October 4, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Mudik, Mulih Ka Jati Mulang Ka Asal

MEMASUKI paruh ketiga bulan Ramadhan yang bertepatan dengan rangkaian prosesi Paskah ummat Nasrani, eskalasi dinamika masyarakat mulai menggeliat. Di satu sisi, 10 hari terakhir bagi ummat Muslim yang tengah menjalankan ibadah shaum Ramadhan adalah fase paling krusial dalam menuntaskan perjalanan spiritual yang telah dibangun fondasinya dalam 20 hari pertama yang telah dilalui.

Fase akhir ini adalah fase kontemplatif holistik yang idealnya menjadi pamuncak suatu proses pembersihan dan pencarian yang bermuara pada terbitnya ufuk kesadaran di awal bulan Syawal.

Fase hening sebagaimana masa wukuf di padang Arafah di saat menunaikan ibadah haji. Fase merenungi dan menilai diri dengan jernih dalam rangka memahami esensi eksistensi dan berbagai model relasindalam ekosistem interaksi lintas dimensi.

Masa di mana ada peluang bagi kita, selaku manusia, untuk mendapatkan privilege berupa "akses" khusus pada kesadaran semesta yang digambarkan sebagai mendekatnya langit dan merapatnya dimensi untuk menghempas keterbatasan materi yang selama ini terlimitasi.

Sementara di kurun waktu yang sama terjadi pula eskalasi dinamika pergerakan manusia yang sedemikian luar biasa. Menurut prakiraan dari institusi resmi pemerintahan yang berwenang dalam sektor perhubungan dan angkutan penumpang, akan ada 193,6 juta orang melakukan perjalanan.

Suatu prosesi meruaya yang jumlahnya bahkan melampaui gabungan penduduk beberapa negara seperti Selandia Baru, Malaysia, Brunei Darussalam, Australia, Thailand, dan Filipina jika semuanya disatukan.

Sebagai gambaran, total populasi penduduk Australia per medio 2023 saja hanya sekitar 26.439.111 jiwa. Maka bisa dibayangkan betapa maraknya suasana perjalanan mudik lebaran di tahun ini.

Tentu akan ada banyak hal yang dapat dicermati, misal berapa perputaran nilai ekonomi pada masa-masa mudik ini? Karena tentu yang akan terdistribusi bukan hanya populasi manusianya saja bukan? Akan ada banyak transaksi, dan akan ada geliat ekonomi di berbagai sektor seiring dengan pergerakan manusia yang luar biasa ini.

Terlebih kini dengan daya dukung sumber informasi yang nyaris tanpa batas dari media sosial yang bahkan penggunaannya sudah menjadi fatsun tak tertulis untuk mencari dan mendapatkan rujukan tentang berbagai hal, khususnya kuliner dan wisata yang biasanya jamak dicari di masa libur lebaran, hampir dapat dipastikan akan ada peningkatan besar-besaran jumlah kunjungan dan tingkat penjualan tentunya.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memperkirakan potensi perputaran uang selama Ramadan dan libur Lebaran 2024 mencapai Rp157,3 triliun. Sementara anggaran belanja negara untuk tahun 2024 sesuai dengan Undang Undang no 19 tahun 2023 tentang APBN TA 2024 gditetapkan sebesar Rp3.325,1 triliun yang terdiri dari Belanja K/L sebesar Rp1.090,8 triliun, Belanja non-K/L sebesar Rp1.376,7 triliun, dan Transfer ke Daerah sebesar Rp857,6 triliun. Jumlah ini meningkat 6,4% dari tahun 2023.

Artinya dalam hitungan kasar, jumlah uang beredar pada periode Ramadhan-Lebaran 2024, mencapai sekitar 5℅ dari total jumlah anggaran belanja negara selama setahun penuh.

Sementara mengacu kepada data inflasi bulanan BPS, khususnya pada periode Februari 2024, didapatkan bahwa terjadi inflasi year on year (y-on-y) sebesar 2,75 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 105,58. Inflasi propinsi y-on-y tertinggi terjadi di Provinsi Papua Selatan sebesar 4,61 persen dengan IHK sebesar 106,70 dan terendah terjadi di Provinsi Papua Barat Daya sebesar 1,81 persen dengan IHK sebesar 103,44.

Sedangkan inflasi kabupaten/kota y-on-y tertinggi terjadi di Kab Minahasa Selatan sebesar 6,06 persen dengan IHK sebesar 107,25 dan terendah terjadi di Kab Belitung Timur sebesar 0,25 persen dengan IHK sebesar 103,48.

