Gajah Sumatera; Kisah Sang Penjelajah Rimba Sumatera

IVOOX.id - Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan makhluk daratan terbesar yang tersisa, tidak diragukan memiliki fungsi ekologis, serta sosial yang unik di wilayah Sumatera dibandingkan satwa lainya.
Kebutuhan akan habitat yang luas menjadikan gajah sebagai spesies payung dan perwakilan yang ideal bagi kepentingan pelestarian beberapa spesies kunci lain yang berbagi habitat yang sama maupun kepentingan konservasi keragaman hayati dan hutan secara lebih luas.
Keberadaan gajah sumatera diatur dalam beberapa Peraturan Perundangan diantaranya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi.
Gajah sumatera juga masuk sebagai satwa yang terancam punah dan terdaftar dalam IUCN Red List of Threatened Species dan termasuk dalam Appendix I dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).
Hal ini dikarenakan gajah sumatera di alam hanya dalam populasi yang kecil dengan sebaran geografis yang sempit atau terbatas serta kepadatan populasinya rendah.
Populasi gajah tersebar di seluruh Sumatera dari Aceh sampai Lampung. Setiap provinsi memiliki kedekatan yang berbeda dengan masyarakat sekitar dan upaya-upaya pelestariannya. Secara khusus, penulis akan menguraikan kondisi pengelolaan gajah sumatera di Provinsi Aceh.
Provinsi Aceh yang menyandang status sebagai daerah istimewa dan juga diberi kewenangan otonomi khusus juga mengatur konservasi sumber daya alam diantaranya melalui MoU Helsinski yang menyatakan bahwa Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh.
BACA JUGA: Taman Nasional Kerinci Seblat, Pucuk Bumi Tanah Andalas
Kemudian pada Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, disebutkan bahwa pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/ kota berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan tata ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk.
Di Aceh sendiri, gajah memiliki nilai sejarah yang istimewa, hal ini ditandai dengan gajah yang melambangkan kejayaan Kesultanan Aceh di masa lalu, dimana gajah digunakan sebagai kendaraan kebesaran Kesultanan, menyambut tamu penting dan terlibat dalam petempuran-pertempuran besar.
Di Aceh sendiri, gajah memiliki nilai sejarah yang istimewa, hal ini ditandai dengan gajah yang melambangkan kejayaan Kesultanan Aceh di masa lalu.
Beberapa panggilan yang disematkan dalam memberikan penghargaan yang tinggi diberikan pada gajah di Aceh, seperti Po Meurah, Tengku Rayeuk, Abang Kul (Gayo), dll.
Melihat dari perilakunya, gajah hidup berkelompok, besarnya anggota kelompok sangat bervariasi tergantung pada musim dan kondisi sumber daya habitatnya terutama makanan dan luas wilayah jelajah yang tersedia. Jumlah anggota satu kelompok gajah sumatera berkisar 20-35 ekor, atau berkisar 3-23 ekor.
[caption id="attachment_157616" align="alignnone" width="758"] Sultan Iskandar Muda pada masa pemerintahannya begitu disegani karena memiliki Seribu Pasukan Gajah. Sumber- Tropenmuseum[/caption]
Setiap kelompok dipimpin oleh induk betina yang paling besar atau dominan, sementara yang jantan dewasa hanya tinggal pada periode tertentu untuk kawin dengan beberapa betina pada kelompok tersebut.
Gajah yang sudah tua akan hidup menyendiri karena tidak mampu lagi mengikuti kelompoknya.
Sedangkan gajah jantan muda dan sudah beranjak dewasa dipaksa meninggalkan kelompoknya atau pergi dengan suka rela untuk bergabung dengan kelompok jantan lain. Sementara itu, gajah betina muda tetap menjadi anggota kelompok dan bertindak sebagai bibi pengasuh pada kelompok.
Sebaran populasi gajah sumatera di Aceh tersebar di 13 (tiga belas) kabupaten/kota dari keseluruhan 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh, dengan 85% populasinya berada di luar kawasan konservasi bahkan kawasan hutan.
BACA JUGA: Pemerintah Bertekad Wujudkan Indonesia Bersih
Berdasarkan data Dirjen PHKA [saat ini Dirjen KSDAE] (2007), perkiraan populasi gajah sumatera berkisar antara 2400 – 2800 ekor, dan di Aceh diperkirakan populasi gajah saat ini antara 530 – 600 ekor gajah, sebanding dengan 25% gajah di Pulau Sumatera mendiami kawasan hutan Aceh.
