Gugatan Pengusaha Atap Asbes ke Mahkamah Agung Dinilai Salah Sasaran | IVoox Indonesia

April 29, 2025

Gugatan Pengusaha Atap Asbes ke Mahkamah Agung Dinilai Salah Sasaran

AdobeStock_346599169_Preview
ILUSTRASI - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2014 mengeluarkan rekomendasi mengenai “Penghapusan Penyakit Terkait Asbes”. Menurut WHO pada tahun 2014 diperkirakan sekitar 125 juta orang di dunia terpapar asbes di tempat kerja. IVOOX.ID/vecteezy.com

IVOOX.id – Lembaga Pelindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Yasa Nata Budi menilai gugatan para pengusaha atap asbes yang bernaung di dalam Asosiasi Manufaktur Fiber Cement (FICMA), salah sasaran.

“Kami hargai hak konstitusional FICMA walaupun menurut kami gugatan mereka salah sasaran. Sebaiknya FICMA berpikir ulang menggugat hak konsumen memperoleh informasi yang benar atas produk yang akan dikonsumsinya,” ujar pengurus LPKSM, Leo Yoga Pranata, dalam siaran pers yang diterima Ivoox.id, Senin (4/11/2024).

Dijelaskan, atap berbahan asbes telah lama diproduksi dan menjadi material bangunan yang populer di masyarakat. Hingga tahun 2023, Statistik Kesejahteraan Rakyat Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat setidaknya 12,85 persen atap terluas rumah tangga di Indonesia menggunakan bahan asbes. Fakta yang demikian ini seolah mengabaikan peringatan Badan Riset Dunia untuk Kanker (IARC) dibawah Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahwa semua jenis asbes bersifat karsinogenik atau dapat menyebabkan kanker.

Berdalih atap asbes produksinya menggunakan krisotil yang tidak tercantum di dalam Ratifikasi Konvensi Rotterdam, Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2013, Asosiasi Manufaktur Fiber Cement (FICMA) mendalilkan bahwa bahan yang mereka gunakan tidak berbahaya. Menurut FICMA, krisotil berbeda dengan jenis asbes lainnya seperti; actinolite, amosite, anthophyllite, crocidolite, dan tremolite yang telah lebih dulu ditetapkan karsinogenik.

Atas dasar itulah para pengusaha atap asbes menggugat keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menetapkan pencabutan peraturan menteri perdagangan Nomor 25 Tahun 2021 yang abai menetapkan kewajiban label cara penggunaan dan peringatan bahaya pada produk atap asbes.

FICMA juga menggugat para pengurus LPKSM Yasa Nata Budi yang sebelumnya mengajukan judicial review atas peraturan menteri perdagangan tersebut. Mereka minta ganti rugi senilai Rp7,9 miliyar per bulan dengan uang paksa Rp5 juta per hari. Dalilnya, akibat pencabutan peraturan menteri perdagangan yang ditetapkan oleh MA, para pengusaha mengalami kerugian opportunity lost senilai Rp7,98 triliun.

Leo mengatakan para pengurus LPKSM Yasa Nata Budi sebagai tergugat optimis akan memenangkan perkara. “Waktu gugat ke MA, kami menggunakan hak sebagai lembaga pelindungan konsumen untuk membela kepentingan konsumen terhadap informasi yang jelas, jujur dan terang terhadap produk atap asbes yang beredar di pasaran,” katanya.

Leo menjelaskan kemenangan LPKSM Yasa Nata Budi dalam perkara di MA memberi angin segar dalam pelindungan konsumen dari bahaya penyakit akibat asbes. Dia mengatakan justru terkejut dengan reaksi dari industri asbes yang menggugat balik.

Sementara itu, Koordinator Indonesia Ban Asbestos, Muchammad Darisman menjelaskan, langkah hukum yang ditempuh FICMA dengan menggugat kepentingan konsumen adalah preseden buruk bagi kepastian hukum pelindungan konsumen di Indonesia. Menurutnya konsumen yang semakin cerdas memutuskan konsumsinya adalah amanat konstitusi yang justru harus dipenuhi negara.

“Ini ada lembaga perlindungan konsumen yang ingin mencerdaskan masyarakat dengan meminta pemberian label bahaya dan tata cara penggunaan atap asbes, kok malah dibungkam balik dengan gugatan hukum,” katanya.

Adapun Local Initiatiative for OSH Network (LION) Indonesia yang telah bekerja mengadvokasi bahaya asbes sejak tahun 2010, menyatakan, keputusan MA agar produsen wajib mencantumkan label bahaya dan tata cara penggunaan yang tepat adalah hak konsumen. Hak memperoleh informasi yang jelas, jujur, dan terbuka atas produk konsumsi dilindungi oleh UU Konsumen No.8 tahun 1999.

“Indonesia sudah mendaftarkan enam orang pekerja dengan penyakit akibat paparan asbes di tempat kerja. Pelajaran penting dari hal ini adalah tidak adanya informasi kebahayaan dan tata cara penggunaan bagi pekerja ternyata telah memakan korban. Kita berkepentingan agar tidak makin luas korban dari kalangan konsumen atap asbes,” jelas Surya Ferdian, Direktur LION Indonesia.

Menurut Surya, dia mendukung dan akan ikut serta dalam pembelaan kepada LPKSM Yasa Nata Budi menghadapi gugatan FICMA yang menurutnya tidak masuk akal. Tindakan LPKSM yang menuntut pembatalan peraturan menteri perdagangan yang mengabaikan kebahayaan asbes menurutnya adalah upaya yang justru untuk menyelamatkan FICMA.

Pasalnya, kompensasi bagi masyarakat yang menderita penyakit akibat asbes di masa depan tentu bukan harga yang ringan. “Kami tidak menginginkan industri membayar mahal atas penyakit akibat asbes di masa depan,” jelasnya.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2014 mengeluarkan rekomendasi mengenai “Penghapusan Penyakit Terkait Asbes” menurut WHO pada tahun 2014 diperkirakan sekitar 125 juta orang di dunia terpapar asbes di tempat kerja.

Lebih dari 90 ribu orang meninggal setiap tahunnya akibat kanker paru-paru yang berhubungan dengan asbes, mesothelioma, dan asbestosis akibat paparan di tempat kerja. Satu dari setiap tiga kematian akibat kanker akibat kerja diperkirakan disebabkan oleh asbes.

Di Indonesia sendiri Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun mencantumkan asbes/asbestos sinonim dengan nama dagang Amianthus dan Chrysolite (krisotil) merupakan bahan berbahaya dan beracun.

Demikian juga disebutkan pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 472 Tahun 1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan, yang mencantumkan asbestos sebagai bahan berbahaya yang mempunyai sifat racun dan karsinogenik.

0 comments

    Leave a Reply