March 29, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Lemahnya Mata Uang Untungkan China dalam Perang Dagang

IVOOX.id, Jakarta - Terjebak dalam perang dagang yang semakin memanas, Amerika Serikat (AS) dan China tidak memiliki pandangan yang sama pada banyak masalah ekonomi. Tapi ada satu pengecualian penting: mata uang China.

Yuan China—juga disebut renminbi—jatuh ke titik terendah dalam 21 bulan pada hari Kamis (18/10), merayap mendekati nilai tukar tujuh dolar AS. Ini akan menjadi kali pertama kalinya bagi mata uang China tersebut melewati garis psikologis penting ini, sejak krisis keuangan global pada tahun 2008.

“Ini satu-satunya masalah yang disepakati Trump dan China,” kata Andrew Polk dari Trivium China, konsultan ekonomi yang berbasis di Beijing. “Tidak satu pun dari mereka menginginkan mata uang terdepresiasi.”

Namun ini bukan kasus yuan yang lemah karena dolar AS kuat, kata ekonom. Dolar telah menguat karena negara ekonomi terbesar dunia tersebut tumbuh dengan kuat, didorong oleh pemotongan pajak oleh Presiden Trump, dan karena Federal Reserve (The Fed, bank sentral AS) telah menaikkan suku bunga.

Namun, dalam perang dagang yang semakin panas ini, semuanya adalah permainan yang adil, dan mata uang bisa menjadi garis serangan berikutnya bagi pemerintahan Trump.

“AS sedang mencoba menginspeksi segala hal sampai hal terkecil,” kata Polk. “Segala cara akan dilakukan untuk menangani keluhan.”

Trump telah berulang kali menuduh Beijing mencoba mendapatkan keunggulan kompetitif dengan menjaga mata uangnya dengan sengaja diperlemah, yang membuat ekspornya lebih murah. Hal ini meningkatkan ketidakseimbangan perdagangan, yang mencapai lebih dari $350 miliar yang menguntungkan China.

Jatuhnya yuan tahun ini hampir seluruhnya mengimbangi 10 persen tarif yang dikenakan Trump pada barang-barang China senilai $250 miliar—sesuatu yang dilihat oleh Presiden AS sebagai bukti manipulasi mata uang.

Tetapi Departemen Keuangan Trump pada Rabu (17/10), berhenti menyatakan China sebagai manipulator mata uang ketika merilis laporan setengah tahunan kepada Kongres tentang valuta asing. Untuk diberi label sebagai manipulator, suatu negara harus memenuhi tiga syarat, tetapi China hanya memenuhi satu atau dua dari tiga. Tidak dapat dibuktikan bahwa mereka melakukan intervensi satu pihak di pasarnya, kata para analis.

Laporan itu mengatakan bahwa intervensi langsung China di pasar mata uang telah “terbatas,” tetapi Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengambil kesempatan untuk memberi peringatan keras kepada Beijing.

“Yang menjadi perhatian khusus adalah kurangnya transparansi mata uang China dan kelemahan terbaru dalam mata uangnya,” kata Mnuchin dalam sebuah pernyataan. “Ini merupakan tantangan besar untuk mencapai perdagangan yang lebih adil dan lebih seimbang, dan kami akan terus memantau dan meninjau praktik mata uang China, termasuk diskusi berkelanjutan dengan Bank Rakyat China.”

Tetapi jika Bank Rakyat berhenti mengelola nilai tukar, itu akan menjadi berita buruk bagi pemerintahan Trump. Intervensi “terbatas” bank tampaknya bertujuan untuk menghentikan yuan agar tidak jatuh terlalu banyak dan terlalu cepat—persis apa yang Trump dan Mnuchin inginkan.

Bank sentral China menetapkan harga untuk nilai tukar setiap pagi dan memungkinkan perdagangan hanya dalam dua persen di kedua pihak, yang merupakan cara untuk menghindari terlalu banyak volatilitas dalam mata uangnya. Pekan lalu—mencerminkan lintasan pasar—bank sentral menetapkan harga sebesar 6,9 untuk pertama kalinya dalam satu dekade, dan belum mengubahnya. Nilai yuan merosot ke 6.9378 terhadap dolar dalam perdagangan pada Kamis (18/10).