Dapat kita pelajari juga kontribusi dari berbagai sektor konsumsi dalam peningkatan inflasi yang ditandai dengan adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya sebagian besar indeks kelompok pengeluaran, yaitu: kelompok makanan, minuman dan tembakau sebesar 6,36 persen; kelompok pakaian dan alas kaki sebesar 0,90 persen; kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga sebesar 0,57 persen; kelompok perlengkapan, peralatan dan pemeliharaan rutin rumah tangga sebesar 1,13 persen; kelompok kesehatan sebesar 1,95 persen; kelompok transportasi sebesar 1,40 persen; kelompok rekreasi, olahraga, dan budaya sebesar 1,68 persen; kelompok pendidikan sebesar 1,55 persen; kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran sebesar 2,38 persen; dan kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya sebesar 3,09 persen. Sementara kelompok pengeluaran yang mengalami penurunan indeks, yaitu: kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,13 persen.

Berangkat dari data inflasi ler Februari itu tentunya kita dapat melihat dan memprediksi, selama arus mudik dan peningkatan aktivitas di area destinasi tentulah akan mendorong terjadinya peningkatan kebutuhan yang berdampak pada proses produksi, rantai pasok, dan juga indeks harga konsumen. Gairah ekonomi akan menjadi episentrum guncangan-guncangan peradaban yang diwarnai dengan distribusi kesejahteraan di area-area tujuan meruaya.

Maka mari kita bayangkan, dalam keriaan lebaran tahun ini, kita akan melihat keramaian di rest area sepanjang tol Trans Jawa, kota-kota pedalaman akan marak dengan para warganya yang pergi mengembara.

Warung makan Bu Ani, Bu Carik, atau Mie Ongklok Pak Subur di Parakan Temanggung antriannya akan mengular. Demikian pula angkringan Pak Man, Gudeg Mbah Lindu, warung makan Centhik Geni, Brongkos Handayani, Tongseng Sor Talok, Klathak Pak Pong dan Pak Bari, sampai es krim Italia Tempo Gelato di Jogja akan diserbu oleh bagian dari 11,7 juta pemudik yang akan menginvasi jalanan Jogja.

Di sisi lain mari kita hitung juga berapa kilo liter bahan bakar minyak bersubsidi maupun non subsidi yang akan dikonsumsi dalam kurun waktu tersebut? Mengacu rilis resmi Pertamina, diprakirakan konsumsi BBM saat mudik lebaran akan mengalami peningkatan sekitar 40%. Bahkan khusus di area tujuan mudik, Jawa bagian Tengah, diprakirakan tingkat konsumsi BBM mencapai 20.800 kilo liter.

Kondisi ini tentu juga akan berkontribusi pada dinamika tingkat emisi, mengingat tingginya mobilitas dan konsumsi tentu menambah pasokan karbon ke lingkungan. Dan masih banyak kondisi lain yang dari tahun ke tahun bersifat repetisi.

Tentu sebagaimana semua proses meruaya, ini adalah sepenggal fragmen pengingat yang melekat dalam memori primordial kita. Bukankah hidup ini semata hanyalah suatu proses kelana atau safar untuk kembali ke titik awal yang merupakan kampung darimana kita berasal? Kesadaran inilah yang mungkin muncul di permukaan kesadaran sebagai letupan semangat untuk "pulang". Melabuh kerinduan di dermaga-dermaga tempat kita dilepas, tak hanya dengan lambaian perpisahan, tetapi juga dengan lantunan doa-doa keselamatan.

Pada hakikatnya, meski ditakuti dan hampir pasti diemohi, manusia mengenal konsep mulih ka jati mulang ka asal. Sebuah perjalanan panjang yang justru akan tiba di tempat di mana semua berawal.

Maka perjalanan mudik dengan segenap keriuhannya, juga senyum merona, tatapan manja, serta peluk hangat penuh kerinduan yang menautkan jaring afeksi secara paralel dan massal, adalah cara kita untuk mencoba berdamai dengan segenap kekhawatiran dan keresahan akan rasa tidak pasti terhadap waktu yang dinanti serta tujuan yang dicari.

Momentum kairos yang tercipta di saat Lebaran, adalah penahbisan keyakinan bahwa akan selalu ada tempat untuk kembali, akan selalu ada "rumah" untuk pulang yang dapat membantu meyakinkan kita tentang eksistensi destinasi yang hakiki.

