April 20, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Sejarah Banjir Jakarta

IVOOX.id, Jakarta - Banjir dan Jakarta adalah keniscayaan. Banjir menjadi komoditi, untuk kepentingan isu politik dan ekonomi. Banjir dan Jakarta ternyata memiliki sejarah panjang.

Prasasti Tugu peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang ditemukan di Prasasti Tugu ditemukan di kampung Batutumbuh, desa Tugu yang sekarang menjadi wilayah kelurahan Tugu selatan, kecamatan Koja, Jakarta Utara, adalah bukti sejarah bahwa 1.600 yang lalu Jakarta sudah teman dengan banjir.

Prasasti yang dibuat sekitar tahun 403 Masehi itu bertuliskan tentang penggalian kanal atau Sungai Candrabhaga (Bekasi) dan Sungai Gomati oleh Raja Purnawarman. Kanal sepanjang 11 km tersebut dimaksudkan untuk mengelola air agar tidak banjir, sekaligus untuk menampung air saat musim panas.

Prasasti tersebut mengungkapkan bahwa pada masa itu Jakarta telah pernah mengalami banjir, dan Raja Purnawarman  berusaha mengatasinya dengan menggali kali antara Bekasi dan Tangerang. (Zaenuddin HM, 2013). Tercatat beberapa banjir besar pernah terjadi di Jakarta, antara lain pada tahun 1621, 1654, 1872, 1893, 1909,  sampai banjir besar yang terjadi pada tahun 2002, 2007, 2013, dan juga tahun ini.  Perbedaannya, saat ini intensitas banjir semakin sering.

Ketika Belanda Masuk ke Indonesia, mimpi Jakarta yang terbebas dari banjir juga dipikirkan. Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, memimpikan agar Batavia menjadi duplikat dari Amsterdam. Tak heran jika, Simon Stevin merancang tata kota Batavia pada 1620 dibuat menyerupai kota Amsterdam. Namun tidak mudah merancang kota pelabuhan yang sering dilanda banjir. Batavia yang dibangun di atas reruntuhan kota Jayakarta dibuat dengan banyak parit dan kanal agar banjir bisa direkayasa menjadi potensi transportasi kota.

Sungai Ciliwung yang berkelok-kelok dirombak dan dibuat lurus menjadi kali besar dan kanal yang membelah kota Batavia menjadi dua. Tak heran jika kala itu, Batavia saat itu terkenal dengan sebutan Queen of The East.

penanggulangan banjir di Jakarta umurnya hampir setua dengan usia kota ini. pada akhirnya Jakarta tidak bisa menghindar dari banjir.  Salah satu banjir terbesar yang terjadi di Jakarta pada masa penjahan Belanda terjadi pada tahun 1872, banjir itu menyebabkan pintu air di depan daerah yang sekarang berdiri Masjid Istiqlal,  jebol. Sungai Ciliwung meluap dan merendam pertokoan serta hotel di Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Begitu juga Gedung Harmonie, gedung dimana kaum elit Belanda bersosialisasi dan berpesta, ikut terendam.

Banjir itu juga menyebabkan Rijswijk (Jalan Veteran) dan Noordwijk (Jalan Juanda) tidak dapat dilalui kendaraan, termasuk kawasan yang sekarang menjadi Lapangan Banten juga terendam banjir. Banjir yang teramat parah itu menyebabkan Batavia lumpuh. Dua puluh tahun kemudian, pada tahun 1893 , banjir besar kembali melanda Batavia, pada tahun itu intensitas curah hujan begitu tinggi sehingga belasan sungai-sungai yang melintasi Jakarta tidak sanggup menampung air limpasannya. Hujan deras yang disertai angin kencang juga mengakibatkan banyak pohon tumbang. Di antaranya di Kwitang, Kebon Sirih, Petojo dan Tanah Abang. Banjir kala itu juga menyebabkan  berjangkitnya wabah penyakit seperti kolera dan pes, sehingga banyak menimbulkan korban jiwa penduduk Batavia. (Zaenuddin HM, 2013)

