October 7, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Belajar dari Judol untuk Memetakan dan Membentuk Karakter Bangsa [Tulisan 1]

HARI ini ada beberapa informasi yang membuat saya berpikir keras. Informasi pertama datang dari kandidat doktor Arief Sartono, adik saya yang bekerja di BRIN. Beliau posting sebuah tabel terkait peringkat aktivitas judi online global, dimana pemain dari Indonesia menempati ranking 1.

Sejumlah 201.122 orang ditengarai terlibat aktif sebagai pemain. Nilai transaksinya pun amat fantastis, mencapai jumlah triliunan rupiah. Pantas saja jika Bapak Presiden kemudian membentuk Satgas khusus anti judi online, karena statusnya dianggap sudah memasuki fase kedaruratan.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mencatat ada sekitar Rp 327 triliun kerugian negara akibat judi online. Sementara Otoritas Jasa Keuangan/OJK telah memblokir lima ribu rekening yang ditengarai digunakan sebagai bagian dari kegiatan judi online dalam rentang akhir tahun lalu hingga Maret 2024.

Langkah-langkah strategis lainnya dengan keberadaan satgas ini adalah kewenangan untuk take down materi atau konten yang terindikasi merupakan bagian dari permainan judi online.

Tentu tindakan-tindakan tersebut perlu kita apresiasi dan dukung sepenuhnya. Tetapi ada satu pertanyaan yang sangat menggelitik, mengapa judol menjadi begitu menarik untuk sebagian saudara-saudara kita itu?

Pertanyaan ini juga rupanya mewakili kekesalan seorang sahabat saya terhadap seorang penjaja makanan kaki lima yang semula hendak dibantunya dengan memborong dagangannya sebagai penglaris karena melihat lapaknya agak sepi.

Ternyata setelah transaksi terjadi dan yang pembayaran diserahkan, pedagang tadi kembali asyik masyuk dengan piranti selulernya. Bahkan nyaris tak peduli dengan konsumen yang datang ingin membeli. Sahabat saya ini jadi agak mengerti, mengapa dagangan pelapak itu tidak terlalu laku, pelanggan diabaikan dan tidak dilayani dengan serius.

Selidik punya selidik, si Abang ternyata sibuk bermain judol yang digamifikasi di gawainya. Perilakunya secara psikologi sudah dapat dikategorisasikan sebagai adiksi, karena sudah menimbulkan hendaya dalam relasi sosial.

Dalam skup pengamatan yang lebih luas kasus di atas dapat didekati dengan konsep penalaran induktif, dimana penalaran induktif adalah kemampuan menarik kesimpulan umum berdasarkan dari berbagai skenario yang spesifik.

Atau dengan kata lain penalaran induktif adalah pendekatan untuk berpikir logis dengan membuat pernyataan umum dari hal-hal spesifik yang terjadi sebelumnya. Fenomena judol yang spesifik dapat menjadi representasi fenomena umum yang menggejala di masyarakat.

Judi sendiri sudah lama menjadi penelitian di ranah neurosains. Mengingat judi menawarkan keuntungan instan yang kemudian mempengaruhi reward system di otak kita.

Mekanisme pembentukan preferensi di otak kita, pada hakikatnya bergantung pada pengalaman terhadap kondisi kenikmatan yang antara lain dikelola oleh neurotransmiter seperti dopamin dan sel-sel neuron dopaminergiknya yang antara lain terdapat di ventral tegmental area dan nukleus akumben.

Terdapat beberapa struktur anatomi otak lain yang terlibat dalam proses adiksi dan kesenangan berjudi. Struktur tersebut antara lain adalah Striatum, terutama bagian ventralnya. Dimana dari hasil riset terdahulu telah terbukti terlibat dalam proses pengambilan keputusan, motivasi, dan penghargaan. Aktivitas yang berlebihan dalam striatum telah diamati pada individu yang mengalami kecanduan judi.

Lalu ada Amigdala, bagian dari sistem limbik yang berperan dalam pengolahan emosi, juga terlibat dalam respons terhadap insentif dan stimulus yang terkait dengan judi.

Selanjutnya ada korteks Parietal yang memainkan peran penting dalam pengolahan informasi sensorik dan perencanaan tindakan. Perubahan dalam aktivitas korteks parietal telah tercatat pada individu yang berjudi secara berlebihan.

Sebagaimana telah sedikit kita bahas di atas, tentu ada neurotransmiter yang terlibat dalam proses adiksi judi, salah satunya adalah Dopamin. Dimana Dopamin adalah neurotransmiter yang terlibat dalam proses penghargaan (reward), motivasi, dan pembelajaran.

Peningkatan pelepasan dopamin terjadi selama aktivitas perjudian, meningkatkan sensasi kesenangan dan penghargaan.

Lalu ada Serotonin, dimana Serotonin adalah neurotransmiter yang terkait dengan regulasi suasana hati dan kontrol impuls. Penelitian telah menunjukkan hubungan antara rendahnya kadar serotonin dan kecenderungan untuk berjudi secara berlebihan.

Last but not least, ada Glutamat, dimana Glutamat memainkan peran penting dalam proses belajar dan memori. Aktivitas glutamat meningkat selama pengalaman judi yang memuaskan (menang dan mendapat uang), hingga memperkuat hubungan antara perjudian dan pembelajaran.

Aktivitas judi yang berlebihan dapat menyebabkan perubahan struktural dan fungsional dalam otak, yang memperkuat kecenderungan kecanduan. Gangguan dalam sistem dopaminergik dan serotoninergik dapat menyebabkan kerentanan terhadap perilaku impulsif dan kecanduan.

Intinya ketika seseorang berada dalam berbagai kondisi tekanan generik yang bersifat universal, ada kecenderungan untuk mencari jalur katarsis pada hal-hal yang bersifat generik dan instan mendatangkan kesenangan. Termasuk trampolin dan roller coaster adrenalin seperti berjudi dan memasang taruhan. Terlebih ketika pemain menang dan mengalami banjir dopamin secara berlebihan, keinginan untuk terus menaikkan dosis sensasi reward yang berkelindan dengan kenikmatan akan terus dilipatgandakan. Persis seperti kasus-kasus kecanduan narkoba.

Pada kasus kecanduan opioid mekanisme molekulernya telah banyak dipelajari. Keberadaan reseptor menjadi titik penting nan krusial dalam konteks adiksi.

Reseptor opioid adalah sekelompok reseptor berpasangan protein G dan aktivasi reseptor ini oleh ligan menginduksi perubahan molekuler yang signifikan di dalam sel, seperti penghambatan aktivitas adenilat siklase, aktivasi saluran kalium, dan pengurangan konduktansi kalsium.

Data terbaru menunjukkan bahwa jalur sinyal lain juga mungkin terlibat dalam aktivitas morfin. Di antaranya adalah fosfolipase C, mitogen-activated kinases (MAP kinases) atau β-arrestin.

Jalur-jalur aktivasi ini memiliki pola rekuren dan dapat menguatkan ingatan, hingga tidak berikutnya reseptor dengan molekul opioid akan menimbulkan gejala putus obat.

Penulis: Tauhid Nur Azhar

Ahli neurosains dan aplikasi teknologi kecerdasan artifisial, SCCIC ITB/TFRIC-19.

0 comments

    Leave a Reply