Indonesia Swasembada dan Tak Impor Beras

IVOOX.id, Jakarta - Covid 19 adalah wabah dunia telah berlangsung dua tahun lebih, bahkan hingga kini masih menghantui, tidak ada yang bisa memastikan kapan berakhirnya. Pandemi covid 19 benar-benar membawa petaka, aktivitas ekonomi dan semua sektor mengalami kontraksi.
Di awal kemunculan wabah ini, lembaga pangan dunian memprediksi sektor pertanian akan mengalami keterpurukan, terlebih untuk Indonesia. Semua sektor dituntut untuk bekerja keras agar Indonesia tidak mengalami resesi. Utamanya sektor pertanian yang menjamin ketersediaan dan keberlangsungan pangan 273 juta penduduk Indonesia. Jika tidak, pasti terjadi kelaparan dan segela bentuk kekacauan dan kejahatan akan muncul tak terkendalikan.
Namun faktanya, sektor pertanian Indonesia selama masa pandemi covid 19 justru menjadi penyelamat perekonomian nasional. Hanya PDB sektor pertanian yang positif, sementara sektor lainnya yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian negara justru kinerjanya terjun bebas alias minus.
Lihat saja, dengan mengacu data BPS, hal ini dapat terlihat dari beberapa indikator makro sektor pertanian. PDB Sektor Pertanian triwulan II 2020 sebesar 16,24% (q to q), satu-satunya yang tumbuh positif dan bantalan pertumbuhan ekonomian nasioan, pertumbuhan ekonomi sektor lainnya minus. Pertumbuhan PDB sektor pertanian pun konsisten tumbuh positif di 2021, pada triwulan I tumbuh positif 2,95% (y-on-y) dibandingkan periode sama tahun 2020.
Ekspor produk pertanian juga menunjukkan kinerja menggembirakan. Nilai ekspor kumulatif Januari-Desember 2021 mencapai Rp 625,04 triliun atau meningkat 38,69% dibandingkan tahun 2020 yang nilainya sebesar Rp 451,77 triliun. Nilai Tukar Petani (NTP) terus membaik, bahkan pada penutupan tahun, Desember 2021 mencapai 108,34.
Swasembada dan Tak Impor Beras
Selain kinerja makro di atas, ada prestasi besar sektor pertanian selama masa pandemi covid 19 yang patut dibanggakan dan menjadi catatan sejarah baru. Yaitu Indonesia swasembada beras, produksi surplus setiap tahun sehingga sejak 2019 hingga sekarang tidak impor beras umum.
Capaian ini tidak mudah diwujudkan walaupun Indonesia sebagai negara agraris, negara yang berstemple Gemah Rimah Loh Jinawi. Pun tidak mudah diwujudkan walau di masa normal. Tapi Kementerian Pertanian Pertanian yang dinakhodai Syahrul Yasin Limpo, mantan Gubernur Sulawesi Selatan dua periode itu justru mampu menguatkan produksi beras di masa yang sangat sulit. Negara-negara yang pertaniannya kuat pun tidak mampu mewujudkanya. Kondisi pangan dan perekonomiannya babak belur diterpa keganasan virus korona.
Selain mengacu kondisi lapangan, dimana tidak ada gejolak harga beras terlebih kenaikan harga beras akibat produksi dan stok yang tak cukup, fakta ini pun diperkuat data BPS. Setiap tahun produksi beras surplus, lebih tinggi dari kebutuhan konsumsinya. Tahun 2019, produksi beras surplus 2,38 juta ton, 2020 surplus 2,13 juta ton dan 2021 surplus 1,31 juta ton.
Capaian kinerja yang cemerlang ini mampu menorehkan prestasi Indonesia tidak impor beras. Bahkan data BPS pun merilis Indonesia pada tahun 2021 melakukan ekspor beras untuk konsumsi sebanyak 3,3 ribu ton.
Jika ada yang beranggapan Indonesia mengimpor beras, itu memang benar tapi itu juga gagal paham karena membaca data dengan kacamata kuda. Indonesia memang mengimpor beras khusus untuk kebutuhan restoran asing dan lainnya, bukan beras konsumsi umum. Restoran Jepang membutuhkan beras khusus dari jepang dan restoran asing sejenisnya serta menirnya pun dibutuhkan untuk pakan
Impor beras khusus adalah sebuah keharusan negara untuk menumbuhkan perekonomian dan itu kewajiban Indonesia sebagai negara berkembang untuk mematuhi aturan main perdagangan dunia. Untuk melakukan ekspor, Indonesia tidak bisa menutup diri dari impor. Apalagi produk pangan yang impor itu tidak merugikan petani dan memperburuk perekomian nasional.
Di sisi lain, selama pemerintah Indonesia masih konsisten mengupayakan agar neraca perdagangan pertanian surplus, dimana nilai ekspor lebih tinggi dibanding impor, maka impor beras khusus tidak masalah. Faktanya, BPS mencatat pada tahun 2021 neraca perdagangan pertanian surplus Rp 269 triliun. Ekspor pertanian 2021 sebesar Rp 625 triliun, naik 38,6 persen dari 2020.
Di sinilah kita jangan sampai gagal paham memahami perekonomian makro. Pemerintah memiliki tugas berat menjaga kinerja neraca perdagangan agar surplus, sebab di dalamnya tidak hanya aktivitas ekspor, tapi negara pun harus melakukan importasi.
Untuk menjaga dan menguatkan performance kinerja perberasan dalam negeri ini, tentunya pemerintah khususnya Kementerian Pertanian harus tetap bekerja keras. Harus benar-benar mengimplemtasikan berbagai stragegi dan program peningkatan produksi, misal food estate, korporasi petani, petani milenial, IP400, asuransi pertanian dan program lainnya.
Namun demikian, pemerintah juga perlu mewujudkan data presisi, khususnya yang terkait luas lahan, produktivitas, produksi dan tingkat konsumsi dan sebaran beras di setiap daerah. Pemerintah pun harus lebih masif membuat program yang merangsang pemuda melakukan usaha tani presisi. Tak hanya membukakan akses pasar dan jaminan modal, tapi akses lahan dan teknologi pun harus diwujudkan.
Akses teknologi jangan hanya sekedar memberikan bimbingan teknis, tapi kepastian teknologi dan inovasi untuk diterapkan petani harus diutamakan. Bimbingan teknis dan pelatihan pun tidak cukup hanya satu atau dua kali, tapi harus dimuat secara kontinue dengan target out yang jelas hingga petani bisa menjadi petani yang maju, mandiri dan modern.
Jika sudah, pendekatannya perlu dilakukan evaluasi dengan melibatkan perguruan tinggi yang sudah memiliki pendekatan data presisi yang mumpuni untuk diterapkan. Penulis meyakini, dengan pendekatan pembangunan pertanian berbasis Artificial Intelligence yang dijalankan Kementerian Pertanian saat ini. Segala polemik data dan yang dihadapi petani di lapangan dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat waktu. Peningkatan produksi pangan pun ke depan terus menguat dan pertanian Indonesia tumbuh semakin tangguh.

0 comments