Bangun Kepedulian Konsumen untuk Memilah Plastik

IVOOX.id, Jakarta - Keberadaan plastik amat lekat dengan kehidupan masyarakat dan sering kali menjadi sumber masalah. Padahal, yang seharusnya dilakukan adalah mengatur tata kelola daur ulang plastik, serta membangun kesadaran produsen dan konsumen.
Bedasarkan data Inaplas atau Asosiasi Industri Plastik Indonesia, pada 2017 konsumsi plastik di Indonesia 5,7 ton atau setara dengan 19,8 kilogram/kapita. Namun, beruntung konsumsi per kapita Indonesia masih di bawah rata-rata konsumsi Per kapita negara lain.
Contohnya, Korea Selatan yang mengonsumsi sebanyak 141 kg/kapita per tahun, Jerman sebanyak 95,8 kg/kapita per tahun, Jepang sebanyak 69,2 kg/kapita per tahun dan Vietnam sebanyak 42,1 kg/kapita per tahun.
Seperti diketahui, sedikitnya ada tujuh jenis plastik yang digunakan sebagai kemasan. Di antaranya, polyethylene terephthalate atau PET biasanya digunakan sebagai bahan botol plastik untuk air minum kemasan dan tidak berwarna atau transparan. Penggunaannya hanya untuk sekali pakai dan tidak dianjurkan diisi air hangat apalagi air panas.
Selain itu, high density polyethylene (HDPE) yang juga banyak digunakan untuk minuman dan biasanya berwarna putih susu. Plastik HDPE juga dianjurkan untuk sekali pakai.
Plastik jenis low density polyethylene atau LDPE aman untuk kemasan makanan dan minuman (food grade). Meskipun tidak mengandung zat BPA, plastik LDPE dapat memicu zat estrogenik berbahaya.
Selain itu ada jenis plastik polypropylene atau PP adalah yang baik untuk makanan dan juga minuman dengan bentuk transparan. Plastik ini tahan panas hingga 140 derajat, dan tidak menghasilkan zat kimia berbahaya seperti jenis lain.
Pengamat polimer Mochamad Chalid mengatakan plastik sebetulnya adalah polimer yang sudah dicampur oleh zat aditif lainnya. Dalam pengaplikasiannya, zat aditif yang ditambahkan zat berbeda-beda sesuai dengan fungsinya. “Bentuknya yang sudah jadi kita kenal dengan biji plastik. Polimer yang sudah dicampur dengan zat aditif tersebut sudah menjadi plastik,” kata Chalid dalam acara The Nation yang tayang di Metro TV, beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan, semua plastik sebetulnya bisa terurai. Hanya saja waktu terurainya yang menjadi pembeda. “Kalau orang berbicara tentang mudah terurai, kemungkinan bisa terurai dalam waktu singkat ada beberapa jenis. Bahkan kantong kresek sekarang sudah ada yang bio-degradable (mudah terurai),” kata dia.
Dalam tingkat daur ulang plastik, Chalid mengatakan, ada empat tingkatan. Yakni, premier, sekunder, tersier dan kuartersier.
Untuk daur ulang premier, biasanya adalah daur ulang yang kembali ke bentuk aslinya.
Sedangkan di masyarakat banyak dikenal daur ulang plastik skunder. Namun, diakuinya ada plastik yang sulit di daur ulang, karena perpaduan bahan daur ulangnya menimbulkan biaya tinggi. “Bahan bakunya beda-beda jadi prosesnya beda. Ini memang lebih baik ada standarnya jadi semua bisa diproses daur ulang,” kata dia.
Saat ini, kata Chalid, sebaiknya membangun kepedulian konsumen atas penggunaan dan pemilahan plastik. Sedangkan produsen lebih baik diatur standarisasi dalam produksi plastik.
Karyawan salah satu industri plastik daur ulang, Wily Suwanggono mengatakan, pihaknya mampu mengolah daur ulang plastik PET sebanyak 3.000 ton. Selain PET ada juga jenis plastik lain yang diolah seperti HDPE dan PE atau PVC. “Mayoritas olah PET, tapi karena botol itu datang dengan tutup, biasanya tutupnya PE dan lainnya PVC. Jadi sebagian kecil itu juga diolah,” kata dia.
Ia mengaku, biasanya plastik daur ulang yang dihasilkan adalah food packaging, botol, gagang kosmetik hingga dakron sintetis.
Wily mengatakan 90% hasil daur ulang tempatnya bekerja diekspor dan 10% lainnya dikonsumsi di dalam negeri. Biasanya negara tujuan ekspor perusahaannya adalah Australia, Korea, Jepang hingga Amerika.
Willy memperkirakan nilai ekonomi dari daur ulang PET selama satu tahun bisa mencapai Rp1,2 triliun. “Ini kalau dikalkulasikan antara volume botol plastik yang didaur ulang x harga beli botol Rp6.000 kira-kita bisa mencapai Rp1,2 triliun,” tandas Wily. (Gan/S1-25)

0 comments