Ekonom Ragukan Dampak PPN 12 Persen pada Barang Mewah Hanya akan Menyasar Orang Kaya | IVoox Indonesia

May 1, 2025

Ekonom Ragukan Dampak PPN 12 Persen pada Barang Mewah Hanya akan Menyasar Orang Kaya

antarafoto-pemerintah-jamin-daya-beli-tak-terdampak-kenaikan-ppn-1732282448
Pengunjung berbelanja di pusat perbelanjaan di Jakarta, Jumat (22/11/2024). Pemerintah menjamin daya beli masyarakat tak akan terdampak oleh kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 1 persen menjadi 12 persen yang akan dimulai 1 Januari 2025 mendatang, mengingat pemerintah telah menyiapkan sejumlah regulasi yang ditujukan untuk menjaga daya beli masyarakat. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

IVOOX.id - Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada barang-barang mewah menuai berbagai reaksi. Kebijakan ini dipandang sebagai langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi ketimpangan ekonomi. Namun, banyak pihak yang mempertanyakan efektivitasnya, termasuk dampaknya terhadap kelompok masyarakat menengah dan kecil.

Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, menilai kebijakan ini memerlukan kajian mendalam. “Rencana pemerintah untuk memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada barang-barang mewah memunculkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat. Salah satu argumen yang sering digunakan untuk mendukung kebijakan ini adalah bahwa pajak tersebut hanya akan memengaruhi kalangan atas atau mereka yang mampu membeli barang-barang mewah. Namun, jika kita telaah lebih dalam, dampak dari kebijakan ini tidak sesederhana itu,” katanya dalam siaran pers yang diterima ivoox.id Minggu (8/12/2024).

Salah satu masalah utama dari kebijakan ini adalah definisi "barang mewah" yang sering kali kabur. Barang seperti kendaraan bermotor premium, perhiasan, atau properti mahal memang masuk dalam kategori ini. Namun, dalam praktiknya, batasan nilai barang yang dianggap mewah sering kali tidak mencerminkan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah.

Sebagai contoh, barang elektronik seperti ponsel kelas menengah atas, yang kini menjadi kebutuhan penting untuk bekerja atau belajar, bisa saja dikenakan tarif pajak lebih tinggi. Hal ini mencerminkan bahwa definisi barang mewah dapat bergeser, terutama di tengah kenaikan harga barang akibat inflasi.

Achmad Nur Hidayat juga menyoroti efek domino yang sering diabaikan. “Peningkatan tarif PPN untuk barang mewah, meskipun secara langsung menyasar kelompok ekonomi atas, juga akan memberikan dampak yang merambat ke kelompok masyarakat menengah dan kecil,” ujarnya.

Misalnya, kenaikan PPN pada kendaraan mewah dapat memengaruhi sektor pendukung seperti jasa perbaikan, asuransi, dan suku cadang. Jika sektor-sektor ini menaikkan harga untuk menyesuaikan dengan tarif pajak baru, masyarakat menengah yang menggunakan layanan tersebut juga akan terkena dampaknya. Hal serupa juga terjadi di sektor properti, di mana kenaikan tarif pajak pada properti mewah dapat berdampak pada harga sewa, biaya perawatan, dan bahan bangunan.

Meskipun kebijakan ini dirancang untuk menyasar barang-barang yang dianggap tidak esensial, dampaknya bisa meluas ke semua lapisan masyarakat. Barang-barang seperti laptop atau ponsel pintar, yang kini menjadi kebutuhan penting, bisa menjadi semakin mahal akibat pajak tambahan. Akibatnya, kelompok menengah ke bawah akan semakin sulit mengakses teknologi yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, yang pada gilirannya memperlebar kesenjangan digital dan ekonomi.

Selain itu, kelompok kecil juga rentan terdampak melalui efek ekonomi yang meluas. Misalnya, pekerja di sektor pendukung barang mewah, seperti industri perhotelan atau catering, dapat kehilangan pendapatan jika permintaan terhadap barang atau jasa mewah menurun.

Untuk memitigasi dampak negatif dari kebijakan ini, Achmad Nur Hidayat menyarankan pendekatan alternatif. “Pemerintah perlu menyusun definisi yang lebih jelas tentang barang mewah, menerapkan pajak progresif berdasarkan nilai barang, serta memberikan insentif bagi produsen lokal. Dengan langkah ini, kebijakan dapat menjadi lebih adil dan efektif,” katanya.

Achmad juga menekankan pentingnya pengawasan untuk mencegah penyelewengan kebijakan. Tanpa pengawasan yang ketat, pihak-pihak tertentu bisa saja memanfaatkan situasi untuk menaikkan harga secara tidak wajar, yang akhirnya membebani konsumen.

Kenaikan tarif PPN pada barang mewah memang bertujuan untuk menyasar kelompok ekonomi atas, tetapi dampaknya tidak dapat diabaikan bagi kelompok menengah dan kecil. Efek domino dari kebijakan ini dapat melemahkan daya beli masyarakat luas, memperlebar kesenjangan, dan memperlambat mobilitas sosial.

Oleh karena itu, pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam merancang kebijakan fiskal semacam ini. Dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, kebijakan dapat diarahkan untuk menciptakan keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

0 comments

    Leave a Reply