Ini 7 Poin Penyebab Politik "Post Truth" Prabowo Gagal Total

IVOOX.id, Jakarta -- Kemenangan sejumlah politisi dunia dalam pemilu beberapa tahun belakangan tidak terlepas dari politik identitas, populisme yang fanatik, hoaks yang masif, fitnah, menebar ketakutan, pesimisme, saling memaki, menebar kebencian, dan kampanye hitam lainnya.
Menurut peneliti Seven Strategic Studies Girindra Sandino, strategi serupa dijalankan kubu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pemilu 2019 ini.
“Namun demikian, menarik untuk diperhatikan mengapa politik identitas dalam Pemilu/Pilpres 2019 tidak berpengaruh atau berkorelasi dengan peningkatan elektabilitas pasangan Capres-Cawappres Prabowo-Sandi,” tutur Girindra, dalam siaran pers yang dipublikasikan Senin (4/2).
Girindra mengatakan ada tujuh poin yang dapat dianalisa dan diungkapkan, mengapa strategi tersebut tidak berhasil dalam kontestasi demokrasi di Indonesia, bahkan dapat disebut gagal total.
Pertama, karena Indonesia memiliki social capital yang luar biasa. Berbeda dengan negara-negara lain. Modal sosial itu antara lain adalah banyaknya ormas-ormas keagamaan yang memiliki basis massa dan selalu mengkampanyekan pentingnya rasa persatuan.
“Sebut saja ormas keagamaan Seperti, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. NU dengan jumlah warganya 91,2 juta jiwa telah berhasil mengharmonisasikan hubungan agama dan negara. Jargon hubbul wathon minal iman (nasionalisme bagian dari iman), adalah di antara kuncinya,” papar Girindra.
Kedua, karena ikatan dan rasa kebangsaan masyarakat Indonesia cukup kuat sehingga identitas asal atau primodial seperti agama, suku, ras dan golongan tidak laku sebagai ‘jualan’ dalam politik electoral.
Ketiga, politik identitas di seluruh dunia ada dan tidak akan bisa hilang. Akan tetapi, lama kelamaan perannya menurun pada tataran kuantitas karena kedewasaan dan kematangan berdemokrasi di tiap negara.
“Inklusifisme antargolongan terus meingkat, melumerkan blok-blok budaya (cultural blocks) antar golongan,” tuturnya.
Keempat, Prabowo dalam setiap kali pidato politiknya selalu dihiasi dengan retorika yang bernuansa ‘kelas’ dan identitas pribumi. Hal ini, menurut Girindra, justru merugikan Prabowo sendiri, karena kontras dengan citra diri dan rekam jejaknya.
Kelima, Narasi politik identitas yang dilontarkan oleh kubu Prabowo-Sandi, cepat di-counter oleh kubu Jokowi dengan menjalankan strategi kontra-black campaign. Dengan begitu, pembicaraan di ruang publik mengenai politik identitas dengan cepat diredam, walau masih saja ada suara-suara lantang yang mendukung membabi buta narasi politik identitas kubu Prabowo-Sandi.
Keenam, penggunaan isu agama sebagai alat untuk meraih dukungan kelompok Islam, melalui Ijtima Ulama II, telah terdegradasi sendiri, di samping terjadi perpecahan.
Girindra mengatakan ulama-ulama yang menunjuk Prabowo-Sandi sebagai wakilnya dalam setiap penyampaian dukungan kepada Prabowo-Sandi, selalu dengan ucapan kebencian, kemarahan, kedengkian, sehingga hal ini membuat masyrakat menjadi takut dan resah.
“Dan dapat dibilang dukungan ulama-ulama, khususnya yang berlaga keras malah merugikan Prabowo-Sandi dalam menggaet suara pemilih, alias menjadi blunder politik. Karena saat ini masyarakat sudah cerdas dalam hal memilih pemimpin, termasuk siapa pendukungnya. Isu agama sangat sedikit korelasinya dengan peningkatan elektabilitas Prabowo-Sandi,” ungkap Girindra.
Ketujuh, peran pemerintah sendiri yang saat ini responsif terhadap gejala-gejala yang mengarah kepada isu-isu politik identitas, penyebaran hoaks, fitnah, dan lain-lain. Peran Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Capres bersama Cawapres KH Ma’ruf Amin dan timnya, cukup signifikan dalam meredam dan menghambat meluasnya politik identitas tersebut. (Adhi Teguh)

0 comments