjandra saat mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) ke PN Jakarta Selatan, Juni 2020.

Menurut Kejagung, di pertemuan itu, Djoko Tjandra setuju untuk meminta bantuan Pinangki dan Anita untuk mengurus fatwa.

Fatwa itu menjadi upaya Djoko Tjandra agar tidak dieksekusi dalam kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali sehingga ia dapat kembali ke Indonesia tanpa menjalani vonis dua tahun penjara di kasus itu.

Pinangki dan Anita pun setuju membantu.

Djoko Tjandra menjanjikan imbalan sebesar 1 juta dolar AS atau sekitar Rp 14,85 miliar kepada Pinangki.

Selain itu, Pinangki, Andi, dan Djoko Tjandra diduga sepakat memberikan 10 juta dolar AS atau sekitar Rp 148,5 miliar kepada pejabat di Kejagung dan MA terkait kepengurusan permohonan fatwa.

Akan tetapi, Djoko Tjandra kemudian membatalkan kerja sama mereka.

Hal itu dikarenakan, tidak ada rencana dalam proposal "Action Plan" Pinangki untuk mengurus fatwa tersebut yang terlaksana.

Padahal, Djoko Tjandra sudah memberikan uang 500.000 dolar AS kepada Pinangki sebagai uang muka atau down payment (DP).

"Sehingga Joko Soegiarto Tjandra pada bulan Desember 2019 membatalkan Action Plan dengan cara memberikan catatan pada kolom Notes dari Action Plan tersebut dengan tulisan tangan ‘NO’," ungkapnya.

Rincian penggunaan uang panas

Dari uang 500.000 dolar AS yang diterima, Pinangki disebut memberikan 50.000 dolar AS kepada Anita Kolopaking sebagai pembayaran awal jasa penasihat hukum.

Sementara, uang yang masih tersisa digunakan Pinangki untuk membeli mobil BMW X-5, membayar dokter kecantikan di Amerika Serikat, menyewa apartemen atau hotel di New York, membayar kartu kredit, serta membayar sewa dua apartemen di Jakarta Selatan.

Secara keseluruhan, total tersangka kasus dugaan korupsi terkait kepengurusan fatwa di MA ini berjumlah tiga orang yakni, Pinangki, Djoko Tjandra, dan Andi Irfan.

Sementara, Anita Kolopaking berstatus tersangka di kasus surat jalan palsu yang digunakan dalam pelarian Djoko Tjandra.

Kasus itu ditangani Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri.

Adapun baru-baru ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) melimpahkan berkas perkara Pinangki kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis hari ini.

Pinangki dijerat pasal berlapis terkait dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Pinangki dijerat Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor subsider Pasal 11 UU Tipikor dan Pasal 3 U Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan Pasal 15 jo Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor jo Pasal 88 KUHP subsider Pasal 15 jo Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 88 KUHP.

Bukti adanya kode "Bapakmu" dan "Bapakku"

Bola liar kasus dugaan suap yang melibatkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari terus bergulir.

Tak cuma kode 'bapakmu' dan 'bapakku' yang diduga diucapkan Jaksa Pinangki dan pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking yang membuat ramai kasus ini.

Ada clue atau petunjuk lain yang akan menambah panas kasus yang kini ditangani Kejaksaan Agung tersebut.

Hal itu diungkapkan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, Selasa (15/9/2020).

Bukti adanya kode rahasia antara Jaksa Pinangki dan Anita Kolopaking alias ADK itu bakal diserahkan Boyamin Saiman kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (16/9/2020) hari ini.

Tindak lanjut penyerahan bukti, kata Boyamin, setelah pihak Pengaduan Masyarakat (Dumas) KPK menghubunginya melalui pesan WhatsApp (WA) dan surel.

"Kemarin saya dapat WA dan email dari Dumas KPK apakah ada bukti, saya sudah mulai mengumpulkan bukti bocoran buat teman-teman."

"Kalau berkenan besok datang ke KPK lagi. Saya akan menyerahkan bukti tersebut," kata Boyamin di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Selasa (15/9/2020).

Namun Boyamin masih enggan mengungkapkan bukti yang akan ia serahkan ke KPK.

"Jangan ditanya buktinya apa saja. Nanti kalau saya buka semua, sudah enggak ada sesuatu yang baru, dan memang baru besok saya ke KPK menyerahkan alat bukti tersebut."

"Gambarannya nanti lihat besok ya apa yang akan saya serahkan ya," ujarnya.

Dengan bukti tersebut, Boyamin berharap KPK bisa menganalisanya dan mengambil alih kasus jaksa Pinangki dari Kejaksaan Agung (Kejagung).

"Mudah-mudahan dengan bahan itu nanti KPK mampu membuat benang merah dari 3 clue 'Bapakmu-Bapakku'."

