March 29, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Belajar dari Negeri Jiran

Pertumbuhan Ekonomi Syariah di Indonesia Perlu Didalangi oleh Para Penggiat Digital

IVOOX.id, Jakarta - Kinerja industri keuangan berbasis syariah di Indonesia tahun ini cukup banyak mendapatkan sorotan dari berbagai lembaga pemerintah maupun swasta. 

Salah satunya berangkat dari penetapan Peta Jalan Pengembangan Keuangan Syariah 2017-2019 yang disusun oleh pemerintahan Presiden Jokowi. 

Gagasan utama dari Peta Jalan ini cukup ambisius, yakni untuk memberikan ruang tumbuh untuk industri jasa keuangan Syariah Indonesia agar mampu berkontribusi bagi ekonomi nasional dan stabilitas sistem keuangan. 

Visi besarnya adalah, sebagai salah satu negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar, Indonesia bisa menjadi pusat keuangan syariah dunia. 

Industri keuangan syariah bukanlah bisnis baru di Indonesia, keberadaan alternatif jasa keuangan ini sudah beroperasi di Indonesia selama lebih dari dua dekade sejak Bank Muamalat beroperasi pertama kali di negara ini. 

Sayangnya, gaung layanan keuangan syariah masih belum jauh terdengar khususnya di daerah-daerah luar ibukota dan Pulau Jawa. Pemerintah kemudian menjadikan Peta Jalan tadi sebagai milestone salah satunya untuk membuka akses yang lebih luas bagi  terhadap produk dan layanan keuangan syariah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Inisiatif pemerintah di atas merupakan salah satu bentuk keseriusan pemerintah dalam mendongkrak kinerja industri keuangan syariah di Indonesia yang kini masih jauh tertinggal, terutama jika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia. 

Padahal, jumlah populasi masyarakat muslim Indonesia berjumlah 85 persen dari total penduduk Indonesia yang artinya memiliki potensi pasar yang sangat tinggi bagi perbankan, Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) sampai dengan pasar modal yang berbasis syariah.

Berdasarkan publikasi Global Islamic Finance Report tahun 2016, Indonesia menempati posisi ke 9 sebagai negara yang memiliki aset keuangan syariah terbesar di dunia. Posisi pertama dipimpin oleh Arab Saudi, Iran dan Malaysia di peringkat ketiga. 

Jika dilihat dari jumlah populasi muslim yang signifikan, maka angka di atas bukanlah prestasi yang cukup membanggakan bagi Indonesia. Meskipun demikian, banyak faktor yang membuat industri keuangan syariah Indonesia terlihat kalah bersaing jika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia misalnya.

Pemerhati ekonomi syariah Dima Djani menilai, perbedaan utama terletak pada produk dan target pasar. Arah produk syariah Indonesia berorientasi pada sektor ritel seperti fashion dan makanan, sementara di negara seperti Arab Saudi, Iran dan Malaysia sudah mulai merambah ke banyak sektor seperti keuangan dan investasi, serta pariwisata.

Dima menambahkan, setidaknya ada tiga hal yang memperlambat penetrasi inklusi dan literasi keuangan syariah di Indonesia jika dibandingkan dengan Malaysia. 

Pertama, komitmen pemerintah untuk mendukung industri keuangan syariah. Malaysia telah menetapkan kebijakan penempatan dana BUMN dan dana haji di perbankan syariah sejak lama. 

Sementara Indonesia, dana kelolaan masih terfokus di perbankan konvensional. Namun, sudah mulai ada pergerakan dari pemerintah saat ini dengan membangun KNKS (Komite Nasional Keuangan Syariah) dan dukungan atas terbentuknya beragam lembaga syariah lain seperti antaranya Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), dan Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (ASBISINDO).

Kedua, produk dan layanan yang variatif dengan tata kelola liberal. Industri jasa keuangan di Malaysia memiliki varian produk yang luas mulai dari jasa keuangan sampai pasar modal yang dikelola secara liberal, artinya layanan ini terbuka bagi komunitas manapun tanpa memandang latar belakang beragama. 

Sementara di Indonesia, industri keuangan syariah masih kental dengan afiliasinya terhadap komunitas muslim dan sebagai pilihan alternatif bagi kelas masyarakat tertentu saja. 

