Buku Tentang Jokowi Segera Terbit di Australia, Begini Isinya...

IVOOX.id, Canberra - Analis politik dari Lowy Institute Australia, Ben Bland, dikabarkan bakal meluncurkan buku tentang Joko Widodo (Jokowi), Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia, pada 1 September mendatang. Isinya, sebagian mengkritik gaya kepemimpinan Presiden RI tersebut, antara lain soal pembangunan infrastruktur yang tidak didasarkan pada kajian analisis yang layak.
Seperti dimuat dalam laman brisbanetimes.com.au, Kamis (13/8), artikel yang ditulis editor James Massola tersebut memaparkan bahwa buku Bland menyebut bahwa sebagai Presiden negara raksasa di utara, Jokowi adalah sekutu strategis terpenting bagi Australia.
"Presiden Indonesia Joko Widodo ingin menarik investasi dari siapa pun yang memiliki uang tunai paling banyak dengan prasyarat paling sedikit, untuk mencapai tujuan ekonomi domestiknya," papar Bland.
Dan, untuk saat ini, lanjut dia, China sedang membangun jalan raya, jembatan, pembangkit listrik, dan pelabuhan di seluruh Indonesia, salah satunya proyek besar jalur rel Jakarta-Bandung.
Bland, mantan koresponden asing di Jakarta, Hong Kong, dan Hanoi untuk Financial Times, dalam bukunya mengkritisi prioritas Jokowi di saat terjadinya eskalasi ketegangan antara AS, China, dan negara-negara Asia Tenggara terkait Laut China Selatan.
Menurut Bland, para pemimpin Barat "putus asa untuk mendapatkan mitra baru di Asia demi membantunya melawan ambisi Xi Jinping. Termasuk Jokowi yang ia sebut tidak punya waktu untuk berurusan dengan kekuatan politik besar.
Bland tak lupa memaparkan perjalanan politik Jokowi, dari usaha furniturnya hingga memasuki dunia politik.
Dalam artikel disebutkan, Bland telah mewawancarai Presiden belasan kali, mulai dari masa Joko sebagai Walikota Solo, masa jabatannya sebagai Gubernur Jakarta, dan sebagai presiden dari akhir tahun 2014.
Artikel mengklaim keakraban Bland dengan pokok bahasannya (Jokowi) dan kontaknya yang mendalam dalam sumber politik dan ekonomi Indonesia.
"Buku ini harus menjadi bacaan wajib bagi politisi Australia yang - meskipun mereka salah membaca pendahulu Joko, Susilo Bambang Yudhoyono, yang populer di panggung internasional tetapi tidak dihormati di dalam negeri - sering memuji keutamaan Presiden Jokowi sebagai sosok reformis yang berhaluan perdagangan bebas, demokrat, dan pejuang toleransi beragama, namun gagal untuk melihat kekurangannya," urai artikel itu.
Menurut artikel itu, antusiasme Joko terhadap perjanjian perdagangan bilateral, seperti yang ditandatangani dengan Australia pada awal 2020, adalah contohnya.
"Kesepakatan itu hampir tidak merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk merangkul perdagangan bebas. Ketika berbicara dengan khalayak domestik, dia biasanya menunjukkan sikap nasionalisnya, mengulangi seruan (mantan presiden) Sukarno agar Indonesia 'berdiri di atas kakinya sendiri'."
Menurut artikel itu, di bukunya, Bland memperingatkan ekspektasi Canberra terhadap Jokowi terlalu tinggi dengan berharap Jokowi akan membuka ekonomi Indonesia untuk investasi Australia dan berdiri di kawasan sebagai kekuatan penyeimbang melawan China".
Man of Contradictions, lanjut artikel itu, menyeimbangkan pandangan simpatik tentang pencapaian signifikan Joko dalam membangun infrastruktur jalan dan kereta api yang sangat dibutuhkan yang telah lama tertunda, dalam beberapa kasus, selama beberapa dekade, dengan kritik atas gaya pemerintahannya yang terkadang kacau.
Bland mengkritik penanganan Joko terhadap pandemi virus korona di mana pemerintah "menunjukkan banyak sifat terburuknya: mengabaikan nasihat ahli, kurangnya kepercayaan pada masyarakat sipil, dan kegagalan untuk mengembangkan strategi yang koheren".
Hasilnya, kata Bland, adalah dua juta pengangguran, kemunduran potensial selama satu dekade dalam mengekang kemiskinan dan eksposur sistem kesehatan yang lemah - belum lagi 128.776 kasus dan 5.824 kematian di negara itu, salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara.
Belum lagi, sebut Bland, rencana Jokowi untuk ibu kota baru di pulau Kalimantan yang disebut artikel itu sebagai "bukti sifatnya yang aneh dan gaya pemerintahannya yang tidak teratur", serta pendekatan "cueknya" terhadap kebijakan luar negeri.
Presiden Jokowi memiliki "sedikit perhatian terhadap pertunjukan diplomatik tradisional", tulis Bland. "Dalam lima tahun pertamanya, Jokowi tidak menghadiri satu pun Sidang Umum PBB".
Presiden memiliki "sedikit perhatian terhadap pertunjukan diplomatik tradisional", tulis Bland. "Dalam lima tahun pertamanya, Jokowi tidak menghadiri satu pun Sidang Umum PBB".
Pendekatannya yang berkembang terhadap politik - dari orang biasa dan outsider menjadi orang dalam yang semakin otoriter yang semakin dekat dan bergantung pada elit politik Jakarta - juga dikritik.
"Jokowi tidak suka analisis, dia suka tindakan dan keputusan," kata seorang penasihat presiden kepada penulis. Tidak ada analisis yang layak tentang proyek infrastruktur mana yang akan paling meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas. Sebaliknya dia hanya mendorong proyek di mana dia sedang berkunjung," tulis artikel itu.
Artikel menyebut, buku Bland harus menjadi bacaan wajib bagi politisi Australia yang ingin memahami pemimpin tetangga utara raksasa Australia itu.

0 comments