April 25, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Ekonomi Letoy, Fadli Zon: Pemerintah Tak Bisa Terus Salahkan Eksternal

IVOOX.id, Jakarta - Keterangan Pemerintah mengenai Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) RAPBN 2019 yang dibacakan Menteri Keuangan dalam Rapat Paripurna DPR, Jumat, 18 Mei 2018, dinilai Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon terlalu datar dan kurang greget.

Padahal, Indonesia saat ini sedang menghadapi ancaman terjadinya krisis ekonomi di depan mata dan sudah masuk tahap awal krisis.

“Depresiasi nilai tukar rupiah, capital outflow, serta terus terkereknya harga minyak dunia, adalah contoh beberapa situasi terkini yang akan berdampak besar bagi perekonomian kita. Pemerintah tak bisa terus-menerus menyalahkan faktor eksternal saat menghadapi kesulitan-kesulitan tadi. Dalih semacam itu menunjukkan pemerintah tak siap mengantisipasi terjadinya berbagai kemungkinan buruk ekonomi di masa depan,” kata Fadli dalam keterangan tertulisnya yang diterima Minggu (20/8/2018).

 

Ketidakpastian kurs rupiah, misalnya, bukan hanya disebabkan faktor global, tapi juga karena fundamental ekonomi kita sejak lama bermasalah. Defisit neraca perdagangan yang mencapai US$1,63 miliar pada April lalu, misalnya, yang merupakan angka terendah sejak tahun 2014, menunjukkan betapa keroposnya fundamental perekonomian kita.

Dalam catatan saya, sepanjang tahun 2018, hanya pada bulan Maret kemarin neraca perdagangan kita surplus.“Kita juga bisa melihat bahwa pemerintah cukup lamban dalam memberi respons kebijakan moneter.

Hal-hal semacam itu telah memperburuk situasi kita dalam menghadapi dinamika perekonomian global,”’ujar Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.

Perekonomian Indonesia, sambung Fadli, sebenarnya memiliki potensi yang besar. Meski fundamental ekonomi kita kurang kuat, namun daya tahan rakyat kita sebenarnya luar biasa. Jika potensi itu tidak bisa mencuat, itu terjadi karena salah kelola kebijakan.

“Coba bayangkan, selama triwulan pertama 2018, penerimaan remitansi dari para TKI kita mencapai US$2,63 miliar. Sebagai catatan, total remitansi buruh migran Indonesia selama tahun 2017 mencapai US$8,78 miliar. Mereka adalah penyumbang devisa besar. Berbeda dengan penerimaan devisa dari sejumlah komoditas ekspor, remitansi buruh migran ini hampir tak memiliki komponen impor sama sekali,” ungkap dia.

Kenyataan ini, kata Fadli, mestinya membuat malu pemerintah. Alih-alih berusaha memberikan perlindungan maksimal terhadap tenaga kerja Indonesia, khususnya buruh migran, pemerintah malah kian memanjakan tenaga kerja asing melalui berbagai relaksasi aturan ketenagakerjaan.

“Sungguh ironis. Buruh migran kita yang mendatangkan devisa miskin perlindungan, tapi buruh asing yang menyedot devisa malah terus-menerus dibela. Kebijakan-kebijakan keliru semacam itulah yang telah melemahkan perekonomian kita selama ini. Jadi, bukan semata-mata karena faktor global,” kata dia.

Tingginya komponen impor dalam perekonomian kita telah membuat kenapa anjloknya nilai tukar rupiah tak membuat ekspor kita jadi lebih kompetitif. Karena melambungnya nilai tukar dollar telah membuat biaya komponen impor juga jadi ikut melambung. Itu sebabnya neraca perdagangan kita defisit cukup besar.

Untuk memperbaiki itu, kita membutuhkan perbaikan struktur ekspor dan struktur industri, sehingga ketergantungan terhadap ekspor komoditas dan bahan baku serta barang modal impor dapat dikurangi.

