Diakui Dunia, RI Terima Pendanaan GCF untuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan

IVOOX.id, Jakarta - Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapatkan pengakuan dari komunitas global atas keberhasilan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan.
Pengakuan itu antara lain dibuktikan dengan persetujuan dari Green Climate Fund (GCF) untuk mengucurkan dana senilai US$103,8 juta sebagai pembayaran berbasis kinerja yang dikenal dengan skema results-based payment (RBP).
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyampaikan di tengah pandemi covid-19 dan pemberitaan buruk yang kerap mewarnai sektor kehutanan, persetujuan pendanaan bernilai US$103,8 juta dari GCF untuk proposal reducing emission from deforestation and forest degradation (REDD+) atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan melalui skema RBP itu menunjukkan respons yang mengesankan dari Indonesia terhadap ancaman perubahan iklim.
“Ini juga wujud peningkatan kepercayaan di dalam negeri dan komunitas internasional,” ujar Siti dalam siaran resminya, Kamis (27/8).
Siti menjelaskan REDD+ merupakan pendekatan tata kelola hutan yang baik (good forest governance). Konteks terpenting dalam REDD+ adalah deforestasi.
Di Indonesia, deforestasi dipicu banyak kepentingan termasuk perkebunan, pertanian, pertambangan, pemukiman, dan sebagainya. Itu sebabnya, tanda ‘plus’ ditambahkan pada akronim REDD karena pendekatan tata kelola hutan yang baik tidak melulu konservasi dan perlindungan area hutan, melainkan juga mempertimbangkan dan mengarusutamakan beragam aspek termasuk aspek kemasyarakatan dan perekonomian.
“Hal ini juga memperlihatkan konsistensi Indonesia dalam menjalankan komitmennya yang tercantum dalam Persetujuan Paris yang diratifikasi melalui UU Nomor 16 Tahun 2016,” terang Siti.
Adapun, lanjut dia, skema RBP adalah pembayaran berbasis hasil kerja penurunan emisi GRK dalam kerangka REDD+. Data emisi harus terlebih dahulu diverifikasi oleh lembaga independen yang ditunjuk oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
“Proses penilaiannya pun dilakukan transparan. Oleh karena itu, pencapaian berupa pendanaan REDD+ RBP dari GCF ini bukan sekedar klaim tak berdasar, melainkan pengakuan dunia atas keberhasilan Indonesia yang mampu mengurangi laju deforestasi secara konsisten dan menurunkan emisi GRK yang sudah diverifikasi sampai 2017,” terang Siti.
Siti menjelaskan data pengurangan emisi GRK yang telah terverifikasi mendapatkan penghargaan dari GCF tersebut untuk kinerja pemerintah Indonesia pada periode 2014-2016.
Sebelumnya, Indonesia juga pernah mendapatkan penghargaan serupa dari pemerintah Norwegia dengan jumlah pendanaan senilai US$56 juta.
“Pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi faktor penting dalam upaya penurunan deforestasi,” ucapnya.
Langkah pengendalian
Menurut Siti, Karhutla sangat tinggi pengaruhnya terhadap deforestasi. Misalnya pada 2014-2015, deforestasi akibat kebakaran hutan mencapai 1,09 juta hektare. Padahal, tahun sebelumnya berhasil diturunkan ke 400.000 hektare.
“Sejak itu, Indonesia terus melakukan berbagai langkah pengendalian yang kemudian berhasil secara konsisten menurunkan laju deforestasi akibat karhutla,” kata dia.Pada 2019, deforestasi yang diakibatkan oleh karhutla hanya 460.000 hektare. Bahkan, data terakhir dari bulan Juli 2020 menunjukkan deforestasi akibat karhutla berhasil turun ke 64.602 hektare.
“Tetapi harus diingat, data yang telah diverifikasi baru sampai 2017. Selebihnya, masih harus dihitung dan diverifikasi lagi,” imbuh Siti.
Lebih lanjut, Siti menambahkan, sejak 2011 KLHK memiliki agenda yang disebut moratorium perizinan baru pada kawasan hutan primer dan gambut.
Moratorium ini menghasilkan penurunan deforestasi yang cukup besar, sehingga pada 2019 Kementerian LHK mengeluarkan kebijakan agar semua perizinan baru pada kawasan hutan primer dan gambut dihentikan.
“Ini bukan berbentuk moratorium lagi, melainkan dihentikan secara total. Kebijakan ini berhasil menurunkan laju deforestasi hingga 38%. Jadi terlihat sekali beberapa instrumen kebijakan dan upaya pemerintah untuk melakukan konsistensi dalam tata kelola hutan mulai dan telah memberikan hasil nyata,” pungkas Siti.
Kontribusi NDC
Siti melanjutkan langkah serius Indonesia itu tidak lepas dari agenda pembangunan rendah emisi GRK dan berketahanan iklim, sejalan dengan kontribusi yang ditetapkan secara nasional (nationally determined contribution/NDC). NDC merupakan dokumen yang menjelaskan kontribusi dan target-target mitigasi dan adaptasi dari sektor-sektor kunci untuk menurunkan emisi GRK.
