Krisis Energi, Ancaman Inflasi, dan Wacana Solusi Stabilitas Ekonomi
IVOOX.id - Narasi krisis energi sudah lama digaungkan sebagai isu global yang mengajak miliaran penduduk bumi untuk peduli dan menyiapkan mitigasi.
Faktanya memang, krisis energi bukan sekadar isapan jempol belaka. Terindikasi dalam setahun terakhir, harga energi yang harus dibeli untuk melanjutkan hidup, terutama minyak mentah dan gas alam, melonjak tajam akibat berbagai faktor, seperti perang di Ukraina, gangguan rantai pasokan, dan kebijakan transisi energi di negara maju.
Fenomena ini telah memicu inflasi yang signifikan di banyak negara, menguji kemampuan pemerintah dan bank sentral untuk menjaga stabilitas ekonomi. Namun, di tengah tantangan tersebut, wacana baru muncul mengemuka tentang bagaimana krisis ini dapat menjadi peluang untuk mempercepat transformasi ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Kenaikan harga energi berdampak langsung pada biaya produksi, distribusi, dan konsumsi. Minyak mentah Brent, misalnya, telah mencatat kenaikan harga dari sekitar 70 dolar AS per barel pada awal 2022 menjadi lebih dari 90 dolar AS per barel pada akhir 2023.
Kenaikan ini berdampak domino pada harga barang dan jasa, meningkatkan biaya hidup masyarakat, dan memengaruhi daya beli secara signifikan. Laporan International Energy Agency (IEA) pada 2023 melalui website resminya www.iea.org menunjukkan bahwa harga gas alam di Eropa melonjak lebih dari 300 persen selama dua tahun terakhir, memicu inflasi di kawasan tersebut ke level tertinggi dalam empat dekade.
Dalam konteks global, inflasi yang dipicu oleh krisis energi telah memaksa bank sentral, seperti Federal Reserve di Amerika Serikat dan European Central Bank, untuk menaikkan suku bunga acuan secara agresif.
The Fed, misalnya, telah menaikkan suku bunga dari hampir nol pada awal 2022 menjadi 5,25–5,50 persen pada 2023. Langkah ini, meskipun bertujuan untuk menekan inflasi, membawa risiko perlambatan ekonomi yang signifikan, baik di negara maju maupun berkembang.
IMF dalam laporannya pada Oktober 2023 menyebutkan bahwa kebijakan moneter ketat ini dapat menekan pertumbuhan ekonomi global menjadi hanya 2,9 persen pada 2024, jauh di bawah rata-rata dekade sebelumnya.
Tantangan Ganda
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, kenaikan harga energi global memberikan tantangan ganda. Di satu sisi, lonjakan harga minyak dunia meningkatkan beban subsidi energi yang harus ditanggung pemerintah. Pada 2023, anggaran subsidi energi Indonesia melonjak hingga Rp502 triliun, naik lebih dari 30 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Di sisi lain, kenaikan harga energi global juga menekan nilai tukar rupiah akibat meningkatnya permintaan dolar AS untuk impor energi, yang sebagian besar masih bergantung pada sumber dari luar negeri.
Bank Indonesia terpaksa menaikkan suku bunga acuan hingga 5,75 persen untuk menjaga stabilitas rupiah, yang secara tidak langsung juga berdampak pada perlambatan pertumbuhan kredit dan investasi domestik. Namun, krisis ini bukan sekadar ancaman, ia juga membuka peluang untuk perubahan strategis yang dapat mengurangi kerentanan ekonomi terhadap volatilitas energi global.
Solusi jangka pendek dan jangka panjang harus dirumuskan dengan hati-hati untuk mengatasi dampak langsung krisis sekaligus membangun ketahanan energi yang lebih baik di masa depan. Salah satu langkah mendesak adalah diversifikasi sumber energi dalam negeri. Pemerintah perlu mempercepat pengembangan energi terbarukan, seperti tenaga surya, angin, dan biomassa, untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang harganya fluktuatif.
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 400 gigawatt, tetapi pemanfaatannya baru sekitar 2,5 persen. Dengan insentif fiskal yang lebih agresif, seperti penghapusan pajak untuk investasi energi terbarukan dan percepatan izin proyek, Indonesia dapat menarik lebih banyak investasi di sektor ini.
Selain itu, penguatan infrastruktur energi juga menjadi prioritas. Pembangunan jaringan listrik yang lebih andal, termasuk integrasi energi terbarukan ke dalam sistem nasional, harus dipercepat.
Di sisi lain, kebijakan subsidi energi perlu diubah menjadi subsidi yang lebih tepat sasaran. Misalnya, alokasi subsidi energi dapat diarahkan langsung kepada masyarakat berpenghasilan rendah, sementara sektor industri diarahkan untuk mengadopsi teknologi hemat energi melalui insentif dan regulasi.
Dalam skala global, krisis ini juga menjadi momentum untuk memperkuat kerja sama internasional dalam menghadapi tantangan energi. Indonesia, sebagai presidensi ASEAN pada 2023, dapat mengambil peran strategis dengan mendorong pembentukan mekanisme kerja sama energi di kawasan.
Misalnya, ASEAN bisa mengembangkan mekanisme cadangan energi bersama untuk mengantisipasi fluktuasi harga energi global. Selain itu, diplomasi energi yang lebih intensif dengan negara-negara produsen energi, seperti Arab Saudi dan Qatar, dapat membantu mengamankan pasokan energi dengan harga yang lebih stabil.
Dalam jangka panjang, reformasi struktural di sektor energi harus menjadi agenda prioritas. Pemerintah perlu mempercepat implementasi program hilirisasi sumber daya alam, seperti pengolahan minyak sawit menjadi biodiesel dan pengembangan baterai untuk kendaraan listrik.
Dengan strategi ini, Indonesia tidak hanya mengurangi ketergantungan pada impor energi, tetapi juga meningkatkan nilai tambah ekonomi dari sumber daya alam yang dimiliki. Krisis energi global adalah pengingat bahwa ketahanan ekonomi tidak bisa dibangun hanya dengan mengandalkan kebijakan jangka pendek.
Dibutuhkan visi jangka panjang dan keberanian untuk bertransformasi menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan dan tangguh. Dengan langkah-langkah yang tepat, krisis ini tidak hanya dapat diatasi, tetapi juga menjadi katalisator bagi Indonesia untuk memainkan peran yang lebih besar dalam ekonomi global.
Seperti kata pepatah, "Di balik setiap tantangan, ada peluang untuk bertumbuh." Dan itulah saatnya bagi Indonesia untuk mengambil peluang tersebut.
Penulis: Taufan Hunneman
Pengamat energi dan Dosen UCIC, Cirebon.
Sumber: Antara
0 comments