October 2, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Internalisasi Sensitifitas Iklim Masyarakat Melalui Program Kampung Iklim

IVOOX.id, Jakarta - Untuk memperkuat aksi nyata di tingkat lokal yang berkontribusi dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kembali menyelenggarakan Diskusi Pojok Iklim pada Hari Rabu (31/3) dengan mengangkat topik “Internalisasi Sensitifitas Iklim Masyarakat Melalui Program Kampung Iklim”. 

Mengawali diskusi pojok iklim kali ini, Staf Ahli Menteri Bidang Industri dan Perdagangan Internasional, Laksmi Dhewanthi menyampaikan bahwa berbicara tentang sensitifitas perubahan iklim, yang perlu dibangun dalam konteks adaptasi adalah rasa sensitifitasnya, bagaimana masyarakat dapat mengenali dan sensitif terhadap perubahan iklim sehingga bisa beradaptasi terhadap perubahan-perubahan tersebut. 

Laksmi menerangkan adanya data penelitian tahun 2016 terkait perhitungan tingkat sensitifitas perubahan iklim dengan menggunakan empat indikator, yaitu pengetahuan terhadap perubahan iklim, pemahaman terhadap proses perubahan, pemahaman terhadap dampaknya dan partisipasi masyarakat dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat sensitifitas perubahan iklim berada pada tingkat yang sedang, atau belum optimal untuk mengantarkan masyarakat mengerti perubahan iklim, mengerti bagaimana prosesnya, dampaknya dan apa yang harus dilakukan. 

“Kampung iklim merupakan contoh yang pas sekali untuk konsep think globally act locally, bahwa aksi di tingkat tapak akan bisa memastikan semua pembicaraan, semua diskusi di tingkat global itu menjadi terwujud nyata dan bisa dinikmati manfaatnya oleh masyarakat,” jelas Laksmi. 

Selanjutnya, Wali Kota Tangerang, Arief Rachadiono Wishmansyah menjelaskan bahwa strategi penguatan aksi pengendalian perubahan iklim di Kota Tanggerang terwujud dari berbagai sektor, baik kelompok masyarakat, kelembagaan, swadaya dan partisipasi gender, kapasitas masyarakat, dukungan eksternal dan kegiatan lain yang saling terkoneksi untuk menciptakan Kota Tanggerang layak huni. 

“Yang seharusnya sekarang didorong adalah bagaimana masyarakat tidak lagi menjadi objek tapi menjadi subjek pembangunan,” ungkap Arief. 

Kemudian, Direktur Adaptasi Perubahan Iklim, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Sri Tantri Arundhati menjelaskan Program Kampung Iklim (ProKlim) merupakan program berlingkup nasional yang dikelola KLHK dalam rangka meningkatkan keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan lain untuk melakukan penguatan kapasitas adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan penurunan emisi Gas Rumah Kaca serta memberikan pengakuan terhadap upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang telah dilakukan, yang dapat meningkatkan kesejahteraan di tingkat lokal sesuai dengan kondisi wilayah. 

Disamping itu, Kepala Desa Poleonro, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Hardi menyampaikan perlunya kerjasama antara KLHK dengan Kemendesa untuk pemberdayaan pendamping desa yang ada di setiap desa sebagai Agent of Change Pengendalian Perubahan Iklim. Aksi pengendalian perubahan iklim di tingkat tapak perlu dijadikan sebagai salah satu variabel perhitungan besaran Dana Desa atau minimal menjadi syarat pengajuan pencairan Dana Desa. 

Sebagai Pembina ProKlim RW 01, Sunter Jaya, DKI Jakarta, RB. Sutarno turut menyampaikan bahwa ada dua hal penting dalam kegiatan ProKlim, yaitu menjaga pengembangan ProKlim ke dalam dan ke luar. Maksudnya adalah memperkuat kelembagaan, yaitu harus bersinergi dan serasi dengan Kelurahan, Kecamatan, Kotamadya, Suku Dinas/Dinas Lingkungan Hidup dan dengan berbagai macam dunia usaha. 

“ProKlim tidak berjalan sendiri tetapi harus mendapatkan pembinaan dan arahan yang jelas, sehingga keberadaan kami tetap berjalan dan kampung menjadi nyaman. Setelah itu masyarakat akan memiliki kesadaran gaya hidup ramah lingkungan,” papar Sutarno. 

Di akhir pemaparan, Penyuluh Kehutanan pada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, Sulistiyanto, menyampaikan bahwa Kelompok masyarakat lebih percaya diri dan lebih siap dalam aksi pengendalian perubahan iklim di tingkat tapak dengan mendaftar ProKlim, tentunya dengan dasar memaksimalkan potensi dan sumber daya yang ada, baik SDA/ SDM, kearifan lokal, kelola lelembagaan, kelola kawasan dan kelola usaha yang diberdayakan. 

“Peran Penyuluh Kehutanan/Pendamping ProKlim sangat strategis dalam mengubah pengetahuan, sikap dan keterampilan sasaran suluh, baik pelaku utama yaitu masyarakat maupun kelompok masyarakat,” jelas Sulistiyanto. 

Sebagai penutup, Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim, Sarwono Kusumaatmadja, menyampaikan bahwa dengan kompleksnya permasalahan yang dihadapi, tidak ada cara lain kecuali memperkuat tapak, katakanlah dalam membangun ekonomi masyarakat, pendidikan, kesehatan, maupun untuk mengendalikan perubahan iklim. Kondisi saat ini membuat pemerintah harus berubah dengan berperan sebagai fasilitator, pendukung dan menjadi jembatan yang lurus di antara berbagai kepentingan yang ada di masyarakat. Dikatakan Sarwono, jika tingkat tapak kuat, maka bangsa dan negara akan menjadi kuat. 

Diskusi yang dipandu oleh Dewan Pengarah ProKlim, Brigitta Isworo ini dihadiri oleh lebih dari 210 peserta yang terdiri dari Kementerian/Lembaga, organisasi non-pemerintah, perguruan tinggi, sektor privat dan individu. Kunci awal memulai ProKlim adalah mengenali kerentanan masing-masing daerah yang berbeda dan melibatkan masyarakat dari perencanaan hingga monitoring dan evaluasi, serta peran pemerintah yang sangat vital sebagai penyedia regulasi, dinamisator, motivator, katalisator, dan eksekutor. 

0 comments

    Leave a Reply