Provinsi Aceh tercatat masih memiliki tutupan hutan cukup baik mencakup bentang ekosistem hutan hujan tropis yang terbentang antara Kawasan Ekosistem Leuser (± 2,6 juta hektar) dan Kawasan Ulu Masen (± 700 ribu hektar). Namun kondisi tersebut tidak menjamin keberadaan gajah jauh dari konflik.
Konflik antara manusia dan gajah liar hampir terjadi di seluruh kabupaten/ kota yang terdapat populasi gajah.
Pada tahun 2016 tercatat jumlah konflik di Aceh sebanyak 44 kejadian konflik, tahun 2017 meningkat sebanyak 103 kejadian konflik dan tahun 2018 terjadi konflik sebanyak 73 yang terespon.
Konflik yang terjadi di Aceh dikarenakan meningkatnya aktifitas manusia di kawasan hutan, pembukaan lahan pertanian, pembangunan jalan lintas Kabupaten, penebangan liar dan penggunaan lainnya yang berakibat terhadap perubahan kawasan hutan, sehingga terputusnya wilayah jelajah (homerange) dan koridor-koridor satwa.
Ukuran wilayah jelajah gajah bevariasi antara 32,4-166,9 km². Wilayah jelajah unit-unit kelompok gajah di hutan-hutan primer mempunyai ukuran dua kali lebih besar dibanding dengan wilayah jelajah di hutan-hutan sekunder.
Selain itu gajah juga membutuhkan kondisi yang aman dan nyaman agar perilaku kawin (breeding) tidak terganggu. Gajah adalah hewan yang sangat peka terhadap suara. Oleh karena itu, penebangan liar yang terjadi diperkirakan telah mengganggu keamanan dan kenyamanan gajah.
Dalam mengatasi konflik antara manusia dan gajah liar, BKSDA Aceh telah melakukan beberapa kegiatan, diantaranya yaitu:
1. Pembangunan 7 Conservation Response Unit (CRU) di lokasi yang menjadi rawan konflik antara manusia dan gajah liar yang ditempati oleh tim mitogasi konflik dan gajah jinak dalam penanggulangan konflik; CRU Mila (Pidie), CRU DAS Peusangan (Bener Meriah), CRU Serbajadi (Aceh Timur), CRU Cot Girek (Aceh Utara), CRU Sampoiniet (Aceh Jaya), CRU Alue Kuyun (Aceh Barat), dan CRU Trumon (Aceh Selatan).
2. Pemasangan kalung Global Positioning System (GPS) Collar pada 7 gajah liar, yaitu 2 unit di Bener Meriah, 1 unit di Pidie, 1 unit di Aceh Utara, 1 unit di Aceh Jaya, dan 2 unit di Aceh Timur. Pemasangan kalung GPS Collar ini adalah sebagai salah satu system peringatan dini (early warning system) dan untuk mengetahui wilayah jelajah kelompok gajah agar dapat dilakukan langkah-langkah konservasi selanjutnya.
3. Pengelolaan batas fisik tambahan (kanal, pagar listrik,dll) antara habitat gajah dengan kawasan budidaya masyarakat dengan memperhatikan/melanjutkan/ memperkuat batas alami efektif yang sudah ada (jurang, tebing, rawa dalam, sungai, dll).
4. Pelatihan penanganan konflik gajah kepada masyarakat agar masyarakat dapat secara mandiri mengatasi konflik yang terjadi di
5. Mendukung pembentukan Kawasan Ekosistem Esensial dalam mengelola habitat gajah yang berada di luar kawasan
6. Penyesuaian/pengaturan pola penggunaan lahan atau menyesuaikan pilihan jenis komoditas usaha perkebunan, pertanian dan kehutanan yang sesuai/kurang beresiko terhadap konflik dengan gajah liar.
7. Menguatkan dukungan masyarakat luas terhadap upaya konservasi gajah dan Gajah sumatera penting untuk dipertahankan keberadaannya agar menjaga keseimbangan ekosistem. Jangan sampai gajah sumatera punah diakibatkan oleh penilaian yang salah terhadap keberadaannya seperti gajah penyebab konflik, merupakan hama bagi perkebunan, habitat gajah menghambat pembangunan “infrastruktur” dan juga tak kalah perburuan gading gajah semakin marak dengan alasan kebutuhan ekonomi.
Keagungan gajah sejak dulu harus tetap dipertahan sampai saat ini. Jangan sampai gajah hanya menyisakan gading, jangan hanya tinggal cerita bagai anak cucu kita.
*Ditulis oleh Tutia Rahmi, S.Hut (Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Aceh)
*Dilansir dari Majalah Hijau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Edisi 1 Tahun 2019

0 comments