Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia Dorong Penerapan Port to Port Manifest untuk Tekan Impor Ilegal | IVoox Indonesia

November 19, 2025

Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia Dorong Penerapan Port to Port Manifest untuk Tekan Impor Ilegal

antarafoto-pemusnahan-pakaian-bekas-impor-di-bogor-1763108391-1
Petugas keamanan berjaga didepan truk berisi balpres pakaian bekas impor sebelum dimusnahkan di PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI), Klapanunggal, Bogor, Jawa Barat, Jumat (14/11/2025). Kementerian Perdagangan memusnahkan sebanyak 500 balpres dari total 19.391 balpres pakaian bekas impor atau thrifting dengan nilai sekitar Rp112,35 miliar yang merupakan hasil sitaan oleh Kemendag, Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia (BAIS TNI), Badan Intelijen Negara (BIN) dan Polri. ANTARA FOTO/Arif Firmansyah

IVOOX.id – Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengusulkan perubahan mendasar dalam sistem administrasi impor. Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta menilai akar persoalan maraknya impor ilegal selama ini terletak pada penggunaan dokumen in land manifest atau Pemberitahuan Impor Barang (PIB) sebagai dokumen utama. Menurutnya, sistem deklarasi mandiri yang dilakukan importir melalui PIB membuka ruang besar bagi manipulasi data.

“Selama ini Bea Cukai menggunakan PIB yang dibuat sendiri oleh importir. Jadi kemungkinan terjadi pemalsuan data (mis-declare) sangat besar dan sering terjadi,” ujar Redma. Ia menambahkan bahwa ketidaksesuaian data ekspor-impor sudah terlihat jelas dalam laporan sejumlah negara pada 2024. “Nilai impor yang tidak tercatat sebesar USD 24,10 miliar, khusus untuk tekstil dan produk tekstil (HS 50–63) sebesar USD 2 miliar,” katanya dalam keterangan resmi yang diterima Ivoox.id Senin (17/11/2025).

APSyFI mengusulkan agar Indonesia mengikuti praktik negara lain yang menggunakan dokumen ekspor asli sebagai dokumen impor. Redma menjelaskan bahwa dalam sistem port to port manifest, dokumen ekspor dikirim secara elektronik dari pelabuhan asal langsung ke pelabuhan tujuan saat kapal berlayar. “Dokumen ekspor ini otomatis menjadi dokumen impor. Jadi tidak ada celah bagi importir untuk mengubah isi dokumen,” ujarnya.

Selain perubahan dokumen impor, APSyFI juga menyoroti minimnya fasilitas pemindaian kontainer. Redma menyebut bahwa negara lain mewajibkan seluruh kontainer masuk melalui proses pemindaian. “Jika hasil scan tidak cocok dengan dokumen maka kontainer masuk jalur merah untuk dibuka dan diperiksa manual,” katanya. Ia menyayangkan praktik di Indonesia yang membiarkan kontainer jalur hijau melintas tanpa pemeriksaan. “Penentuan jalur ditetapkan Bea Cukai melalui profiling, hingga jadi mainan oknum petugas,” katanya.

Dari sisi industri konveksi, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) Nandi Herdiaman menyoroti praktik impor borongan yang kerap lolos pemeriksaan. Menurutnya, pola masuknya selalu sama. “Para pemain impor borongan selalu masuk jalur hijau. Di sini kami tidak mengerti profiling apa yang dilakukan Bea Cukai sehingga importir borongan selalu masuk jalur hijau,” ujarnya. Ia memaparkan bahwa biaya yang dibayarkan hanya sekitar Rp150 juta per kontainer, jauh dari kewajiban sebenarnya. “Kontainer 40 feet berisi pakaian jadi nilainya sekitar Rp2,4 miliar, sehingga bea masuk dan pajak yang harus dibayar sekitar Rp1 miliar,” ujarnya.

IPKB mendukung penuh langkah Menteri Purbaya yang tengah membenahi pelanggaran kepabeanan. “Bertahun-tahun praktik ini membuat kami sengsara. Gebrakan Pak Purbaya memberikan harapan baru bagi kami untuk kembali bangkit,” kata Nandi.

0 comments

    Leave a Reply