Potret Perlindungan Konsumen 2024 dan Harapan Perbaikan pada 2025
IVOOX.id - Jentera waktu berputar begitu cepat, secepat kilat. Rasanya baru kemarin memasuki 2024, tapi kini kita tengah menapaki pintu gerbang 2025.
Bumi sudah hamil tua, kata penyair Chairil Anwar. Lalu, merujuk pada fenomena tersebut, apakah aspek perlindungan konsumen pada 2024 bertumbuh dengan cepat, atau bahkan sudah "hamil tua"?
Bisa jadi angka-angka statistik mengindikasikan itu, walau pada tataran empirik bisa sebaliknya. Berikut sejumput narasi untuk mengonfigurasikan fenomena di lapangan.
Awal Desember 2024, Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI meluncurkan hasil survei Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK). Survei yang dilakukan rutin per 3 tahun ini dilakukan di 38 provinsi di seluruh Indonesia.
Hasilnya lumayan fantastis, terjadi kenaikan IKK sebesar 3,07 poin. Artinya, kini IKK Indonesia naik level, dari level "mampu" menjadi "kritis". Dengan kenaikan level IKK ini, satu step lagi IKK Indonesia akan naik ke level "berdaya", alias setara dengan IKK di negara negara maju, seperti Singapura, Jepang, Korea, Amerika, Eropa, dan Australia.
Dengan menanjak ke level kritis ini, maknanya, konsumen Indonesia sudah mampu berperan aktif untuk memperjuangkan hak dan melaksanakan kewajibannya, serta mengutamakan produk dalam negeri. Suka tidak suka, hasil survei membuktikan, potret IKK Indonesia mengalami progresivitas.
Akan tetapi, di sisi lain--relevan dengan era digital seperti saat ini--situasinya justru paradoks. Tersebab, indeks literasi digital masyarakat Indonesia masih "menengah", dengan skor 3,5. Skor tersebut ditandai dengan 3 (tiga) indikator, yakni etika digital, kecakapan (skill) digital, plus budaya (culture) digital. Dan terbukti pengaduan konsumen masih didominasi oleh pengaduan konsumen berbasis digital.
Ini artinya skor IKK tidak sejalan dengan skor indeks literasi digital. Tingginya pengaduan konsumen di seputar komoditas digital membuktikan indeks literasi digital masyarakat Indonesia--sebagai konsumen--memang masih belum baik.
Sementara itu, dari sisi ekonomi, potret keberdayaan ekonomi konsumen Indonesia juga sedang melemah ("kritis") yakni ditandai dengan menurunnya daya beli (purchasing power) masyarakat. Pertumbuhan ekonomi 2024 melambat/melemah seiring dengan menurunnya kelas menengah Indonesia. Hal ini juga ditandai dengan tingginya angka PHK, yang menurut data telah mencapai lebih dari 83 ribuan.
Selanjutnya, yuk kita mampir ke data Bidang Pengaduan YLKI. Pada 2024 karakter dan jenis pengaduan di YLKI masih digelayuti oleh tingginya pengaduan perihal jasa keuangan, terkhusus soal pinjaman online.
Kondisi ini terlihat makin parah, karena berkelindan dengan fenomena judol (judi online). Keberadaan pinjol dan judol secara empirik tak bisa dipisahkan. Pinjam uang ke pinjol untuk praktik judol, atau menjadi korban judol, lalu larinya ke pinjol. Mirip lingkaran setan.
Tragisnya instrumen penegak hukum negara seperti tak berdaya. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas dan pelindung konsumen sektor jasa keuangan seperti mengalami lumpuh layuh.
Dalam hal melindungi konsumen agar tak menjadi korban "pinjal pinjol", OJK hanya mampu mengubah istilah pinjol menjadi "pindar", alias pinjaman daring. Sebuah upaya yang tak akan efektif mengubah jeratan konsumen menjadi korban pinjol.
Berkelindan dengan masalah pinjol, masyarakat juga masih rentan menjadi korban perundungan data pribadi. Ironisnya lembaga publik milik negara, yang seharusnya menjadi garda depan melindungi konsumen, justru paling sering menjadi korban peretasan data pribadi.
Lembaga keuangan (perbankan) milik BUMN pun acap terjadi peretasan data pribadi nasabahnya, sementara di sektor perbankan swasta tidak demikian. Patut dipertanyakan keandalan infrastruktur dan sumber daya manusia lembaga publik dalam upaya melindungi data pribadi milik masyarakat konsumen.
