CISDI Desak Pemerintah Akhiri Perlakuan Istimewa Rokok Kretek Tangan dalam Reformasi Cukai

IVOOX.id – Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) merilis Lembar Kebijakan Jalan Menuju Reformasi Cukai yang menyoroti perlakuan khusus pemerintah terhadap produk sigaret kretek tangan (SKT). CISDI mendesak agar pemerintah segera mengakhiri kebijakan tarif cukai murah untuk rokok lintingan manual ini, mengingat dampak negatifnya terhadap kesehatan dan ekonomi.
Dalam aturan cukai hasil tembakau (CHT) yang berlaku, terdapat tiga jenis rokok, yakni sigaret putih mesin (SPM), sigaret kretek mesin (SKM), dan sigaret kretek tangan (SKT). Dari ketiganya, hanya SKT yang mendapat aturan kenaikan cukai berbeda, yaitu tidak lebih dari lima persen. Padahal, SKT dikenal sebagai produk rokok dengan risiko kesehatan yang tinggi.
Research Associate CISDI, Gea Melinda, menegaskan bahwa SKT justru lebih berbahaya dibanding jenis rokok lain. “Kadar nikotin dan tar dalam SKT jauh lebih tinggi dibanding SPM dan SKM. Dampaknya, risiko perokoknya terkena berbagai penyakit, seperti kanker paru-paru, juga semakin besar. Membiarkan SKT tetap murah sama artinya membiarkan masyarakat, khususnya kelompok miskin dan anak muda, lebih mudah terjerat adiksi rokok dan terpapar risiko kesehatan yang tinggi,” kata Gea dalam keterangan resmi yang diterima ivoox.id Jumat (19/9/2025).
Menurut CISDI, penggunaan saus tambahan dalam SKT menutupi sensasi kasar asap rokok sehingga memudahkan perokok pemula untuk mencoba. Hal ini yang menjadikan SKT berbahaya, meski di pasar global produk ini populer. Banyak negara bahkan melarang penjualan SKT demi melindungi kesehatan publik.
Selain aspek kesehatan, CISDI juga menyoroti efek ekonomi dari kebijakan cukai rendah SKT. Harga yang terjangkau membuat konsumen beralih (downtrading) ke produk lebih murah, sehingga melemahkan efektivitas cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi sekaligus mengurangi penerimaan negara.
Chief Research and Policy CISDI, Olivia Herlinda, menilai alasan pemerintah mempertahankan tarif rendah untuk melindungi pekerja tidak tepat. “Perlakuan istimewa terhadap SKT untuk melindungi pekerja hanyalah ilusi. Menurut data yang kami peroleh, sebagian besar rumah tangga pekerja SKT dan petani cengkeh hidup di bawah garis kemiskinan, dengan risiko kesehatan dan risiko kerja yang sangat tinggi,” ujarnya.
Olivia merujuk laporan Bank Dunia 2017 yang menunjukkan kondisi buruh linting SKT sangat rentan. Hanya sedikit yang berstatus pekerja penuh waktu dengan kontrak tertulis. Bahkan, rumah tangga yang sepenuhnya bergantung pada pekerjaan SKT cenderung berpenghasilan lebih rendah dibanding yang memiliki sumber pendapatan lain. “Jika pemerintah terus mempertahankan rokok golongan SKT tetap murah, artinya negara memilih melanggengkan adiksi produk berbahaya dan memperdalam kemiskinan,” katanya.
CISDI juga menekankan bahwa transisi pekerja dari sektor SKT sangat mungkin dilakukan. Berdasarkan studi Bank Dunia, negara hanya membutuhkan 0,1 persen atau sekitar Rp14,3 miliar dari tambahan pemasukan cukai untuk menutupi pendapatan pekerja SKT yang hilang selama masa transisi. Potensi pemasukan tambahan dari reformasi cukai bahkan diperkirakan mencapai Rp10,9 triliun per tahun.
“Reformasi cukai rokok 2026 perlu menjadi momentum penting untuk menyehatkan bangsa sekaligus memperkuat ekonomi yang berkeadilan,” ujar Olivia.
Sebagai rekomendasi, CISDI mendorong pemerintah menyederhanakan struktur tarif CHT, menaikkan tarif cukai dan harga jual eceran secara signifikan, serta menyiapkan strategi transisi pekerja melalui pelatihan, modal usaha, hingga diversifikasi komoditas. Dukungan pendanaan, menurut CISDI, bisa bersumber dari APBN, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), maupun pajak rokok daerah.

0 comments