Aturan MVS Untuk Pastikan Kelangsungan Perusahaan Digital Yang Go Public

IVOOX.id, Jakarta - Kepala Center of Innovation and Digital Economy Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait Multiple Voting Shares (MVS) atau Saham dengan Hak Suara Multipel (SHM) diperlukan untuk memastikan keberlangsungan perusahaan digital yang akan melakukan penawaran umum perdana atau IPO di bursa.
"Tantangan bagi perusahaan startup ketika IPO adalah adanya intervensi pemegang saham (ditakutkan dari investor asing) yang dikhawatirkan akan mengubah visi misi dari founder. Makanya OJK mengeluarkan MVS. Saya rasa founder juga masih berharap untuk tetap bisa mengendalikan perusahaan ketika perusahaan sudah IPO, sehingga memang memastikan keberlangsungan dari perusahaan digital," ujar Nailul saat dihubungi di Jakarta, Senin.
OJK baru saja menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 22/POJK.04/2021 tentang Penerapan Klasifikasi Saham Dengan Hak Suara Multipel oleh Emiten dengan Inovasi dan Tingkat Pertumbuhan Tinggi yang Melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas Berupa Saham.
Beleid tersebut mengatur mengenai penerapan saham dengan hak suara multipel yaitu satu saham memberikan lebih dari satu hak suara kepada pemegang saham yang memenuhi persyaratan tertentu.
"Kalau melihat praktik di luar negeri sih, saya rasa cukup lazim juga praktik ini. Terlebih perusahaan startup digital memang masih memerlukan kepemimpinan dari founder mengingat perusahaannya berumur cukup muda," kata Nailul, dikutip Antara.
Namun demikian, lanjut Nailul, memang hal tersebut juga menunjukkan perusahaan digital sangat bergantung sekali kepada pendirinya. Jika dilihat dari sudut pandang lain, perusahaan digital yang menerapkan MVS seperti sangat rentan apabila ditinggal oleh pendirinya.
"Apabila sudah go public, investor tidak akan memperoleh hak yang istimewa seperti kepemilikan saham konvensional. Malah jadi nilai minus bagi investor. Tapi bagi perusahaan digital sendiri, bisa menjadi pijakan yang bagus ketika mau IPO namun founder masih bisa mengendalikan perusahaan digital tersebut," ujar Nailul.
Terkait pasar modal, Nailul menilai investor ritel di era digital ini sangat meningkat pesat. Dengan kebanyakan adalah investor gen milenial dan gen Z, pasar modal Indonesia menjadi menarik bagi mereka, terlebih sekarang juga sudah banyak aplikasi teknologi yang mendukung kemudahan investasi pasar saham.
Menurut Nailul, kondisi itulah yang ingin dimanfaatkan oleh perusahaan startup unicorn untuk melantai di bursa saham. "Hype Teknologi" menjadi sasaran perusahaan teknologi tersebut, termasuk Bukalapak.
"Perusahaan teknologi ini berharap guyuran modal di pasar saham bisa membuat mereka bersaing di masing-masing sektor ekonomi digital, walaupun ada yang gagal bersaing meskipun sudah IPO, yaitu Bukalapak. Namun setidaknya Bukalapak mampu memperbaiki kinerja keuangannnya menjadi tidak lebih rugi," kata Nailul.

0 comments