January 12, 2025

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Wamendagri Sebut Revisi UU Pemilu akan Merujuk Putusan MK Hapus "Presidential Threshold"

IVOOX.id – Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengatakan bahwa revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada dalam undang-undang sapu jagat atau omnibus law politik akan merujuk putusan Mahkamah Konstitusi mengenai ambang batas persentase minimal pencalonan presiden atau presidential threshold.

"Proses revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada pun pembahasannya harus merujuk kepada semangat putusan MK ini. Misalnya, termasuk dengan syarat threshold (ambang batas, red) pencalonan bagi kepala daerah, pemilihan langsung atau melalui DPRD," kata Wamendagri dikutip dari Antara, Kamis (2/1/2025).

Selain itu, Bima memastikan bahwa Kementerian Dalam Negeri sebagai perwakilan pemerintah akan berkomunikasi dengan Komisi II DPR RI mengenai putusan MK tersebut.

"Iya kan memang kami akan segera mulai pembahasan revisi UU Pemilu dan Pilkada," ujarnya.

Terpisah, Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Aditya Perdana mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi soal penghapusan presidential threshold membuka lebar capres pada tahun 2029.

"Kesempatan semua pihak, baik politisi ataupun di luar politisi untuk menjadi capres pada tahun 2029 terbuka selebar-lebarnya. Artinya, potensi capres pada tahun 2029 akan makin banyak karena tidak ada pembatasan apa pun," kata Aditya Perdana di Depok, Kamis (2/1/2025), dikutip dari Antara.

​​​​​​Bagi Presiden Prabowo ataupun Wapres Gibran, kata dia, putusan MK ini akan membuka peluang kompetisi yang makin ketat bagi petahana karena per hari ini akan muncul banyak penantang yang memulai kompetisi dengan mencoba merebut hati pemilih dengan berbagai cara, termasuk mantan capres dan mantan cawapres pada Pemilu 2024.

Menurut dia, dinamika ini tentu juga akan berdampak pada koalisi pemerintahan yang dominan. Setiap politikus atau bahkan pimpinan partai yang berada di kabinet tentu memiliki orientasi untuk menjadi kandidat pada pilpres dengan keuntungan sumber daya yang mereka miliki saat ini.

"Kompetisi pilpres tentunya akan memengaruhi dinamika kabinet, yakni di antara para menteri," kata Aditya yang juga Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting.

Dikatakan pula bahwa putusan MK ini harus diperkuat dalam pembahasan revisi UU Pemilu yang rencananya akan segera digelar agar memperkuat aspek legal dalam bentuk UU.

Sebelumnya, MK memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025), dikutip dari Antara.

Dalam pertimbangan putusan, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan bahwa merujuk risalah pembahasan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu merupakan hak konstitusional partai politik.

MK memandang presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Selanjutnya, MK mempelajari bahwa arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon.

Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.

Oleh karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

Perkara tersebut dimohonkan oleh empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.

Kemudian, terdapat dua hakim konstitusi yang berbeda pendapat, yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh.

0 comments

    Leave a Reply