“Harusnya pemerintah menekan atau menseleksi impor, tapi malah cenderung boros membuka keran impor. Menjelang musim panen kemarin, misalnya, pemerintah tiba-tiba membuka keran impor 500 ribu ton beras. Meskipun mendapatkan banyak protes, eh saat kini petani baru saja usai panen, pemerintah kembali mengimpor 500 ribu ton beras. Kebijakan-kebijakan aneh semacam itulah yang selama ini telah merusak fundamental perekonomian kita,” sebut dia.

Dari pidato yang disampaikan Menteri Keuangan, ia juga melihat bahwa pemerintah belum menunjukkan usaha keras untuk mengurangi ketimpangan ekonomi, mengingat pemerintah hanya menargetkan rasio gini tahun 2019 berada di kisaran 0,38 hingga 0,39 saja. Artinya, tidak berbeda jauh dengan angka rasio gini tiga tahun terakhir.

“Memang, meskipun sedikit, dalam tiga tahun terakhir rasio gini kita cenderung turun. Namun, penurunan itu saya kira terjadi bukan karena membaiknya perekonomian rakyat kecil, tapi lebih karena penurunan spending dari golongan kelas menengah kita, sehingga kini gap-nya jadi lebih kecil. Artinya, turunnya angka rasio gini tadi tidak menunjukkan adanya perbaikan ekonomi,”’ujar Fadli.

Dalam pidatonya, Menteri Keuangan juga mengungkapkan desain APBN di tahun 2019 akan difokuskan untuk pengembangan sumber daya manusia. Ini terdengar bagus, tapi dengan catatan jika dilakukan tiga atau empat tahun lalu.

Menjelang tahun-tahun politik, fokus pada pengembangan sumber daya manusia patut dicurigai penuh dengan bias populisme. Kita akan cermati rencana teknis pemerintah terkait pengembangan sumber daya manusia ini. Jangan sampai APBN kita ditunggangi oleh belanja politik.

“Target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah juga menurut saya terlalu ambisius, tidak realistis. Menghadapi dinamika global yang tak menguntungkan saat ini, pemerintah malah mematok target pertumbuhan ekonomi 5,4 hingga 5,8 persen. Padahal, saat situasi perekonomian global belum seperti sekarang saja, pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak pernah berhasil mencapai target pertumbuhan, apalagi sekarang?!”“Pada 2015, misalnya, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7 persen.

Tapi realisasi yang tercapai hanya 4,7 persen. Pada 2016, pemerintah sedikit menurunkan target menjadi 5,3 persen, tapi realisasinya tetap saja di bawah target, yaitu hanya 5,0 persen. Begitu juga dengan tahun 2017, target yang dipatok pemerintah 5,2 persen, namun realisasinya hanya 5,07 persen. Pemerintah sudah terlalu sering menyusun agenda yang realisasinya pasti tidak tercapai. Dan itu akan kembali diulang untuk APBN 2019.

”“Meski pemerintah membanggakan angka pertumbuhan kita yang terus bertahan di angka 5 persen dalam tujuh tahun terakhir, di mana pada saat bersamaan banyak negara maju hanya bisa tumbuh di bawah itu, namun angka tersebut saya kira dicapai tidak melalui kerja keras. Kita adalah negara dengan jumlah pasar domestik terbesar di ASEAN. Jika dikelola dengan baik, mestinya pertumbuhan ekonomi kita tak kalah dari Filipina yang pada 2017 mencapai 6,6 persen, atau Vietnam yang mencapai 6,8 persen.

”“Negara lain dengan jumlah pasar domestik besar, seperti Cina dan India, pada 2017 lalu juga masing-masing bisa tumbuh 6,9 dan 6,4 persen. Dengan pertumbuhan yang hanya 5 persen, pemerintah Indonesia selama ini sebenarnya belum bekerja keras dan cerdas.

”“Secara umum, saya sebenarnya mengharapkan APBN 2019 juga dirancang untuk menghadapi kemungkinan terjadinya krisis. Tapi saya belum melihat pemerintah melakukannya. Kita akan mengingatkan jika kemungkinan krisis itu tak bisa diabaikan begitu saja," tambahnya.

0 comments

    Leave a Reply