October 8, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Hari Ketiga

HARI ketiga Lebaran, usai menunaikan ibadah wajib sholat Subuh, lanjut membaca beberapa buku dan tautan artikel di dunia maya, sambil gogoleran di kamar hotel yang nyaman. Alhamdulillah. Sungguh suatu ketenangan dan kenyamanan yang amat keterlaluan jika dinikmati dengan sepenuh kesyukuran.

Tetapi sebagaimana setiap hal di semesta ini, ada mandatori yang wajib dijalankan dan dirasakan: kesementaraan.

Sejauh apapun semesta berjalan, ia akan terus berubah dan memuai mengubah dirinya. Entah meluas atau mengonversi dimensi, tapi yang pasti ia berubah.

Boleh saja kita meyakini teori baru penciptaan semesta yang termaktub dalam teori kosmologi plasma sebagaimana yang diusung Perrat et al (1992), yang konsekuensinya adalah semesta yang takkan runtuh (collapse), karena meluruh adalah mengembang sampai titik yang tak tersentuh, ataupun andai kita meyakini teori lain yang percaya bahwa ekspansi ada batasnya, tetap saja bagi setiap elemen di dalamnya, ruang waktu membuat kita tak pernah bisa bebas dari terminologi terbatas.

Yang menjadi pengingat kita adalah setiap model fungsional di semesta, memiliki sebentuk mekanisme pengikat.

Teori kosmologi plasma yang mengintegrasikan prinsip-prinsip fisika plasma dengan kosmologi untuk menjelaskan fenomena seperti pembentukan galaksi, evolusi bintang, dan pembentukan struktur besar di alam semesta, adalah salah satu yang membahasnya.

Plasma adalah gas yang terionisasi, yang atom-atomnya terpisah menjadi ion dan elektron. Konsep utama dalam teori kosmologi plasma adalah pembentukan struktur semesta adalah peran plasma. Plasma akan mepengaruhi evolusi alam semesta.

Berbeda dengan materi lain yang kita kenal, plasma bereaksi terhadap medan magnet, menciptakan fenomena seperti medan magnet galaksi dan filamen kosmik yang menghubungkan galaksi-galaksi.

Serangkaian observasi astronomi telah mendukung teori kosmologi plasma dengan menunjukkan adanya struktur seperti filamen kosmik yang panjang dan kompleks. Pengamatan juga menunjukkan adanya pola magnetik di berbagai skala, mulai dari bintang hingga galaksi, yang mendukung peran plasma dalam membentuk dan mempertahankan struktur semesta.

Implikasi teori kosmologi plasma sangat besar bagi konstruksi teori kosmologi modern. Teori kosmologi plasma membantu menjelaskan bagaimana galaksi-galaksi terbentuk dan bagaimana struktur besar seperti gugus galaksi terorganisir. Teori ini juga membantu kita memahami fenomena seperti radiasi latar belakang kosmik dan distribusi materi gelap di alam semesta.

Terdistraksi dari buku dan artikel teori kosmologi plasma, saya justru terkagum-kagum dengan passion dan spirit manusia-manusia hebat yang mengulik berbagai ilmu dasar dan teori yang dapat membantu kita memahami berbagai proses kompleks dalam hidup ini.

Tak hanya itu saja sebenarnya, saya juga hampir di sepanjang Ramadhan yang memang bulan ideal untuk belajar, banyak mengamati para tokoh yang telah menjadi sumber inspirasi bagi komunitasnya, baik lokal maupun global.

Bagi saya mereka sangat concern, fokus, dan terbukti mampu memastering diri hingga ke level yang sangat mumpuni. Dari perwakilan ulama, saya amat mengagumi keluasan wawasan dan kedalam ilmu dari para alim seperti Gus Baha dan Ustadz Adi Hidayat. Mereka tak hanya sekedar fasih dalam mendaras ayat ataupun hadist, akan tetapi juga sangat cerdas dalam memeras makna dan menyajikannya sebagai saripati ilmu bagi banyak kalangan yang membutuhkan banyak panduan.

Di profesi kedokteran, saya amat mengagumi, bahkan gumun, dalam bahasa Jawanya, saat melihat kecerdasan, ketrampilan profesi, lengkap dengan kecakapan komunikasi beberapa dokter terkenal negeri ini. Ada Prof Tono yang sangat ahli dalam konteks fertilisasi, ada pula dokter bedah syaraf muda Ryan Keswani yang tampak amat mencintai profesinya dan sangat bersemangat untuk terus belajar dan meneliti. Demikian pula ada beberapa dokter ataupun tenaga kesehatan yang sedemikian berdedikasi dalam konteks edukasi yang merupakan esensi dalam upaya meningkatkan kualitas kesehatan dari aspek promosi dan prevensi.

Dari profesi lain, saya juga sampai merasa terintimidasi dan minder saat mengikuti dinamika dialektika di berbagai grup WA yang banyak dihuni oleh para cendekia utama Indonesia.