Jadi ramainya jalan tol, padatnya stasiun dan bandara, serta mengularnya antrian di sego koyor Mbak Tum Peterongan, warung seafood Nikmat Rasa, ayam goreng dan sup buntut Pak Supar, sate kambing Pak Amat jalan Thamrin, ataupun nasi goreng babat Pak Karmin Mberok Semarang, juga rawon setan, tahu campur, sate Klopo Ondomohen, soto Sulung Gubeng, rujak cingur, sampai, nasi bhuk cumi hitam Ampel Surabaya, adalah perwujudan dari perjalanan ziarah rasa yang bertujuan untuk menabalkan keimanan terhadap akar dari keberadaan.

Demikian juga sa'i kita saat wira-wiri dari jajan di pasar oro-oro ombo, mencari ketan di alun-alun Batu, sampai icip-icip aneka menu di sepanjang Kajoetangan, sejatinya adalah sebuah permainan menyusun ulang puzzle kenangan untuk menciptakan mozaik harapan.

Harapan yang berkelindan dengan impian tentang kedamaian di pusar keramaian yang mensetrifugasi elemen kemanusiaan dalam gaya tarik menarik dengan arah yang berbeda. Sentrifugal keluar melebarkan lingkar pengalaman dan pengetahuan, dan sentripetal yang membawa hasil sentrifugasi berpusat ke satu titik inti. Mengendapkannya menjadi kristal esensi yang dari lintas prismanyalah kelak akan keluar spektrum nilai kehidupan yang penuh dengan warna, sementara di sisi lainnya, segenap warna akan bersatu dalam seberkas cahaya. Sebagaimana deduksi dan induksi yang bekerja di dunia kita yang bersifat relatif dan sementara.

Maka meruaya bagi manusia bukanlah semata tentang perjalanan material. Mudik adalah perjalanan esensial yang perlu dilakukan sebagai upaya kontemplatif dan reflektif, dan mungkin juga menjadi bagian dari permenungan mendalam bak i'tikaf sosial yang berdiam diri, mengamati, dan mencermati sebagaimana sebagian ulama mahzab Maliki dan Syafi'i sebagaimana disitir oleh Syekh Yahya bin Syaraf an Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim li an-Nawawi, dapat dilakukan di tempat yang merupakan "rumah" atau "masjid" yang dapat merepresentasikan tempat ibadah, dimana kita belajar berserah dan menelaah tentang dinamika hidup yang volatil dengan berbagai makna samar yang bersifat subtil.

Hingga pada akhirnya, perjalanan mudik, mulang ka asal dapat dipahami pula sebagai sebuah perjalanan spiritual dengan berbagai ritual yang ternyata memiliki nilai konseptual dan faktual. Ada geliat yang ditandai kontraksi ekonomi lokal, ada pula konstruksi kesadaran komunal tentang rasa guyub yang menabalkan kenyataan bahwa kerinduan adalah bagian yang tak terpisahkan dari perancah kesadaran yang berada di seberang keberadaan.

Sejalan dengan pendapat Nat J. Colletta et al, tentang konsep kohesi sosial, dimana beliau menyatakan bahwa kohesi sosial adalah perekat yang menyatukan masyarakat, membangun keselarasan dan semangat kemasyarakatan, serta komitmen untuk mencapai tujuan-tujuan bersama.

Dan tentu tak tertutup kemungkinan, bahwa di balik kohesi sosial yang tercipta, sebenarnya ada invisible hand yang bekerja. Tangan tak nampak itu bisa berwujud memori primordial ataupun kesadaran sub liminal yang menggerakkan diri sebagai entitas yang terus berupaya untuk membangun identitas. Maka kembali dan bertemu dengan elemen-elemen asal adalah mekanisme fundamental untuk membangun akar dan mencegah ketercerabutan asal yang dapat diibaratkan bak jangkar di saat sebuah kapal sedang merapat dan bersandar di sebuah bandar.

Maka secara siklikal kita, baca manusia, akan berputar seperti thawaf, dan kembali ke titik asal. Maka mudik adalah representasi atau model mikrokosmos yang menggambarkan bahwa dalam setiap siklusnya manusia butuh menyadari bahwa akan selalu ada titik asal dimana semua kisah hidupnya berawal. Jadi barangkali boleh pula kita sesapi, makna mudik sebagai suatu ziarah spiritual dalam konteks belajar untuk mempreservasi ingatan akan adanya kepastian di balik akumulasi keotik ketidakpastian.


Penulis: Tauhid Nur Azhar

Ahli neurosains dan aplikasi teknologi kecerdasan artifisial, SCCIC ITB/TFRIC-19.

0 comments

    Leave a Reply