Ekonom Sebut Menkeu Purbaya Abaikan Pengungkapan Risiko Fiskal | IVoox Indonesia

November 7, 2025

Ekonom Sebut Menkeu Purbaya Abaikan Pengungkapan Risiko Fiskal

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berbincang dalam kegiatan “Sarasehan 100 Ekonom Indonesia” di Jakarta, Selasa (28/10/2025). (ANTARA/Imamatul Silfia)

IVOOX.id – Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menilai Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa abai terhadap kewajiban pengungkapan risiko fiskal kepada publik. Menurutnya, keterbukaan mengenai risiko fiskal merupakan bagian penting dari tata kelola keuangan negara yang transparan dan akuntabel.

Dalam forum Sarasehan 100 Ekonom INDEF yang digelar pada Selasa, 28 Oktober 2025, Awalil mengaku sempat menanyakan langsung kepada Purbaya alasan pemerintah tidak mengemukakan risiko fiskal secara terbuka. Namun, pertanyaan tersebut, kata dia, tidak dijawab secara substansial.

“Purbaya tidak menjawab substansi pertanyaan. Ia hanya berupaya meyakinkan bahwa risiko sudah diperhitungkan dan masih dalam kontrol pemerintah,” ujar Awalil dalam keterangan resmi yang diterima ivoox.id Kamis (30/10/2025).

Ia menjelaskan, risiko fiskal merupakan deviasi antara hasil aktual dan target APBN yang disebabkan oleh guncangan makroekonomi atau kewajiban kontinjensi. Menurut literatur yang dikutipnya, risiko fiskal terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu risiko ekonomi umum, risiko fiskal spesifik, dan risiko kelembagaan. Semua itu dapat memengaruhi kesinambungan APBN dan stabilitas fiskal negara.

Pengungkapan risiko fiskal, kata Awalil, telah menjadi praktik umum di berbagai negara sejak lama. Di Indonesia, praktik ini mulai dilakukan pada 2008 dan terus disempurnakan dalam dokumen Nota Keuangan yang menyertai APBN. Sejak 2022, pemerintah telah menggunakan taksonomi risiko fiskal yang terbagi menjadi empat bagian, mencakup risiko makroekonomi, implementasi kebijakan, kewajiban kontinjensi, dan neraca konsolidasi sektor publik, serta sejak 2024 ditambah risiko fiskal daerah.

Meski begitu, Awalil menilai asesmen pemerintah dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2026 masih terlalu “lunak” dan tidak menggambarkan kondisi sesungguhnya. Dalam peta risiko yang disusun pemerintah, dampak perubahan ekonomi makro terhadap pendapatan negara misalnya, dikategorikan sebagai risiko berdampak sedang (level 3) namun sangat mungkin terjadi (level 4).

“Pemerintah sebenarnya mengakui kemungkinan tidak tercapainya target pendapatan APBN akibat faktor ekonomi makro, tapi menilai dampaknya hanya sedang,” ujarnya.

Hal yang sama terjadi dalam risiko pembiayaan anggaran yang juga ditempatkan pada skala sedang. Padahal, menurut Awalil, indikator seperti Debt Service Ratio yang mencapai 45,18 persen dan Interest Payment Ratio sebesar 19,27 persen pada 2024 menunjukkan tingkat risiko yang lebih tinggi.

“Secara umum pengungkapan risiko fiskal sudah sesuai praktik internasional, tapi pemerintah tampak menurunkan titik koordinat risikonya agar terlihat lebih terkendali,” katanya.

Ia menilai pemerintah belum memiliki kemauan untuk membicarakan risiko fiskal secara terbuka. “Pengungkapan risiko fiskal hanya sebatas dalam dokumen Nota Keuangan, tidak menjadi bahan komunikasi publik,” ujarnya.

Awalil menegaskan, pemerintah seharusnya menjadikan transparansi fiskal sebagai bentuk tanggung jawab kepada masyarakat. “Tujuan pengungkapan risiko fiskal adalah meningkatkan kesadaran publik, transparansi, dan akuntabilitas agar kesinambungan APBN dapat terjaga,” katanya.


0 comments

    Leave a Reply