Dunia Terfragmentasi, Kita Butuh Tanggung Jawab Moral Individu | IVoox Indonesia

June 23, 2025

Dunia Terfragmentasi, Kita Butuh Tanggung Jawab Moral Individu

230625-Pendidikan Terfragmentasi2
ILUSTRASI - Guru-guru di pelosok Indonesia tetap setia mengajar dengan segala keterbatasan. Mereka mengabaikan godaan pragmatisme, dan memilih untuk bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anak di komunitasnya. IVOOX.ID/AI

IVOOX.id - Dunia kita sekarang semakin terfragmentasi di semua bidang, termasuk di bidang pendidikan dan kebudayaan.

Pendidikan sering terjebak pada logika untung-rugi dan kompetisi tanpa keteladanan, sementara kebudayaan lokal semakin terpinggirkan oleh mondialisasi gaya hidup konsumtif dan nilai-nilai instan dan komersial.

Zygmunt Bauman, sosiolog asal Polandia, menyebut zaman modern akhir ini sebagai era "modernitas cair" (liquid modernity), ketika tatanan sosial yang dulunya stabil --agama, keluarga, sekolah, negara-- tidak lagi berfungsi sebagai penuntun moral yang kuat.

Dunia menjadi serba cepat, serba sementara, dan relasi antarindividu menjadi dangkal. Kita hidup di tengah masyarakat yang terfragmentasi, keterpecahan dan ketidakpastian, tetapi di saat bersamaan tetap membutuhkan nilai-nilai yang mempersatukan, memperdamaikan, dan membuat dunia menjadi tempat yang manusiawi.

Dalam konteks ini, pendidikan dan kebudayaan memegang peran vital, namun keduanya juga turut mengalami tekanan dari arus fragmentasi ini. Pendidikan sering terjebak pada logika pasar dan kompetisi, sementara kebudayaan lokal tergilas oleh globalisasi nilai-nilai instan dan komersial.

Di tengah semua itu, pertanyaan mendasar yang perlu kita ajukan kembali adalah, apakah kita masih memelihara tanggung jawab moral sebagai individu?

Bauman dalam Postmodern Ethics (1993) menulis: “There are no more unquestionable authorities to tell us what is right and what is wrong; we must choose our responsibilities ourselves.” Dalam dunia yang tidak lagi punya rambu moral yang kokoh, setiap individu harus mengambil tanggung jawab etis secara sadar.

Dunia Pendidikan

Ini sangat relevan dalam dunia pendidikan kita hari ini. Ketika sistem tidak cukup kuat menjamin nilai-nilai, maka karakter murid sangat tergantung pada teladan pribadi para guru dan orang dewasa di sekitarnya.

Kita melihat ini dalam banyak kisah nyata, misalnya guru-guru di pelosok Indonesia yang tetap setia mengajar dengan segala keterbatasan. Mereka mengabaikan godaan pragmatisme, dan memilih untuk bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anak di komunitasnya.

Data menunjukkan, ada lebih dari 150 ribu guru honorer di daerah terpencil yang tetap mengajar, meski dengan gaji di bawah UMR. Ini menunjukkan bentuk nyata tanggung jawab moral mereka.

Tindakan mereka mencerminkan apa yang disebut Bauman sebagai moral impulse that precedes reason and law. Dorongan etis yang tidak ditentukan oleh aturan, melainkan oleh kesadaran akan keberadaan orang lain yang tidak bisa diabaikan. Dorongan untuk bertanggung jawab lahir dari dalam diri, bukan karena paksaan atau aturan di luar dirinya.

Di Indonesia, Indeks Integritas Pendidikan 2023 menunjukkan penurunan skor integritas akademik di beberapa provinsi, terutama terkait praktik mencontek dan manipulasi nilai. Sistem Pendidikan yang lebih fokus pada hafalan daripada pembentukan karakter juga menyebabkan siswa memiliki kemampuan rendah dalam berpikir kritis dan memecahkan masalah.

Dunia kebudayaan

Dalam kebudayaan, tanggung jawab moral juga kerap dilupakan. Banyak warisan budaya lokal kita yang mengajarkan empati, gotong royong, dan penghormatan terhadap alam justru ditinggalkan demi budaya digital yang serba cepat dan dangkal.

Minimnya regenerasi juga menyebabkan banyak warisan budaya Indonesia, seperti wayang, batik, dan pencak silat, dalam UNESCO Intangible Cultural Heritage List masuk kategori in need of urgent safeguarding, butuh pelestarian mendesak.

Ini berbahaya, sebab budaya bukan sekadar identitas, tetapi sumber nilai bersama. Ketika budaya tidak lagi ditanamkan secara sadar dalam pendidikan maupun kehidupan sehari-hari, maka generasi muda akan kehilangan jangkar moralnya.

Sekolah dan lembaga kebudayaan sejatinya adalah tempat pembentukan watak, namun dalam praktiknya, etika sering tergeser oleh target capaian teknis: nilai ujian, akreditasi, prestasi individual.

Padahal, seperti ditulis Bauman dalam Liquid Modernity (2000), “Moral responsibility is non-negotiable and non-transferable”. Kita tidak bisa berharap nilai moral hanya diajarkan lewat buku teks atau slogan. Ia harus ditanamkan lewat tindakan nyata dan relasi langsung antara guru dan murid, antara orang tua dan anak, antara masyarakat dan budayanya.

Kita tidak sedang kekurangan sistem pendidikan, tetapi kekurangan keteladanan. Kita tidak kekurangan kurikulum, tetapi kekurangan ruang untuk menumbuhkan empati, keberanian moral, dan kepedulian sosial.

Peran individu

Di sinilah peran individu menjadi sangat penting. Dunia memang terus berubah, tetapi tanggung jawab moral tidak boleh ikut larut dalam perubahan itu. Karena pada hakikatnya, manusia adalah subjek moral yang dipanggil untuk ikut bertanggung jawab secara moral dalam membangun dunia agar lebih baik dan lebih manusiawi.

Saat ini, lebih dari kebijakan atau proyek nasional, kita membutuhkan kesadaran etis dalam skala mikro. Tindakan-tindakan kecil, mengajar dengan hati, menjaga kearifan lokal, mendampingi anak-anak dengan kasih, serta melibatkan diri dalam ruang publik dengan integritas, adalah bentuk nyata tanggung jawab moral yang dibutuhkan zaman ini.

Sudah saatnya kita berhenti bertanya, “apa yang salah dengan sistem?” saatnya mulai bertanya, “apa yang bisa saya lakukan?”. Dalam dunia yang cair, tanggung jawab moral pribadi adalah satu-satunya jangkar yang bisa membuat kita tetap manusia sebagai manusia.

Dengan demikian, pribadi-pribadi menjadi mercusuar harapan dan pembawa perbaikan di tengah dunia terfragmentasi dan terpolarisasi. Semuanya dimulai dari hal-hal kecil, menuju hal-hal besar agar dunia menjadi lebih sehat dan layak huni.


Penulis: Pormadi Simbolon

Pemerhati pendidikan dan kebudayaan, Pembimas Katolik Kanwil Kemenag Banten, penulis buku Pemikiran Zygmunt Bauman (Kanisius, 2024).

Sumber: Antara

0 comments

    Leave a Reply