Kebijakan Aturan JHT Harus Libatkan Semua Pihak
IVOOX.id, Jakarta – Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan kebijakan mengenai aturan jaminan hari tua (JHT) para pekerja seharusnya lahir dari dialog serta melibatkan semua pihak terkait.
"Dengan demikian, sistem jaminan sosial yang dibangun itu benar-benar bisa bermanfaat bagi pekerja," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta.
Kebijakan publik, lanjut dia, mestinya berpijak pada asas dialogis sehingga untuk menata sistem jaminan sosial bagi pekerja tidak hanya berdasarkan alasan teoritis dan yuridis semata, tetapi harus mampu menjawab kondisi sosial para pekerja.
Peraturan baru tentang JHT pekerja yang dikeluarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan, dalam beberapa pekan terakhir ramai menjadi pembicaraan publik. Bahkan, kata dia, sejumlah kalangan mendorong agar aturan baru tersebut direvisi supaya sistem jaminan bagi pekerja mampu menjawab kebutuhan mereka pada era yang penuh ketidakpastian seperti sekarang ini.
Rerie, sapaan akrabnya, berharap sistem jaminan sosial tersebut benar-benar bisa bermanfaat bagi para pekerja yang kini menghadapi ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) dampak dari perubahan di sejumlah sektor akibat pandemi COVID-19.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Sabilar Rosyad mengatakan bahwa persoalan yang dihadapi buruh saat ini adalah besaran jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) yang ditawarkan jauh lebih kecil dari nilai JHT.
Selain itu, menurut Sabilar, di lapangan banyak perusahaan yang memaksa pekerjanya mengundurkan diri agar tidak melakukan PHK yang berdampak pada pemberian pesangon.
"Pada posisi tersebut buruh pada pihak yang lemah sehingga sangat membutuhkan bantuan," kata dia dikutip dari Antaranews.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan bahwa pihaknya sejak awal sudah menyampaikan kepada pemerintah bahwa Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 merupakan kebijakan yang tidak lengkap.
"Ada kesan terburu-buru," kata Agus.
Menurut dia, penerbitan aturan yang sensitif membutuhkan sikap kehati-hatian dari para menteri terkait agar tidak menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.
0 comments