October 18, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Human, Environment, System & Technology: Mengambil Hikmah dari PLH KA 65 dan 350 [Bagian 1]

SEBUAH peristiwa kecelakaan di sektor transportasi dapat terjadi karena adanya keterlibatan beberapa faktor yang turut berkontribusi dengan berbagai konfigurasi dan bobot perannya masing-masing.

Tak hanya kecelakaan atau musibah transportasi sebenarnya, kasus-kasus seperti kebocoran reaktor nuklir Chernobyl, meledaknya reaktor di pabrik pestisida Union Carbide Bhopal, sampai kasus cemaran zat Ethylen Glycol di sirup obat batuk yang baru saja heboh di tanah air, adalah suatu kondisi musibah yang disebabkan oleh multifaktor, atau akumulasi dari serangkaian proses yang berujung pada timbulnya suatu kondisi yang tidak dikehendaki.

Apa saja elemen yang terlibat dan berkontribusi pada terjadinya suatu musibah atau kecelakaan? Setidaknya secara teori ada 4 domain yang perlu untuk diperhatikan: manusia, lingkungan, sistem, dan teknologi.

Manusia adalah master mind sekaligus aktor dan operator serta subjek terdampak dalam suatu musibah. Manusia yang merancang sebuah sistem, dan manusia pula yang mengembangkan teknologi penunjangnya. Di sisi lain, manusia juga yang menjadi pelaksana atau operator dari sistemnya, sekaligus pengguna, dan juga menjadi subjek terdampak dari kegagalan sistem yang berujung pada kecelakaan.

Sementara faktor lingkungan adalah faktor yang terdiri dari banyak unsur alam yang mempengaruhi kinerja dari suatu sistem yang dikembangkan oleh manusia. Di dalamnya bisa terdapat faktor iklim dan cuaca, kondisi geomorfologi, kondisi geologi, sampai keberagaman hayati yang antara lain maujud dalam diversifikasi bioma dan lain-lain.

Sistem adalah suatu pola yang terstruktur secara sistematik, yang dirancang, dikembangkan, dan dijalankan untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan efektif dan efisien. Misal sistem transportasi, sistem transaksi perbankan, sistem pelayanan kesehatan dan lain-lain.

Sedangkan teknologi adalah bagian dari pemanfaatan produk sains dalam bentuk aplikatif implementatif yang dapat mendukung atau menjadi enabler sebuah sistem. Dalam sistem transportasi misalnya, dikembangkan teknologi penerbangan dengan pesawat, sistem propulsi, sistem navigasi, sampai dengan manajemen penerbangannya.

Demikian pula pada sistem transportasi berbasis jalan rel, ada teknologi traksi, catudaya (diesel elektrik, OCS, third rail, Maglev, dll), sistem interlocking (sinyal, wesel, blok, dll), teknologi kendali dan komunikasi kereta (communication based train control), sampai teknologi jalan rel, tiketing, stasiun dll. 

Untuk itu ketika terjadi suatu peristiwa kecelakaan di salah satu sektor transportasi seperti peristiwa pada tanggal 5 Januari 2024 di Km 181+700 petak Haurpugur - Cicalengka berupa tabrakan antara KA 65 Turangga relasi Surabaya Gubeng-Bandung dengan KA 350 Commuter Line Bandung Raya relasi Padalarang-Cicalengka, kita perlu melakukan tahapan investigasi komprehensif yang dapat mengakomodir aspek-aspek human, environment, system, & technology, sebagaimana yang telah kita bahas sekilas di atas.

Kewenangan investigasi sesuai dengan regulasi yang berlaku saat ini, berada di Komite Nasional Keselamatan Transportasi. Hal ini sesuai dengan aturan dan dasar hukum yang termaktub di Peraturan Pemerintah No 62 Tahun 2013 tentang Investigasi Kecelakaan Kereta api, dan Peraturan Presiden No 2 Tahun 2012 tentang Komite Nasional Keselamatan Transportasi.

Maka untuk mendapatkan simpulan yang valid terkait faktor penyebab dan berbagai kondisi yang berkontribusi pada terjadinya peristiwa luar biasa hebat pada KA 65 dan 350 akan dapat dilihat pada laporan akhir investigasi yang akan dirilis oleh KNKT di saat seluruh proses penyelidikan dan pengolahan data serta pengambilan kesimpulan berdasar data dan bukti yang tersedia telah selesai diproses dan dianalisis.

Untuk itu izinkan dalam kesempatan ini saya mencoba untuk menyajikan beberapa konsep pendukung investigasi dalam upaya mengelaborasi faktor HEST di atas dalam konteks memahami rangkaian proses yang dapat menimbulkan kecelakaan di sektor transportasi.