Padahal, produk-produk keuangan syariah telah banyak dikenalkan oleh perbankan di negara dengan populasi muslim minoritas seperti Inggris. Di tahun 2014, terdapat 20 bank di Inggris yang menawarkan produk syariah, dan terdapat 49 produk sukuk atau obligasi syariah. Islamic finance di kawasan Barat ini tumbuh mencapai 50 persen dibandingkan perbankan konvensional . 

Hal ini menunjukkan, keunggulan dari segi layanan dan model bisnis merupakan daya tarik utama masyarakat untuk menggunakan jasa keuangan syariah, bukan berdasarkan agama.

Ketiga, adaptasi teknologi untuk membuka akses informasi. Teknologi yang bergerak cepat merupakan peluang untuk mengemas produk dan layanan menjadi sebuah kebutuhan yang relevan bagi target pasar. 

Hal yang sama dilakukan oleh perusahaan fintech di Malaysia yang kini banyak bermunculan dengan fokus bisnis syariah.

Pemerintah lagi-lagi memegang wewenang yang cukup kuat disini. Regulasi disusun untuk mempermudah fintech syariah bermunculan. 

Fintech dan perbankan syariah di Malaysia saling koeksis dan membentuk Islamic fintech hub yang solid di negara ini. Dampaknya, jangkauan ke masyarakat makin luas, penetrasi produk dan layanan syariah semakin tinggi. 

Malaysia dan Indonesia memiliki kesamaan dalam hal penetrasi mobile, dimana Malaysia mencapai 140 persen dan Indonesia 142 persen dari total populasi. Namun yang perlu digaris bawahi adalah, penetrasi perbankan di Malaysia juga jauh lebih tinggi dari Indonesia, khususnya di bidang ekonomi syariah.

Sementara itu di Indonesia, Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2016 menunjukkan tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah nasional masing-masing sebesar 8,11% dan 11,06%. Jika dilihat secara sektoral, tingkat literasi dan inklusi perbankan syariah mencapai 6,63% dan 9,61%.  

Artinya, sebenarnya masyarakat sudah mulai menggunakan produk perbankan dan keuangan syariah, namun belum banyak yang paham mengenai produk perbankan dan keuangan syariah itu sendiri.

Dari ketiga faktor di atas, dapat dilihat bahwa selain upaya pemerintah dan lembaga keuangan utnuk menciptakan produk yang cocok untuk pasar, keberadaan perusahaan teknologi finansial juga penting untuk mendorong kinerja industri keuangan syariah di Indonesia. 

Penetrasi internet dan ponsel pintar yang semakin tinggi perlu direspon dengan kehadiran layanan-layanan jasa keuangan yang bisa merangkul masyarakat untuk lebih mengenal industri jasa keuangan syariah.

Bank Indonesia pada 2017 menyebutkan saat ini setidaknya terdapat 13 bank umum syariah, 21 unit usaha syariah, 167 bank perkreditan rakyat syariah, 58 asuransi syariah, tujuh modal ventura syariah dan 5.000 lembaga keuangan mikro syariah. Namun belum banyak masyarakat yang tergerak untuk mengakses layanan keuangan melalui lembaga tersebut. 

Di sinilah kemudian pentingnya memupuk minat masyarakat lewat edukasi sistematis dan pendekatan yang sesuai dengan tren digital. Dima meyakini, industri jasa keuangan syariah Indonesia jika dikombinasikan dengan teknologi dapat menjaring minat masyarakat untuk mengenal dan menggunakan jasa keuangan syariah, mulai dari produk perbankan hingga investasi berbasis syariah lewat platform digital. 

Evolusi digital memungkinan sektor perbankan dan jasa keuangan syariah untuk melakukan transformasi untuk meraih pasar yang lebih luas dan menciptakan produk praktis yang cocok untuk kebutuhan masyarakat. 

Secara jangka panjang, kehadiran perusahaan teknologi finansial yang berbasis syariah juga bisa memberikan akses dan edukasi kepada masyarakat dari berbagai kalangan khususnya di daerah untuk mendapatkan layanan jasa keuangan syariah dengan mudah dan cepat.  (jaw)

0 comments

    Leave a Reply