Mengenang Mei Melalui Seni
Usman Hamid dan Aiman Witjaksono berfoto usai penampilanya di band Usman and The Blackstones dalam orasi keluarga korban pejuang Reformasi, Maria Catarina Sumarsih dalam ShowKeos “26 tahun Reformasi: Ekspresi melawan Represi pada Minggu (26/5/2024). IVOOX/Fahrurrazi Assyar
IVOOX.id - Setiap bulan Mei di Indonesia selalu dikenang sebagai bulan perjuangan melawan tirani. Banyak cara ditempuh untuk menyuarakan perlawanan, salah satunya melalui karya seni.
Usman Hamid, seorang advokat, aktivis '98, dan kini direktur Amnesty International Indonesia, memilih untuk bersuara lewat musik yang liriknya menghujam langsung pada tirani.
Lagu-lagu yang dibawakan oleh Usman bersama band-nya, Usman and The Blackstones, menggugah kesadaran masyarakat mengenai isu-isu KKN, brutalitas aparat, oligarki, hingga pembangunan yang anti-Reformasi.
Usman menekankan pentingnya kontrol lebih besar dari masyarakat sipil terhadap jalannya pemerintahan, termasuk kehadiran partai politik di luar pemerintahan.
"Kontrol dari civil society sangat penting agar pemerintah tidak semena-mena dan selalu diawasi," ujar Usman kepada Ivoox.id, di lokasi.
Kegiatan itu juga sebagai Untuk peringatan 26 tahun perjalanan Reformasi di Indonesia, Usman bersama band-nya tampil dalam acara "ShowKeos: 26 Tahun Reformasi - Ekspresi Melawan Represi," yang diselenggarakan pada Minggu (26/5/2024).
Acara itu tidak hanya diisi oleh penampilan musik, tetapi juga oleh orasi dari keluarga korban pejuang Reformasi, salah satunya Maria Catarina Sumarsih, ibu dari almarhum Wawan, mahasiswa Trisakti yang tewas dalam tragedi Trisakti.
Acara ini dihadiri oleh berbagai tokoh penting seperti advokat dan mantan aktivis '98 yang juga ketua Amnesty Indonesia, Anwar Usman, jurnalis senior Aiman Wicaksono, dan Cholil Mahmud, vokalis band Efek Rumah Kaca.
Dalam orasinya, Maria Catarina Sumarsih mengungkapkan perjuangannya yang tak pernah surut dalam menuntut keadilan bagi anaknya dan korban pelanggaran HAM berat lainnya.
"Yang saya perjuangkan tidak hanya menuntut pertanggungjawaban bagi Wawan dan kawan-kawan, tetapi juga memperjuangkan untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya," ujar Sumarsih penuh semangat.
Sumarsih merasa semakin bersemangat berjuang berkat dukungan dari anak-anak muda yang turut hadir dalam Aksi Kamisan, sebuah aksi rutin yang digelar setiap Kamis oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK).
"Ya, kehadiran anak-anak muda ini yang membuat Aksi Kamisan dapat menginspirasi generasi muda menjadi kritis di berbagai daerah. Ini sangat menyemangati saya. Kalau saya sudah meninggal, perjuangan ini akan banyak yang meneruskan," katanya.
Tentang Kamisan dan 17 Tahun Penantian
Aksi Kamisan, yang dicetuskan oleh Sumarsih bersama Suciwati, istri almarhum pejuang HAM Munir, terinspirasi dari ibu-ibu Plaza de Mayo di Argentina yang memprotes penghilangan dan pembunuhan anak-anak mereka oleh Junta Militer Argentina.
Seperti halnya ibu-ibu Plaza de Mayo, Sumarsih dan JSKK menggelar aksi di depan Istana Merdeka, Jakarta, setiap Kamis dari pukul 16.00 hingga 17.00.
Sejak aksi pertama pada 18 Januari 2007, Sumarsih tidak pernah absen. Setiap Kamis, dia selalu hadir dengan payung hitam sebagai simbol keteguhan dan pakaian serba hitam sebagai lambang cinta pada kemanusiaan.
Dalam periode waktu tersebut, Sumarsih tidak pernah merasa bosan karena rasa cinta kepada putranya, Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, terus mengalir dalam dirinya.
Bulan Mei ini, suara-suara perlawanan seperti yang disuarakan oleh Usman Hamid dan Maria Catarina Sumarsih menjadi pengingat akan pentingnya Reformasi dan perjuangan melawan tirani.
Seni dan aksi menjadi medium yang kuat untuk menyuarakan ketidakadilan dan memperjuangkan hak asasi manusia di Indonesia.

0 comments