IPSMF 2025: Saat Alam Berbisik Lewat Cahaya, Lensa, dan Suara Sinema

IVOOX.id – Di bawah gerimis Bandung tengah November, denting langkah para fotografer, pembuat film, dan pecinta visual terdengar semakin jelas menuju satu titik: International Photography and Short Movie Festival (IPSMF) 2025 yang digelar di Gedung Damar, Telkom University, Rabu (12/11/2025).
IPSMF merupakan festival internasional yang digelar setiap tahun oleh mahasiswa serta dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Komunikasi & Ilmu Sosial, Telkom University. Tahun ini, IPSMF 2025 merupakan gelaran yang kesepuluh, dan mengusung tema besar “Nature’s Whisper: Warming Signs of a Changing World”.
Tema ini ingin merepresentasikan bahwa hajatan ini tidak hanya kembali sebagai perayaan seni, tetapi juga sebagai ruang di mana bumi berbisik—kadang lembut, kadang getir—melalui ratusan karya dari berbagai penjuru dunia.
Bisikan-bisikan itu mengalir dari 394 karya yang dikirimkan dari 17 negara, sebuah lonjakan partisipasi yang menegaskan posisi IPSMF sebagai salah satu panggung kreatif internasional yang semakin diperhitungkan. Lebih dari 500 peserta, sebagian besar anak muda, menjadi bagian dari gelombang baru visual storyteller yang memilih kamera sebagai medium untuk merespons krisis lingkungan.
Sesi screening menjadi salah satu momentum paling emosional dalam rangkaian IPSMF 2025. Dalam ruang gelap tempat layar memantulkan cahaya, para penonton disuguhi tiga film pendek terpilih yang bukan hanya menampilkan gambar indah, tetapi juga menggali perasaan terdalam tentang bagaimana manusia menghadapi dunia yang berubah.

Mahasiswa dari Ikatan Mahasiswa Maluku dan Papua (IMMAPA) membuka gelaran IPSMF 2025. IVOOX.ID/Akbar
Sesi dibuka dengan cerita tentang tanah sendiri: “Bandung 2045: A Story from the South”, filmmaker muda Dava Gibran menempatkan sebuah keluarga kecil di tengah bayangan bencana Kota Bandung selatan usai banjir besar. Hubungan Tsabit dan adiknya menjadi poros cerita yang hangat sekaligus menyayat—ketika upaya membangun roket buatan menjadi cara mereka merawat harapan, sekaligus melindungi satu sama lain dari kenyataan yang pahit. Film animasi ini mengungkap kondisi cekungan Bandung yang semakin parah. Cerita tentang Bandung Selatan yang senantiasa diterjang banjir membuat mereka ingin terbang ke bulan.
Screening berikutnya mempertontonkan nada gelap dan puitis melalui “Garden of Eden” karya Matjia Margetić. Dalam dunia distopia tanpa warna dan udara yang tak layak hirup, kerinduan seorang perempuan pada aroma bunga justru membawa konsekuensi mematikan. Film ini menjadi pengingat bahwa kerusakan ekologis bisa menghapus bukan hanya keindahan, tetapi juga nyawa.
Sesi ditutup dengan film “Gentle Hum of Spring” karya Simon Garez. Dia mengajak penonton menyelami kehidupan seorang penjaga lebah muda di Saskatchewan, Kanada, yang berjuang mempertahankan koloninya menjelang mencairnya musim semi. Di balik ketenangan adegan-adegan yang ditampilkan, film ini menyimpan pesan keras tentang betapa rapuhnya sistem ekologis yang menjadi tumpuan hidup manusia.
Ketiga film itu membuat ruangan hening beberapa detik setelah pemutaran—hening yang tidak dingin, melainkan penuh kesadaran baru tentang alam, tentang planet bumi.
Di Balik Layar: Kurasi, Kritik, dan Pertemuan Gagasan
Keberhasilan IPSMF 2025 tidak semata hadir dari jumlah karya, melainkan dari proses kurasi yang melibatkan jajaran juri — Joe Adimara, Raden Ahmad Fauzan, Muh Faisal, hingga Wira Hadi di kategori film; serta Christophe Dreyer, Donny Fernando, dan Tirta Winata di kategori fotografi. Mereka menilai setiap karya berdasarkan kekuatan narasi, kreativitas visual, relevansi tema, dan kualitas teknis.
Para juri sepakat bahwa tren tahun ini menunjukkan dua hal: eksperimen visual yang semakin berani dan dorongan kuat generasi muda terhadap isu lingkungan. Keduanya berkelindan menjadi identitas tersendiri bagi IPSMF 2025.
Gelaran utama festival berlangsung sebagai perayaan penuh dengan pemutaran film utama, talkshow lintas disiplin, hingga awarding session. Fotografer Agung Wilis menyoroti bagaimana storytelling visual dapat membangkitkan empati kolektif pada isu lingkungan. Sementara itu, filmmaker Benny Kadarhariarto membedah struktur naratif dan kekuatan sinema dalam memaknai perubahan iklim.