Catatan lain mengenai banjir Jakarta ada di Harian Sin Po pernah memuat berita mengenai hujan tanpa henti sejak Januari hingga Februari 1918, menyebabkan harga sejumlah bahan pokok naik. Selama 22 hari, mendung selalu menggantung di Batavia. Bulan Februari 1918, kampung di Weltevreden terendam banjir selama beberapa hari sehingga penduduk setempat terpaksa mengungsi. Saat itu beberapa kampung yang hingga kini menjadi langganan banjir, Tanah Tinggi, Kampung Lima, Kemayoran sudah terendam. Bahkan Kampung Pejambon terendam sampai satu meter hingga penduduk setempat terpaksa mengungsi ke Gereja Willemsskerk yang tingginya lebih dari tiga meter.

Sejak Februari 1918 banjir terjadi beberapa kali dan menyebabkan Kota Batavia lumpuh. Di kawasan seperti Tanah Tinggi, Pinangsia, Glodok, Straat Belandongan, Tambora, Grogol, Petaksinkin, Kali Besar Oost, rata-rata ketinggian air hingga sedada orang dewasa. Begitu di Angke, Pekajon, Kebun Jeruk, Kapuran, Kampung Jacatra atau Kampung Pecah Kulit di samping Kali Gunung Sahari, serta Penjambon, air juga merendam rumah-rumah penduduk “boemiputra”. Pasar Baru, Gereja Katedral, dan daerah sebelah barat Molenvliet (sekitar Monas sekarang) dijadikan tempat pengungsian.

Banjir ini juga mengakibatkan hampir seluruh wilayah Gunung Sahari terendam, kecuali sedikit di depan Gang Kemayoran. Untuk menuju Senen, orang harus berenang hingga wilayah Kalilio (jalan ini masih ada hingga sekarang dan terletak di samping terminal Senen). Sampai di Kalilio air terlihat setinggi 50 cm. Gedung kantor Marine menjadi tempat pengungsian warga pribumi dari Gang Chambon.

Sementara, di wilayah Batavia bagian barat, banjir terjadi akibat jebolnya bendungan Kali Grogol. Beberapa kampung seperti Kampung Tambora, Suteng, kampung Klenteng, Kapuran berubah menjadi empang. Satu-satunya sarana transportasi yang dapat digunakan adalah sampan dan perahu kecil.

Kondisi serupa terjadi di wilayah Kampung Pesayuran dan Kebon Jeruk. Perahu bahkan bisa berjalan di gang-gang yang biasanya digunakan sebagai jalan kereta kuda. Akhir Februari 1918, banjir mulai surut. Keadaan Batavia berangsur-angsur normal kembali.

Tak heran, jika slogan Batavia pada masa itu adalah "Dispereert niet" yang berarti (jangan putus asa), termasuk menghadapi banjir yang akan terus menyertai warga kota ini.

Seiring dengan waktu kerugian akibat banjir yang terjadi di Jakarta dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, wilayah yang tergenang banjir pun mengalami perluasan, jika dulu hanya wilayah utara dan barat Jakarta saja yang mengalami banjir, maka saat ini hampir seluruh wilayah Jakarta hampir tidak ada yang luput dari banjir.

Banjir besar yang terjadi pada tahun 2007, menggenangi 89 kelurahan yang ada di Jakarta dengan luas wilayah yang tergenang sekitar 454,8 km2, atau lebih dari 60% wilayah Jakarta. Banjir ini merupakan salah satu yang terbesar dalam sejarah Jakarta dan mengakibatkan kerugian hingga mencapai 5,2 triliun, menelan korban 80 jiwa, dan memaksa sekitar 320 ribu orang warga Jakarta mengungsi karena rumahnya tergenang atau bahkan tenggelam oleh banjir.

Ada baiknya semboyan "Dispereert niet" yang berarti (jangan putus asa), harus kita dengungkan. Warga jakarta lah yang harus mencari dan menjalankan solusi mengatasi banjir. Untuk menciptakan kehidupan yang nyaman di Jakarta.

0 comments

    Leave a Reply