CELIOS: Revisi Segera Metodologi Pengukuran Angka Kemiskinan agar Data Lebih Adil dan Representatif

IVOOX.id – Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menyebut bahwa metode garis kemiskinan BPS yang digunakan selama hampir lima dekade sebagai patokan mengukur angka kemiskinan sudah tak lagi relevan.
“Angka kemiskinan selama menggunakan metode garis kemiskinan yang lama tidak akan menjawab realita di lapangan. Jadi BPS kalau masih keluarkan angka kemiskinan tanpa revisi garis kemiskinan, sama saja datanya kurang valid,” ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima ivoox.id Sabtu (26/7/2025).
Menurut Bhima, perbedaan mencolok antara data BPS dan data lembaga internasional seperti Bank Dunia menjadi bukti adanya persoalan dalam pendekatan yang digunakan. Bank Dunia mencatat bahwa sekitar 68,2% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional, setara 194,4 juta jiwa, delapan kali lipat lebih besar dari versi BPS.
Lebih lanjut, Bhima menjelaskan bahwa data BPS tidak bisa digunakan sebagai acuan utama dalam program bantuan sosial karena tidak akurat. “Seharusnya data BPS bisa dipakai untuk program pengentasan kemiskinan, tapi pemerintah harus mencari data sendiri by name by address untuk memetakan orang miskin menurut kriteria yang beda dengan BPS,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar, mengingatkan dampak serius dari metodologi yang usang terhadap kebijakan anggaran. “Dengan jumlah penduduk miskin yang kecil versi data pemerintah, maka alokasi anggaran perlindungan sosial dalam RAPBN 2026 juga berpotensi ditekan atau tidak akan mengalami peningkatan signifikan,” ujarnya.
Ia menyoroti bahwa Indonesia hanya mengalokasikan sekitar 1% Produk Domestik Bruto (PDB) untuk perlindungan sosial (di luar subsidi BBM), jauh di bawah Vietnam, Malaysia, dan Thailand yang sudah mencapai 5% PDB.
Media juga mengkritik sistem pendataan yang hanya menyasar penerima bansos yang masuk ke dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Menurutnya, “Jika garis kemiskinan terlalu rendah, maka otomatis banyak masyarakat rentan yang tidak terjaring ke dalam kategori masyarakat miskin sesuai data DTKS dan akhirnya tidak menerima bantuan sosial apa pun.” Katanya.
CELIOS mendorong pemerintah melakukan reformasi mendesak terhadap metode pengukuran kemiskinan nasional. Negara-negara seperti Malaysia dan Uni Eropa disebut telah rutin memperbarui metodologi mereka sesuai perkembangan sosial dan ekonomi, dan Indonesia mesti mengikuti langkah serupa.
Namun CELIOS menegaskan bahwa perubahan ini menuntut keberanian politik. “Selama angka kemiskinan hanya digunakan untuk kepentingan pencitraan atau legitimasi politik, maka reformasi metodologi hanya akan menjadi retorika,” katanya.
Sebagai solusi, CELIOS mengusulkan agar ukuran kesejahteraan masyarakat tidak lagi berbasis pengeluaran total, melainkan pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income) yakni pendapatan bersih setelah dikurangi kewajiban dasar seperti pajak dan kebutuhan pokok.
Metode ini, menurut CELIOS, lebih mencerminkan kondisi riil rumah tangga setelah intervensi kebijakan negara. Dengan begitu, efektivitas kebijakan redistribusi melalui pungutan dan transfer sosial dapat diukur secara lebih akurat.
Di samping itu, indikator kesejahteraan lainnya seperti akses pendidikan, layanan kesehatan, ketersediaan rumah layak huni, upah minimum yang sesuai, hingga jaminan hari tua, tingkat pengangguran, PHK, kejahatan, dan korupsi juga harus dimasukkan dalam satu paket evaluasi pembangunan yang terpadu.
“Pemerintah saat ini cenderung memilih data yang positif, dengan metodologi yang lemah, dan pada saat yang sama mengabaikan indikator penting lainnya,” ujarnya.

0 comments