Dalam kajian keselamatan transportasi pada umumnya banyak dibahas peran dari human factor yang berasosiasi dengan human error. Bahkan berdasarkan statistik faktor human error ini merupakan faktor penyumbang terbesar dalam kecelakaan, yang mencapai sekitar 2/3 dari rangkaian penyebab kecelakaan pesawat (Wiegman & Shappel, 2000).

Proses evakuasi Kereta Api Turangga relasi Surabaya Gubeng-Bandung bertabrakan dengan Kereta Api lokal Bandung Commuterline Padalarang-Cicalengka di Kilometer 181 +700 antara Stasiun Haurpugur-Stasiun Cicalengka, Jawa Barat, Jum'at (5/1/2024). Akibat kecelakaan kereta tersebut, beberapa perjalanan kereta api dialihkan. Sebanyak 4 orang meninggal dunia dalam insiden tersebut. IVOOX/Budi Yanto

Proses evakuasi Kereta Api Turangga relasi Surabaya Gubeng-Bandung bertabrakan dengan Kereta Api lokal Bandung Commuterline Padalarang-Cicalengka di Kilometer 181 +700 antara Stasiun Haurpugur-Stasiun Cicalengka, Jawa Barat, Jum'at (5/1/2024). Akibat kecelakaan kereta tersebut, beberapa perjalanan kereta api dialihkan. Sebanyak 4 orang meninggal dunia dalam insiden tersebut. IVOOX/Budi Yanto

Jika human error adalah bagian dari human factor, maka human factor dipengaruhi oleh human performance (Eurocontrol, 2010), yakni dapat berupa aspek anatomi fisiologi seperti data antropometri, usia, kebugaran, faal penglihatan-pendengaran, respon motorik, mekanisme refleks dll. Juga melibatkan faktor patologi seperti status kesehatan dan kondisi medis tertentu. Lalu ada faktor psikologis, dimana terdapat dinamika mental dan emosional yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi psikososial.

Berangkat dari berbagai penelitian keselamatan transportasi, khususnya penerbangan, dan terkait dengan faktor manusia, didapati berbagai kondisi yang diduga dapat mendistorsi kinerja di ranah human factor. Dalam AMT Handbook ke 12 gangguan pada human factor tersebut disebut The Dirty Dozen.

Adapun the dirty dozen itu sendiri terdiri dari :

Lack of Communication, kurang adekuatnya proses komunikasi profesional yang berpotensi untuk menimbulkan kondisi mispersepsi dan misinterpretasi yang lebih mengedepankan asumsi dan opini pribadi yang memiliki keterbatasan fisiologi.

Complacency, kepuasan dan kebanggaan diri yang berlebih (over pride) yang dapat menimbulkan ekses berupa rasa percaya diri berlebih yang berpotensi menimbulkan kelalaian dan pengabaian terhadap regulasi tertentu karena merasa sudah sangat menguasai tugas yang dilakukannya.

Distraction, dimana dalam proses menjalankan tugas terkadang seseorang melakukan kegiatan lain secara paralel. Misal penggunaan piranti seluler untuk berkomunikasi non dinas, berselancar, chat, atau bahkan melakukan kegiatan bisnis yang tentu saja dapat mengalihkan derajat atensi dan konsentrasi pada tugas utama yang tengah dikerjakan. Distraksi juga dapat disebabkan oleh masalah pribadi, kondisi lingkungan kerja, dan berbagai aspek interaksi sosial lainnya.

Lack of Knowledge, kurangnya pengetahuan, pengalaman, dan proses pendidikan serta pelatihan yang tidak adekuat ditandai antara lain dengan minimnya pengetahuan akan panduan dari regulasi pekerjaan, aturan dinas, serta rendahnya pemahaman terhadap situasi dan kondisi dalam ruang lingkup pekerjaan.

Lack of Team Works, rendahnya kapasitas komunikasi profesional dapat menjurus pada terjadinya silo ataupun hambatan dalam membangun kerjasama tim yang melibatkan hubungan profesional lintas personal dan unit kerja. Pola pikir yang hanya berorientasi pada tugas pribadi dan tujuan unit dapat membuat _flow_ proses dalam algoritma fungsi dalam pencapaian tujuan utama tidak tercapai karena tidak adanya kesepahaman di antara unit-unit strategis di dalamnya.

Fatique, kelelahan dan kejenuhan fisik dan psikis dapat berakibat pada menurunnya kapasitas fisiologis seseorang. Atensi, konsentrasi, daya analitik, kesadaran situasi, pembentukan persepsi, sampai respon berupa aksi dapat tidak sejalan dengan regulasi ataupun kondisi riil yang dihadapi.