Gubernur bank sentral China, Yi Gang, telah berjanji untuk tidak menggunakan yuan sebagai alat dalam perang dagang.

“Kami tidak akan terlibat dalam devaluasi kompetitif dan tidak akan menggunakan nilai tukar sebagai alat untuk menangani masalah perdagangan,” katanya pada konferensi akhir pekan lalu di Indonesia, di mana dia bertemu dengan Mnuchin. Sebaliknya, ia telah berulang kali menyerukan stabilitas di pasar.

Walau yuan—seperti mata uang utama lainnya—melemah terhadap dolar karena ekonomi Amerika telah menguat, namun mata uang itu telah meningkat terhadap mitra dagang lainnya. Meski begitu, secara keseluruhan mata uang itu turun 4,5 persen tahun ini bila dibandingkan dengan semua mitra dagang China.

“Dalam istilah perdagangan-tertimbang, renminbi baik-baik saja,” kata Michael Spencer, kepala ekonom Asia untuk Deutsche Bank.

Sebagian besar analis memperkirakan bahwa bank sentral China akan mencegah nilai tukar melewati batas tujuh untuk sementara waktu. Bank tersebut ingin menghindari pertentangan dengan Amerika Serikat, karena perselisihan dagang masih terjadi—terutama menjelang pertemuan yang diharapkan antara Trump dan Presiden Xi Jinping bulan depan.

Dan bank tersebut juga ingin menghindari ketegangan dalam ekonomi China. “Depresiasi terus-menerus terhadap renminbi hanya akan lebih merugikan, alih-alih bagus bagi perekonomian kami,” kata Perdana Menteri Li Keqiang pada sebuah konferensi bulan lalu.

Tergelincirnya yuan dapat mengejutkan investor dan mendorong China mengirim uang mereka ke luar negeri, yang selanjutnya akan melemahkan mata uang.

Sementara ekonomi AS kuat, negara ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut semakin dingin, dan para pembuat kebijakan China berusaha mengelola perlambatan.

“Di sisi China, ekonomi telah menunjukkan tanda-tanda pelemahan selama tahun 2018,” kata Mark Sobel, mantan pejabat Departemen Keuangan. “Kebijakan ekonomi makro Beijing jelas ditujukan untuk akomodasi, memberikan dukungan kepada ekonomi,” tulisnya dalam catatan baru-baru ini.

Statistik pertumbuhan resmi untuk kuartal ketiga akan dirilis pada Jumat (19/10), dan jajak pendapat oleh Reuters dan Bloomberg menunjukkan bahwa para ekonom memperkirakan ekonomi China telah berkembang sebesar 6,6 persen dalam tiga bulan antara Juli dan September. Ini akan menjadi tingkat pertumbuhan paling lambat sejak krisis keuangan global pada tahun 2009.

Pemerintah China memprediksi pertumbuhan untuk tahun ini akan menjadi 6,5 persen—tetap datar dibandingkan dengan tahun 2017.

Mencerminkan kekhawatiran tentang perlambatan dan tentang perang dagang, pasar saham China juga telah jatuh drastis. Shanghai Composite Index telah jatuh lebih dari 30 persen tahun ini.

Eksportir China menguatkan diri mereka untuk menghadapi dampak tarif yang lebih tinggi, mengetahui bahwa depresiasi yuan tidak akan melindungi mereka jika Trump mewujudkan ancamannya untuk menaikkan tarif Amerika menjadi 25 persen pada bulan Januari.

Kejatuhan Yuan tahun ini telah membuat putaran pertama tarif Amerika masih dapat ditoleransi, meskipun dengan “banyak frustrasi,” kata Li Yi, pemilik pabrik kulit di Guangzhou.

Tetapi jika tarif naik hingga 25 persen, itu akan lebih dari yang dapat ia tahan. “Saya mungkin harus mengurangi tenaga kerja saya dari 100 menjadi sekitar 50,” katanya kepada majalah lokal Nanfeng Chuang. “Tidak ada jalan lain.”

0 comments

    Leave a Reply