9 Poin Revisi UU KPK Yang Berpotensi Melemahkan | IVoox Indonesia

May 6, 2025

9 Poin Revisi UU KPK Yang Berpotensi Melemahkan

KPK

IVOOX.ID, Jakarta - Ada 9 poin revisi UU KPK menurut beberapa pihak akan melemahkan KPK sebagai lembaga pemeberantas korupsi.

Penolakan terhadap revisi UU KPK bukan hanya datang dari luar KPK. Pimpinan KPK saat ini pun sudah menyatakan keberatan atas revisi UU KPK yang sudah diserahkan kepada Presiden Jokowi.

Indonesia Corruption Wacth juga menyatakan secara keras penolakannya terhadap revisi UU KPK yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Ada 9 poin krusial yang dapat melemahkan dan menghambat kerja KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pertama, Independensi KPK terancam. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya mengungkapkan Dewan Pengawas ini representasi dari Pemerintah dan DPR yang ingin campur tangan dalam kelembagaan KPK.

Kedua, penyadapan dipersulit dan dibatasi. ICW juga menyoroti masalah penyadapan yang harus mengantongi izin Dewan Pengawas. Menurut Kurnia, permintaan izin ini justru akan memperlambat penanganan pidana korupsi dan bentuk intervensi atas penegakan hukum yang berjalan di lembaga antikorupsi.

Ketiga, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR. Mekanisme pembentukan Dewan Pengawas bermula dari usul presiden dengan membentuk Panitia Seleksi, lalu meminta persetujuan dari DPR.

Keempat, sumber penyelidik dan penyidik dibatasi. Ketentuan yang menghapus kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik independen, harus dikritisi.

Kelima, penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. oal pelaksanaan tugas penuntutan KPK yang harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Poin ini menjadi kemunduran pemberantasan korupsi, karena KPK adalah sebuah lembaga yang menggabungkan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu atap.

Keenam, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria. Salah satunya kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Menurut Kurnia, isu ini sudah dibantah berkali-kali dengan hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2003, 2006, dan 2010.

Kurnia menyatakan Pasal 40 UU KPK yang melarang menerbitkan SP3 bertujuan agar KPK tetap selektif dalam menentukan konstruksi sebuah perkara agar nantinya dapat terbukti secara sah dan meyakinkan di muka persidangan.

Ketujuh, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas. Bakhan menurut Kurnia penanganan perkara yang sedang berjalan di KPK dapat dihentikan merupakan masalah besar. Dalam draf perubahan, Pasal 70 huruf c, menyebutkan bahwa pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang proses hukumnya belum selesai mengikuti aturan ini.

Kedelapan, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan. KPK hanya dibatasi waktu satu tahun untuk menangani sebuah perkara. Dalam Pasal 40 ayat (1) draf perubahan disebutkan bahwa KPK hanya mempunyai waktu 1 tahun untuk menyelesaikan penyidikan ataupun penuntutan sebuah perkara.

Menurut Kurnia, keberadaan pasal itu menunjukkan ketidakpahaman DPR dalam konteks hukum pidana. Jangka waktu hanya berlaku untuk masa kedaluwarsa penuntutan yakni dalam Pasal 78 ayat (1) KUHP.

Kurnia juga mengkritisi tentang KPK tidak bisa membuka kantor perwakilan di seluruh Indonesia. Menurutnya, hal itu tertuang di Pasal 19 draf perubahan. Padahal dalam UU KPK saat ini ditegaskan bahwa KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.

Kesembilan, kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.

Dalam revisi ini, Kurnia menyebut KPK dibuat tak lagi sebagai lembaga yang independen. KPK disebutkan menjadi lembaga pemerintah pusat yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan korupsi bersifat independen.

0 comments

    Leave a Reply