September 30, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Enam Isu Prioritas Bermasalah Dalam RUU Kesehatan

IVOOX.id, - Jakarta, ANTARA (20/3) - Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyoroti enam isu prioritas bermasalah dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan) agar saat diundangkan nantinya bisa memberikan banyak perbaikan dalam penerapan sistem kesehatan.

"Kami melihat RUU Kesehatan masih sisakan banyak ruang perbaikan. Di samping pembahasan yang cenderung terburu-buru, banyak pasal yang perlu dikembangkan untuk kuatkan sistem kesehatan,” kata Founder dan CEO CISDI Diah Saminarsih dalam konferensi pers secara virtual pada Senin.

Pertama, melalui Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang disampaikan ke Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI), CISDI mendefinisikan Integrasi Layanan Kesehatan Primer atau Layanan Kesehatan Dasar sebagai integrasi layanan, mulai dari upaya preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif.

Integrasi itu mencakup upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat yang terkoordinasi di berbagai tingkat dalam fasilitas pelayanan kesehatan publik dan swasta.

“Sebagai catatan, bila merujuk Pasal 165 RUU Kesehatan, Pemerintah dan DPR masih memaknai integrasi pelayanan kesehatan primer terbatas penguatan puskesmas dan jejaringnya. Padahal, menurut Deklarasi Astana, integrasi harusnya menguatkan kerja sama layanan primer pemerintah dan swasta,” katanya.

Kedua, RUU Kesehatan belum berkomitmen berikan insentif yang layak dan pengakuan kepada kader-kader kesehatan sebagai sumber daya manusia kesehatan (SDMK).

“CISDI merekomendasikan pemerintah dan DPR RI memastikan imbalan jasa atau upah kepada kader kesehatan atas perannya sebagai bagian sumber daya manusia kesehatan (SDMK) seperti diatur pasal 36 RUU Kesehatan,” katanya.

CISDI juga mendorong RUU Kesehatan tidak berhenti pada upah, pemerintah juga perlu mengakui kader kesehatan sebagai tenaga kerja yang memiliki hak ketenagakerjaan yang cakup peningkatan kompetensi melalui sertifikasi dan pelatihan kerja.

“Pada 2018, WHO bahkan menyatakan kader kesehatan berhak dapatkan remunerasi berdasarkan tuntutan pekerjaan, kompleksitas, jumlah jam kerja, pelatihan, hingga tupoksi (tugas pokok dan fungsi),” ujarnya.

Ketiga, RUU Kesehatan menjelaskan kelompok rentan dengan sempit dan sangat terbatas sebagai ibu hamil dan menyusui, bayi, balita, dan lanjut usia.

Padahal dalam catatan CISDI, kata Diah, kerentanan adalah satu hal yang meluas dan interseksional. CISDI dan PUSKAPA (2022) mencatat lebih banyak bentuk sub-populasi rentan yang perlu diperhatikan.

"Ini mulai dari kelompok disabilitas dan disabilitas mental, kelompok di daerah 3T, hingga kelompok yang tersisih karena identitas maupun status sosioekonomi. Redefinisi ini penting agar masyarakat rentan dapatkan akses layanan kesehatan yang lebih inklusif dan non-diskriminatif," katanya.

Keempat, dalam aspek tata kelola, RUU Kesehatan dikhawatirkan mengganggu otonomi dan independensi BPJS Kesehatan dengan diwajibkannya BPJS Kesehatan melaksanakan penugasan Kemenkes RI. Padahal, otonomi sangat penting agar BPJS Kesehatan dapat mempertahankan dan menjalankan fungsi pembeli dalam sistem kesehatan, kata Diah.

Kelima, RUU Kesehatan belum eksplisit mengatur penanggulangan penyakit tidak menular (PTM) yang bersinggungan dengan variabel-variabel peningkat faktor risiko (penyakit).

"Padahal, kesehatan yang buruk dapat dipengaruhi beberapa faktor berisiko, seperti konsumsi alkohol, merokok, kurangnya aktivitas fisik, pola makan yang buruk, termasuk konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) berlebih," katanya.

Keenam, RUU Kesehatan belum mengatur secara tegas pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship (IPS) untuk produk-produk yang mengandung zat adiktif, terutama rokok yang selama ini belum diatur pelarangan IPS-nya secara total.

“CISDI mendorong pemerintah dan DPR RI mengakomodasi masukan publik dan kelompok masyarakat sipil, serta membuka ruang partisipasi seluas-luasnya dalam proses legislasi setelah terselenggaranya public hearing dan sosialisasi publik,” katanya.

Wakil Mentri Kesehatan RI Dante Saksono berharap, kehadiran RUU Kesehatan yang merupakan inisiatif DPR dan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023, dapat menjadi solusi atas berbagai persoalan di bidang kesehatan.(ANTARA/Kesra)

 

0 comments

    Leave a Reply