"Kemudian berkaitan dengan inisial, berkaitan dengan P mengajak R untuk ketemu pimpinan, terakhir terkait dengan fatwa dan grasi," tuturnya.

Kejagung belum temukan bukti

Menanggapi hal ini, Direktur Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Febrie Ardiansyah mengaku tidak mengetahui istilah Bapakmu dan Bapakku dalam kasus jaksa Pinangki.

Hal itu ditandai dengan alat bukti yang diungkap selama penyidikan.

"Sementara ini belum ada yang kita lihat dari alat bukti itu."

"Yang jelas kita lihat ini alat bukti kepentingan dari sangkaan pasal," kata Febrie di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/9/2020) malam.

Dia mengatakan, pihaknya saat ini masih fokus untuk menyelesaikan berkas perkara kasus jaksa Pinangki.

Dalam waktu dekat, dia menargetkan berkas itu masuk persidangan.

"Sehingga masyarakat nanti bisa lihat semuanya, ini semua akan terbuka."

"Rekan-rekan pers bisa menyaksikan apa pertemuan Pinangki rentetan dari awal sampai putus dengan Djoko Tjandra," paparnya.

KPK Bilang Masih Rumor

Sebelumnya, Boyamin mengatakan sudah mengirimkan informasi tersebut melalui surel kepada KPK, untuk diselisik lebih jauh saat gelar perkara.

Selain soal istilah 'Bapakmu' dan "Bapakku" , MAKI juga mendesak KPK perlu mendalami berbagai inisial nama yang diduga sering disebut Pinangki, Anita, dan Djoko Tjandra dalam rencana pengurusan fatwa.

Inisial-inisial tersebut yaitu T, DK, BR, HA, dan SHD.

Kemudian, Boyamin juga meminta KPK mendalami peran Pinangki yang diduga pernah berbicara kepada Anita, yang pada intinya pada Hari Rabu akan mengantar orang berinisial R menghadap pejabat tinggi di Kejagung.

Boyamin mengatakan, KPK juga hendaknya mendalami peran Pinangki untuk melancarkan rencana transaksi perusahaan power plant dengan Djoko Tjandra, yang diduga melibatkan orang berinisial PG.

"Yang hingga saat ini belum didalami oleh penyidik Pidsus Kejagung," katanya.

Namun, harapan Boyamin ini tak bersambut.

Sampai hari ini, KPK tak kunjung mengambil alih kasus Djoko Tjandra.

Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan menyebut KPK belum berani mengambil alih perkara yang melibatkan Djoko Tjandra dan jaksa Pinangki Sirna Malasari.

Kenapa KPK tak kunjung mengambil alih kasus Jaksa Pinangki?

Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri membeber alasannya.

"Kami menghargai pandangan dari siapapun soal hal tersebut," kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri, Minggu (13/9/2020).

Ali mengatakan, pengambilalihan suatu kasus bukan atas dasar berani atau tidak. "Namun perlu kami sampaikan bahwa ini bukan soal berani atau tidak," katanya.

Menurut dia, pengambilalihan haruslah berdasarkan aturan hukum yang benar, yaitu mengikuti Pasal 6, 8, dan 10A dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

"Bagaimana cara berhukum yang benar? Tentu ikuti aturan UU yang berlaku yang dalam hal ini ketentuan Pasal 6, 8, dan 10A UU KPK," ujar Ali.

Diberitakan sebelumnya, ICW menilai gelar perkara yang dilakukan di KPK itu merupakan ajang pencitraan.

"Gelar perkara terkesan hanya dijadikan ajang pencitraan bagi KPK agar terlihat seolah-olah serius menanggapi perkara Djoko Tjandra," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Sabtu (12/9/2020).

Gelar perkara kasus Djoko Tjandra yang melibatkan KPK, Bareskrim Polri, dan Kejaksaan Agung dihelat Jumat (11/9/2020).

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan pihaknya sebatas menerima perkembangan penanganan perkara dari Bareskrim Polri dan Kejagung dalam ekspose pertama.

KPK memisahkan ekspose perkara Djoko Tjandra yang ditangani Bareskrim Polri dan perkara yang ditangani Kejagung.

KPK lebih dulu menggelar ekspose kasus dugaan penghapusan red notice Djoko Tjandra yang ditangani Bareskrim Polri.

Ekspose dilanjutkan dengan kasus dugaan suap untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) yang ditangani Kejagung.

Pada kasus ini, penyidik telah menyematkan status tersangka terhadap jaksa Pinangki Sirna Malasari (PSM) dan Anita Kolopaking (ADK), pengacara Djoko Tjandra.

0 comments

    Leave a Reply