April 25, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Fungsi Bank Senasib dengan Ojek Pangkalan?

IVOOX.id, Jakarta - Seiring menjamurnya perusahaan-perusahaan financial technology alias fintech, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak menghendaki fungsi intermediari perbankan bernasib sama dengan ojek pangkalan.

Kepala Departemen Penelitan dan Pengaturan Perbankan OJK Antonius Hari PM mengatakan, di Indonesia, jumlah orang yang memiliki rekening di perbankan baru mencapai 48% dari 265 juta penduduk. "Sedangkan di Singapura dan Malaysia sudah mencapai 75%," katanya dalam Pelatihan dan Gathering Media Massa Jakarta, di Bogor, 19-21 Oktober 2018.

Sementara itu, kata dia, jumlah orang yang memiliki nomor handphone sudah mencspai 54,68% dari total penduduk. Angkanya mencapai 143,26 juta jiwa. "Jadi, pertumbuhan 4 tahun pemilik nomor handphone menyamai pertumbuhan 80 tahun pemilik rekening bank," timpal dia.

Lebih jauh dia menjeladkan, dengan teknologi, bank bisa mengetahui pola transaksi nasabah. "Oleh karena itu, yang tak punya rekening bisa tak terlayani bank. Akhirnya mereka lari rentenir atau fintech.IT telah mengubah perilaku. Jika nanti IT sudah benar-benar terintegrasi, orang bisa memindahkan dana dalam jumlah besar dengan sekejap. Misalnya karena suku bunga yang kompetitif," papar dia.

Sekarang, lanjut dia, investasi bank-bank lebih ke arah mobile banking dengan tetap mempertahankan internet banking.

Kemajuan teknologi juga bisa membuat bank zero recruitmet karyawan. "Karyawan lama diprtahankan dan yang pensiun dibiarkan pensiun. Apakah perbankan akan senasib dengan ojek pangkslan? Kita tidak ingin seperti itu," timpal Antonius.

Rekrutmen akan lebih pada yang dibutuhkan. "Kita ingin pemutusan hubungan kerja dilakukan dengan bijak. Orang sekarang bisa jualan online. Peluang pekerjaan yang lebih luas," ucapnya.

Dari sisi digital banking, bank belum masuk ke sidik jari, iris mata, biometrik di Dukcapil. "Baru BIN yang bisa akses data-data tersebut," tuturnya.

Dulu, kejahatan terbesar adalah pencucian uang melalui transaksi narkoba sehingga muncul kampanye antipencucian uang. Sekarang, kejahatan terbesar adalah transaksi melalui teknologi informasi, seperti memindahkan data rekening nasabah. "Oleh karena itu, yang dibutuhkan ke depan adalah digital literasi bukan hanya literasi keuangan," ungkap dia.

Untuk itu, perbankan butuh dukungan penuh dari Dukcapil, Kominfo, Bank Indonesia, dan PPTATK.

Sementara itu, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagimengatakan, setiap tahun terdapat pengajuan kredit modal kerja sekitar Rp1000 triliun yang tidak terlayani oleh perbankan karena tidak memenuhi syarat alias unbankable atau under served. "Ini menunjukkan inklusi keuangan yang masih timpang," ungkapnya.

Selain itu, 70% dana perbankan tersedot ke pulau Jawa. Sebab, bank-bank daerah menyerap dana dari daerahnya masing-masing tapi tidak bisa menjalankan fungsi intermediari di daerahnya karena alasan unbankable.

Kondisi ini, kata dia, bertentangan dengan prinsip sila kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. "Dalam konteks ini, perbankan tidak bisa disalahkan. Sebab, bank juga memposisikan penampungan dana masyarakat sebagai amanat sehingga kredit tidak bisa dikucurkan serampangan," tukasnya.

Kemunculan financial technology (fintech) yang baru 'seumur jagung' diharapkan dia bisa menutupi gap dari fungsi intermediari yang tidak bisa dilakukan oleh perbankan sehingga inklusi keuangan semakin merata.

Data terbaru menunjukkan, sebanyak 5,7 juta orang sudah terlayani oleh Fintech dengan nilai Rp11,68 triliun. Adapun tingkat kredit macet perusahaan fintech berkisar antara 0,8% hingga 1,3%.

"Hal ini lebih dipicu oleh literasi masyarakat terhadap fintech yang masih kurang. Ini wajar karena fintech merupakan barang baru. Inklusi finteh tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan lierasinya. Sama seperti inklusi kepemilikan smartphone dinandingkan literasi digital dan teknologinya," ucapnya.

Dalam menjalankan fungsi intermediarinya, perbankan dan fintech berkolaborasi. Dari sisi pembiayaan, bank-bank mengucurkan kredit kepada perusahaan-perusahaan fintech.

Selain itu, transaksi baik kreditur ataupun debitur, sama-sama dilakukan melalui rekening bank sehingga menjadi fee based income di bank.

"Untuk mengantisipasi risiko kredit macet di industri fintech, data base-nya masuk ke OJK hari per hari. Jika masuk per 60 hari atau seminggu, risiko akan susah diantisipasi," imbuhnya.

0 comments

    Leave a Reply