Kondisi fatique terkait erat dengan aspek ergonomi, juga profil biologis dari petugas yang berdinas. Tentu saja hal ini dipengaruhi oleh waktu dan durasi pekerjaan, tingkat kebugaran, situasi dan kondisi lingkungan pekerjaan, tingkat tekanan dalam pekerjaan, dll.

Norms atau norma, yaitu kondisi yang berkembang dalam proses pelaksanaan tugas profesi. Tidak termaktub sebagai nilai formal dalam sebentuk SOP yang dapat dinilai aspek compliance nya, akan tetapi menjadi bagian yang kadang maujud dalam spirit komunal di lingkungan pekerjaan dan dapat menjadi gangguan utama dalam aspek compliance terhadap aturan. Norms atau kondisi yang dianggap normal misalnya dapat terjadi dalam cara mengelola dan menyelesaikan masalah dengan cara tertentu yang tidak ada di SOP atau Peraturan Dinas. Sekilas tampak solutif dan inovatif, akan tetapi sebenarnya dapat membahayakan karena aspek resiko dan dampak sistemik belum terukur dan terkendali. Berdasar norma biasanya dilakukan langkah-langkah praktis yang kemudian menjadi kebiasaan di lingkungan pekerjaan, meski tak sejalan dengan panduan tugas dalam konteks kedinasan.

Lack of Awareness, kurangnya kesadaran terhadap dinamika perubahan di lingkungan pekerjaan karena rutinitas yang telah dilakukan. Terutama pada pekerjaan yang tugasnya bersifat repetitif atau berulang dan condong bersifat mekanistik. Kondisi lack of awareness ini dapat membuat petugas tidak peka terhadap berbagai gejala dan anomali yang terjadi, yang memiliki potensi untuk menimbulkan masalah besar yang mengganggu sistem operasi ataupun berbagai fungsi lainnya.

Stress, manajemen stress berupa proses koping dan meminimalisir stressor adalah salah satu kapasitas penting dalam mengoptimalkan peran profesional seseorang. Stress akut dan kronis dapat mempengaruhi kinerja otak dan sistem mental manusia melalui jalur psikoneuroimunologi sebagaimana teorinya diusung oleh Hans Selye. Peningkatan kadar hormon stress seperti ACTH, kortisol, dan epinefrin dapat berdampak pada perubahan kinerja sistem syaraf, termasuk pada sistem pengambilan keputusan yang akan lebih bersifat impulsif dan bersifat defensif dalam mode survivalitas. Keputusan yang biasanya terburu-buru, miskin pertimbangan, dan melibatkan hanya dari satu perspektif yang bersifat subjektif.

Pressure, atau tekanan sebenarnya merupakan bagian terintegrasi dari stress dan stressor (penyebab stress). Tekanan dapat bersifat sistemik dari tuntutan pekerjaan, dan dapat pula bersifat organik yang lebih disebabkan karena adanya berbagai permasalahan yang membelit personel yang bersangkutan. Di era digital seperti saat ini tekanan dapat datang dari adanya hutang pinjaman daring ataupun berbagai kondisi sosial lainnya yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi kinerja seseorang.

Lack of Resources, atau kekurangan sumber daya. Dalam konteks ini sumber daya dapat dibagi dalam sumber daya manusia dan sumber daya pendukung, termasuk di dalamnya adalah sarana dan prasarana kerja. Kurangnya jumlah personel akan menimbulkan kelelahan dan beban tugas yang berlebihan. Sedangkan kurang mumpuninya sumber daya berupa infrastruktur kerja akan menghambat aktivitas profesional dan berpotensi untuk menimbulkan penurunan kapasitas dan kinerja dari personel yang bersangkutan.

Lack of Assertiveness, dalam konteks human factor, lack of assertiveness biasanya terkait erat dengan situasi lingkungan kerja, model kepemimpinan, dan konsep komunikasi profesi terkait. Kebuntuan komunikasi dan gaya kepemimpinan yang kurang mengakomodir saran, pendapat, ataupun keluh kesah dari tim biasanya akan berdampak pada menggejalanya sifat asertif yang cenderung enggan untuk mendiskusikan atau membicarakan masalah profesi yang tengah dihadapi. Akibatnya tentu saja kondisi ini dapat memantik terakumulasinya permasalahan yang telah berlangsung secara kronik dan dapat memicu terjadinya masalah sistemik dengan dimensi persoalan yang di luar prakiraan.

Penulis: Tauhid Nur Azhar

0 comments

    Leave a Reply