Ada yang sedemikian fasih mengupas dalil dan teori ilmu falak atau astronomi, ada yang sangat paham jeroannya AI, dan ada yang mengkhususkan diri untuk berfokus pada smart city. Prof Suhono dari ITB adalah salah satu contoh konkretnya. Komitmen dan integritas beliau dalam bidang konsep cerdas lintas dimensi tak pelak telah terbukti dalam berbagai karya di ranah industri dan akademi sampai di struktur organisasi birokrasi.

Intinya mereka yang menjadi teladan saya itu, konsisten sekali untuk mengoptimasi kompetensi terkait profesi yang telah dipilihnya sebagai bagian dari legasi hidup. Tentu agar hidup bermakna dan tak sekedar numpang lewat di saat sempat, karena banyak momen yang gagal manfaat dan jatah waktu pun akan berlalu dengan sangat cepat.

Mungkin potensi dimana mereka fokus dengan konsentrasi tinggi dapat menghasilkan kompetensi berpresisi tinggi yang menjadi modal substitusi dan komplementasi dalam aspek distribusi fungsi di dunia ini. Sementara tugas saya ya mungkin memang hanya sebatas observasi, mengamati, dan ha ha hi hi, meski tentu semua wajib disyukuri karena sesuai kapasitas dan porsi bukan?

Ya idealnya memang kalau boleh menjadi seperti apa, pasti banyak yang ingin menjadi sealim dan sesholeh Gus Baha, secerdas Habibie, seganteng Reza Rahadian, dan setajir Dato Taher. Plus bersuara emas semerdu Vidi Aldiano, sebugar Om Dedy Corbuzier, serta selucu Cak Lontong, dan pandai berdebat seperti Rocky Gerung. Jadi menteri kece seperti Mas Sandi Uno, rajin olahraga dan tidak sombong, lalu punya waktu untuk menikmati hidden gem di berbagai penjuru dunia.

Tapi kadang kita lupa, saat definisi bahagia serumit itu, rasa syukur juga akan tereduksi sampai di level sulit ketemu. Karena bahagia menjadi skala rasional yang wajib terkuantifikasi dengan standar komparasi yang sebenarnya asimetri.

Karena bahagia itu hak setiap manusia yang punya kapasitas untuk merasa dan berimajinasi. Karena pada hakikatnya, bahagia itu persepsi yang bebas definisi. Hingga boleh saja, merdeka, untuk dikaitkan dengan materi, kemampuan transaksi, sampai tingkat apresiasi. Tapi juga tidak boleh direpresi jika memang berkorelasi dengan hal-hal remeh yang mungkin justru punya makna mendalam secara personal dan spritual. Melamun di tepi sungai sambil mendengarkan genericik air dan kicauan burung misalnya.

Potensi itu mungkin saja tersembunyi, dan sah-sah saja untuk tidak ditemukan. Seperti volume air di bawah kulit bumi yang mungkin jauh lebih besar dari volume air di seluruh permukaan bumi.

Pada tahun 2014, para ilmuwan menemukan tampungan air di perut bumi yang diprakirakan berukuran tiga kali lebih besar dari laut dan samudera di permukaan.

Tampungan air ini berada di kedalaman sekitar 643,73 kilometer di bawah tanah dan sampai saat ini belum dapat diakses.

Diprediksi air disimpan hingga kedalaman 700 kilometer di bawah permukaan bumi dalam batuan yang dikenal sebagai Ringwoodite. Dimana Ringwoodite adalah mineral yang memiliki kapasitas untuk menjebak air dalam struktur molekulnya.

Mineral ini terbentuk di bawah tekanan dan suhu tinggi, tepatnya pada zona transisi di perut bumi, sekitar 410-659 kilometer di bawah permukaan.Partikel Ringwoodite pertama kali diekstraksi dari perut bumi pada tahun 2014. Partikelnya ditemukan dalam sebuah berlian yang ditemukan dalam areal pertambangan yang berlokasi di Brasil.

Mungkin juga secara hipotetikal, Gus Baha cs telah menemukan ringwoodite-nya masing-masing, sehingga begitu cemerlang dalam menjalankan profesinya. Karena mereka punya akses terhadap sumber daya yang nyaris tak terbatas. Karena kalau berfokus pada infrastuktur tentu kita semua, baca Sapiens ini, hampir sama modalnya. Sama-sama punya sistem limbik, juga prefrontal korteks, dan neurotransmiter seperti dopamin dll. Jadi tinggal bagaimana cara kita mensyukurinya saja bukan?

Sama dengan cara saya bersyukur pagi ini mungkin ya? Lanjut ketik-ketik di WA, berbagai pemikiran random di atas, sambil menikmati secangkir kopi di sebuah kedai kecil yang unik dan menyenangkan hati. Apalagi kopinya enak loh, beans asli Indonesia, diolah dengan sepenuh cinta, dan disruput oleh otak sebagai bagian dari metadata yang akan mengonstruksi makna. 

Penulis: Tauhid Nur Azhar

Ahli neurosains dan aplikasi teknologi kecerdasan artifisial, SCCIC ITB/TFRIC-19.

 

0 comments

    Leave a Reply