September 24, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Pelajaran bagi Indonesia dalam Upaya Produksi Mobnas di tengah Persaingan Global

IVOOX.id, Jakarta - Indonesia memang punya pelajaran untuk berupaya membentengi tumbuhnya produk mobil cap lokal di tengah arus persaingan global. Pelajaran pahit itu bernama mobnas Timor dan sederet merek lokal lain yang pernah dikembangkan.


Ujungnya, Indonesia kena gugatan dari banyak pihak. Memang gagasan yang lahir pada era Orde Baru tersebut sudah tak adil sejak dalam gagasan.


Puncaknya, terjadi pada 1996. Gagasan mobnas dijewantahkan pemerintah melalui penerbitan beleid Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 1996 tentang Pembangunan Industri Mobil nasional.


Timor digawangi Tommy Soeharto, anak kandung Presiden Soeharto. Dalam beleid yang diteken pada Februari 1996 tersebut, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan diminta memberi kemudahan agar mobnas itu dapat lahir dengan merek yang diciptakan sendiri, menyerap komponen lokal, serta berkesempatan untuk melakukan ekspor.


Lebih jauh, beleid itu menginstruksikan Menteri Keuangan untuk membebaskan bea masuk atas impor komponen yang masih dibutuhkan. Adapun Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan sebesar 10 persen.


Sebaliknya, pembayaran Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terutang atas mobil yang diproduksi, ditanggung pemerintah. Tak cukup menanggung pajak, pemerintah melalui Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) harus mengamankan jalan pembangunan mobnas tersebut.


Tak pelak, Indonesia digugat hingga forum Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Gagasan mobnas pun terbenam bersama kekuasaan Soeharto yang tenggelam.


Di sisi lain, kebijakan yang dikayuh Pemerintah Vietnam jauh berbeda dengan langkah yang pernah dilakukan Indonesia tersebut. Mereka tak mengutak-atik tarif ataupun memberikan perlakuan khusus kepada produk lokal, melainkan sekadar memperketat pintu masuk produk luar lewat arah yang berbeda.


Hal ini sepertinya terlalu berat dilakukan Indonesia. Berbeda dengan Vietnam, investasi asing yang telah digelontorkan bagi pengembangan pabrik di Indonesia lebih dulu besar dibandingkan negeri asal VinFast tersebut.


Hingga tahun lalu, Indonesia menempati peringkat kedua negara Asia Tenggara (Asean) dalam hal produksi mobil. Total volume itu mencapai 1,34 juta unit, naik 10 persen dibandingkan 1,21 juta unit volume pada 2017.


Pada saat bersamaan, produksi mobil Vietnam hanya mencapai 200.436 unit atau tumbuh 2 persen dibandingkan 195.937 unit pada 2017. Posisi ini mencerminkan bahwa prinsipal otomotif global seperti Toyota, Daihatsu, Honda, hingga merek Eropa lebih besar menanam kapital di Indonesia.


“Ketergantungan Indonesia memang lebih besar dengan prinsipal, dibandingkan dengan Vietnam. Jadi kebijakan pun berbeda,” ujar Dewa Yuniardi, perwakilan dari Asosiasi Industri Automotive Nusantara atau Asianusa (produsen mobil lokal).


Asianusa punya pengalaman pahit terkait arah kebijakan pengembangan industri. Asosiasi tersebut sebelumnya menaungi beberapa merek rintisan lokal, tapi kini hanya tersisa produk Fin Komodo.


“Waktu itu, kami meminta dan berdiskusi dengan pemerintah kalau produsen lokal diberikan tempat tersendiri. Misal, dengan membatasi pasar untuk mobil di bawah 1.000 cc, ternyata pemerintah malah mengeluarkan kebijakan LCGC [Low Cost Green Car],” kenangnya.


Menurut Dewa, rontoknya pengembangan Asianusa karena pemerintah benar-benar lepas tangan terhadap pengembangan. Untuk sekadar insentif saja, ungkapnya, aturan pemerintah selalu tak mengena bagi produsen mobil lokal Asianusa sebab selalu mengacu kepada volume produksi dan besaran investasi.


“LCGC itu mendapatkan insentif pajak, mereka produk 1.000cc, mendekati produk yang dibuat rekan-rekan Asianusa,” ucap Dewa.

0 comments

    Leave a Reply