April 25, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

KSSK: Rupiah Masih Aman

IVOOX.id, Jakarta - Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) memandang, nilai mata uang rupiah yang sempat mendekati Rp14.000 per USD diyakini belum berdampak negatif ke ekonomi nasional. Sebab, saat ini ekonomi nasional masih dalam kondisi yang kondusif dan stabil.

Ketua KSSK Sri Mulyani menyatakan, nilai tukar rupiah yang tengah tertekan terhadap USD lebih disebabkan oleh faktor eksternal dan volatilitas pasar keuangan global yang telah menyebabkan mata uang negeri Paman Sam menguat terhadap hampir semua mata uang global.

“Terkait dengan tekanan pada nilai tukar rupiah yang terjadi di bulan April 2018, perlu ditegaskan bahwa hal ini lebih disebabkan oleh faktor eksternal berupa penguatan mata uang dolar AS terhadap hampir semua mata uang dunia,” ucap Sri Mulyani, di Jakarta, Senin (30/4/2018).

Sri yang juga menjabat sebagai Menteri Keuangan ini menyebutkan, penguatan USD tersebut lebih didorong oleh berlanjutnya kenaikan yield US Treasury atau suku bunga obligasi negara AS yang mencapai 3,03 persen atau tertinggi sejak tahun 2013.

"Selain itu potensi kenaikan Fed Funds Rate lebih dari 3 (tiga) juga mendorong penguatan USD," jelas Sri Mulyani.

Faktor domestik, Ani sapaan akrabnya menururkan, pada bulan April 2018 terjadi kenaikan permintaan vakuta asing (valas) sesuai pola tahunan. Depresiasi rupiah secara umum masih terjaga dan lebih rendah, bila dibanding dengan penurunan sejumlah mata uang berkembang atau maju lainnya.

“Terkelolanya kurs rupiah juga didukung oleh upaya stabilisasi untuk mengurangi volatilitas baik di pasar valas maupun pasar SBN,” ungkap Ani.

Dia menekankan, KSSK juga terus mencermati sejumlah risiko yang dapat memengaruhi stabilitas sistem keuangan Indonesia dan prospek perekonomian ke depan. Dari sisi global, risiko tersebut antara lain terkait dengan dampak normalisasi kebijakan moneter di negara-negara maju, sebagai bentuk ekspektasi pasar atas kenaikan Fed Funds Rate yang lebih agresif, perang dagang antara AS dengan Tiongkok, perkembangan harga minyak global, dan instabilitas geopoIitik.

“Di sisi domestik, risiko yang terus dicermati antara lain terkait perkembangan nilai tukar serta dampaknya terhadap stabilitas perekonomian dan momentum pemulihan ekonomi yang sedang berjalan,” tukas dia. (ava)

0 comments

    Leave a Reply