Secara nasional, target penurunan emisi GRK yang ditetapkan dalam NDC ialah 29% dengan upaya sendiri, hingga 41% dengan dukungan internasional pada 2030.
Dalam hal ini, sektor kehutanan ditargetkan berkontribusi dalam menurunkan emisi GRK sebesar 17,2%. Ini merupakan angka terbesar ketimbang empat sektor kunci lainnya, yaitu sektor energi (11%), sektor limbah (0,38%), sektor pertanian (0,32%), dan sektor industri (0,10%).
“Dari sisi adaptasi, 17 sektor kunci dilibatkan untuk memastikan ketahanan sosial dan penghidupan, ketahanan ekosistem dan lanskap, serta ketahanan ekonomi,” kata dia.
Data sampai 2017, yang sudah diverifikasi, memperlihatkan upaya penurunan emisi GRK di Indonesia sudah mencapai seperempat dari target 29% pada 2030. Hitung-hitungan dalam proposal REDD+ RBP menunjukkan piloting penurunan emisi GRK sebesar 27 juta ton karbon dioksida ekuivalen (tCO2eq).
Dari jumlah ini, dalam Sidang Dewan GCF, Indonesia mendapatkan persetujuan pendanaan untuk penurunan emisi GRK sebesar 20,25 juta tCO2eq, yaitu senilai US$103,8 juta. Nilai ini bahkan melampaui nilai persetujuan proposal REDD+ RBP untuk Brasil sebesar US$96,5 juta.
“Bagaimana tindak lanjut kucuran dana ini dan implementasinya untuk kita semua di Indonesia? Indonesia akan menggunakan dana RBP untuk penguatan koordinasi, implementasi, dan arsitektur REDD+ secara keseluruhan, dukungan tata kelola hutan lestari yang terdesentralisasi melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan perhutanan sosial, termasuk restorasi lahan gambut dan pemberdayaan masyarakat adat, sesuai arahan Presiden Jokowi bahwa dana itu harus kembali digunakan untuk pemulihan lingkungan,” jelas Siti.
Ia mengungkapkan, pengelolaan dana akan dilaksanakan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang diharapkan menjadi badan nasional terbesar untuk mendorong pembiayaan lingkungan hidup. Dalam penggunaan dana RBP ini, Kementerian LHK bekerja sama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Kementerian LHK akan bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan dan menghasilkan keluaran yang disepakati kedua belah pihak sesuai alokasi dana pada proposal. Kemenkeu bertanggung jawab dalam mengelola, memantau dan mengevaluasi kinerja proyek untuk memastikan penggunaan sumber daya GCF secara efektif melalui BPDLH.
“Ke depannya, semua dana yang masuk BPDLH akan digabungkan dengan alokasi dana lingkungan hidup dari APBN agar hasilnya maksimal,” lanjut dia.
Kerja sama Lain Selain pendanaan dari GCF dan Pemerintah Norwegia, ada banyak lagi kerja keras Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi GRK dalam skema REDD+ melestarikan lingkungan. Misalnya program penurunan emisi GRK yang dilaksanakan Pemprov Kalimantan Timur di bawah bimbingan Kementerian LHK.
Kegiatan ini bekerja sama dengan Global Green Growth Institute (GGGI) dalam mendesain program dan tata kelolanya.
Kerjasama ini juga dilanjutkan dalam rencana pembangunan provinsi, sekaligus mendesain instrumen MRV (monitoring, reporting, verification) di tingkat nasional dan subnasional, kerangka pengaman, dan rencana pembagian manfaat.
“Program ini diharapkan menghasilkan US$110 juta dalam skema pembayaran berbasis kinerja dari Forest Carbon Partnership Facility-Carbon Fund (FCPF-CF), sebuah fasilitas dari World Bank untuk insentif pengurangan emisi GRK,” kata dia.
Skema RBP juga dijalankan di bawah program BioCarbon Fund. Provinsi Jambi terpilih sebagai salah satu dari lima kawasan di dunia yang jadi lokasi pelaksanaan program ini. “Nilai RBP dari program BioCarbon Fund itu adalah US$60 juta,” imbuh Siti
Menurut dia, semua aktivitas pengurangan emisi GRK ini sangat layak disoroti dan digaungkan seluas-luasnya agar masyarakat mengetahui dan bisa membantu mengawal pelaksanaannya. Sehingga, makin banyak capaian dan berita baik yang bisa disajikan Indonesia di ajang dunia.
Namun, lanjut Siti, usaha Pemerintah Indonesia tidak hanya berhenti di sini. Momentum persetujuan pendanaan REDD+ RBP dari GCF terus digunakan untuk meningkatkan keterlibatan dan dukungan semua pihak.
“Indonesia masih membutuhkan lebih banyak pendanaan iklim untuk mencapai target NDC. Komitmen negara-negara maju untuk pendanaan iklim sebesar US$100 miliar per tahun sampai 2020 untuk mendukung negara -negara berkembang perlu segera direalisasikan,” tandas dia.

0 comments