Dari sisi keselamatan, sebagai hak asasi konsumen dalam menggunakan suatu jasa, juga masih sangat rentan. Misalnya, kecelakaan bus pariwisata dengan korban massal, masih sering terjadi pada 2024, yang hingga kini belum ada upaya komprehensif untuk mengatasinya. Potensi terulangnya kejadian serupa di sektor bus pariwisata masih sangat besar.
Keselamatan di jalan tol pun masih setali tiga uang, saban hari masih terjadi korban fatalitas di jalan tol. Faktor manusia (human factor) menjadi indikator dominan terjadinya kecelakaan fatal di jalan tol. Pada 2023, terjadi korban fatalitas sebanyak 366 orang meninggal dunia (data BPJT, Kementerian PU).
Sepertinya belum ada upaya sistematis dan komprehensif dari kepolisian dan BUJT (Badan Usaha Jalan Tol) untuk meningkatkan literasi kepatuhan pengguna jalan tol. Sebab hanya dengan cara inilah tingginya fatalitas di jalan tol bisa dicegah dan diturunkan secara signifikan. Ingat, spirit bertransportasi adalah nirkecelakaan (zero accident) dan nirkematian (zero fatality).
Dari sisi kesehatan publik, Pemerintah masih tampak ambigu dalam memberikan perlindungan masyarakat, sebagai korban produk adiktif, yakni minuman manis dalam kemasan (MBDK) dan produk tembakau (rokok).
Memang dari sisi regulasi Pemerintah berhasil mengesahkan PP No. 28/2024 tentang Kesehatan. Substansi PP 28/2024 lumayan komprehensif untuk melindungi masyarakat dari potensi korban MBDK dan produk tembakau. Namun sayangnya, Kemenkes seperti limbung untuk membuat aturan operasionalnya (permenkes).
Tekanan oleh industri yang amat kuat plus intervensi kementerian lain (terutama Kemenperin) menjadi penyebab utamanya. Padahal tanpa aturan operasional, PP No. 28/2024 menjadi "mati angin".
Kementerian Keuangan pun setali tiga uang, tampak ambigu menelorkan cukai sebagai instrumen pengendali konsumsi dan melindungi masyarakat. Terbukti janji menerapkan cukai MBDK, sejak 2023 gagal diimplementasikan, hingga 2024.
Janji untuk dieksekusi pada 2025, sepertinya hanya menjadi pepesan kosong pula. Cukai rokok pun puso, tidak dinaikkan pada 2025. Padahal ini mandat regulasi (UU tentang Cukai), bahwa cukai rokok harus dinaikkan setiap tahunnya.
Kemenkeu juga tidak melakukan simplifikasi sistem cukai rokok, agar lebih efisien melindungi masyarakat. Tidak seperti sekarang, diakali industri dengan membuat produk rokok murah (down trading). Kebijakan cukai patut diduga menjadi barter politik dengan pengesahan PP No. 28/2024 tentang Kesehatan.
Di sisi lain, di pengujung 2024, Pemerintah memberikan kado pahit berupa kenaikan PPN menjadi 12 persen. Kelihatannya hanya naik 1 persen, dari 11 persen menjadi 12 persen, tapi jika sudah dikonversi dalam bentuk harga, kenaikannya mencapai 9,09 persen.
Dalih kebijakan ini mandat regulasi sungguh simplistis. Padahal, sama-sama mengenakan pembebanan pada masyarakat, akan lebih strategis jika Pemerintah menaikkan cukai rokok dan mengenakan cukai MBDK, yang bernilai/bermanfaat ganda, yakni untuk menggali pendapatan (revenue) negara dan melindungi/menyehatkan masyarakat.
Itulah sekelumit konfigurasi permasalahan bahwa potret perlindungan konsumen pada pada 2024 masih menggelisahkan karena masih banyak diwarnai oleh kebijakan yang ambigu.
Kita berharap potret perlindungan konsumen 2025 akan lebih baik, berbasis kiprah yang lebih progresif Presiden Prabowo Subianto dengan Kabinet Merah Putihnya dan kalangan legislatif di Senayan serta di DPRD.
Awasi dan kritisi janji dan jargon mereka saat kampanye (pilpres/pileg). Jangan sampai wanprestasi politik dengan menelorkan regulasi dan kebijakan yang kontraproduktif untuk kepentingan publik dan perlindungan konsumen di Indonesia. Selamat Tahun Baru 2025 dengan spirit baru!
Penulis: Tulus Abadi
Pengamat perlindungan konsumen dan kebijakan publik, Pengurus Harian YLKI
Sumber: Antara
0 comments