Ketua IPSMF 2025, Nisa Nurmauliddiana Abdullah dan suasana acara IPSMF 2025
Puncak acara berlangsung hangat ketika para pemenang diumumkan, disambut tepuk tangan peserta dan pengunjung dari berbagai negara. Festival ditutup dengan penampilan musisi Muthia Nadhira dan Ferry Irwandi—sebuah penanda bahwa seni, dalam bentuk apa pun, tetap menjadi bahasa universal.
Ketika Seni Menjadi Peringatan
Tahun ini, salah satu mitra utama IPSMF, Nazava Water Filters, menegaskan komitmen untuk mendorong praktik berkelanjutan. Sebagai penyedia solusi air bersih yang terjangkau dan ramah lingkungan, Nazava menjadi representasi konkret bagaimana dunia usaha dapat terlibat langsung dalam upaya mengurangi limbah plastik dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Kehadiran mereka menyatu dengan pesan besar festival: menyelamatkan bumi bukan hanya tugas para aktivis atau seniman, tetapi tanggung jawab kolektif.
“Tahun ini IPSMF sudah berjalan selama sepuluh tahun. Sebuah pencapaian yang tidak mudah tapi berkat antusias peserta dari banyak negara, acara ini memperlihatkan bahwa masih banyak peserta perduli terhadap alam dan menuangkannya dalam bentuk karya fotografi dan film pendek,” ujar Ketua IPSMF 2025, Nisa Nurmauliddiana Abdullah.

Dekan Fakultas Komunikasi & Ilmu Sosial, Iis Kurnia Nurhayati dan suasana talkshow IPSMF 2025. IVOOX.ID/Akbar
Dekan Fakultas Komunikasi & Ilmu Sosial, Iis Kurnia Nurhayati mengapresiasi gelaran ini. Menurutnya, dunia industri saat ini tidak hanya membutuhkan lulusan kampus yang nilainya tinggi tapi juga penguasaan skill dan pengalaman berorganisasi. “Melalui IPSMF ini, mahasiswa bisa menambahkan pengalaman pada portofolio mereka,” ujarnya.
IPSMF 2025 seolah ingin membuktikan bahwa seni bukanlah pelarian dari kenyataan, melainkan jendela untuk memandang dunia dengan lebih jernih. Fotografi dan film pendek menjadi medium yang mampu menyentuh emosi sekaligus membuka percakapan tentang krisis lingkungan yang terus menggema di sekitar kita.
Ada bisikan-bisikan alam yang hanya dapat terdengar lewat karya visual: suara lebah yang kian jarang terdengar, langkah anak yang mencari ibunya setelah bencana, hingga kerinduan manusia pada bunga di dunia tanpa warna.
Di IPSMF 2025, bisikan-bisikan itu berhasil dirayakan—dan lebih penting lagi: didengarkan.


0 comments