April 19, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Ekonom: Masyarakat Buntuh Insentif Beralih ke e-Money

iVOOXid, Jakarta - Masyarakat lebih membutuhkan insentif dari Bank Indonesia dan industri perbankan agar dapat beralih ke pembayaran non-tunai menggunakan uang elektronik, bukan kebijakan yang justeru mengenakan penambahan biaya, kata seorang ekonom.

Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudhistira di Jakarta, Rabu (20/9/2017), mencontohkan di Hongkong, perusahaan atau perbankan penerbit uang elektronik dan operator jasa transportasi menanggung seluruh biaya investasi infrastruktur uang elektronik melalui skema "sharing cost".

Skema "sharing cost" dengan operator transportasi itu justeru mengurangi beban biaya bank penerbit kartu, sehingga bank dapat memberikan diskon harga ke konsumen.

"Bahkan dengan 'sharing cost' tersebut si konsumen bisa dapat potongan harga. Insentif ini yang membuat 95 persen penduduk Hongkong pakai uang elektronik Octopus card," ujar Bhima melalui sambungan telepon.

Maka dari itu, ujar Bhima, kurang tepat jika nantinya masyarakat masih dikenakan biaya isi saldo uang elektronik, baik pada transaksi "off-us routing" (di luar infrastruktur bank penerbit) maupun "on-us routing" (melalui infrastruktur bank penerbit).

Pasalnya, kata dia, saat membeli uang elektronik, masyarakat sudah harus mengeluarkan biaya. Biaya pembelian uang elektronik perdana itu juga sudah termasuk marjin yang dinikmati bank sebagai pendapatan.

"Dari awal masyarakat sudah bayar kartu perdana e-money. Ketika dikenakan biaya top up, khawatirnya masyarakat bisa kembali pakai uang tunai lagi," ujar dia Gubernur BI Agus Martowardojo, sebelumnya dalam perhelatan IBEX 2017, mengatakan pro-kontra dari publik mengenai pengenaan biaya isi saldo uang elektronik ini menjadi masukan dan pandangan bagi Bank Sentral sebelum menerbitkan peraturan tersebut.

"Kami hormati pendapat itu, tetapi perlu diketahui skema pengenaan biaya uang elektronik yang lengkap," ujar dia.

Menurut Agus, pengenaan biaya isi ulang saldo merupakan upaya untuk menertibkan harga yang dibebankan konsumen dari penyedia isi ulang uang elektronik "off us" atau mitra bank penerbit kartu seperti toko swalayan maupun peritel lain.

"Kami akan kenakan batas maksimum harganya dari 'off us' sehingga bisa lebih rendah dari yang sekarang," ujar dia.

Transaksi isi ulang uang elektronik dengan skema off us itu disebut memiliki biaya yang beragam.

Seperti di mini gerai swalayan, biaya isi saldo uang elektronik dikenakan biaya Rp1.000-Rp2.000, sedangkan di ATM perbankan lain mencapai Rp6.500.

Agus pun menekankan, untuk biaya isi ulang "on us" atau lewat infrastruktur bank penerbit uang elektronik, bank sentral mengatur agar biayanya dapat lebih rendah sehingga bisa tetap bermanfaat.

Adapun, selama ini untuk isi ulang dengan infrastruktur bank penerbit kartu atau "on us" masih gratis.

Kepala Pusat Program Transformasi BI Onny Widjanarko menyebutkan, secara rinci pihaknya masih mengkaji nominal isi ulang dengan skema "on us" dan "off us" yang bisa dibebaskan untuk isi ulang.

BI akan terus mengevaluasi terkait dengan ambang batas biaya isi ulang uang elektronik itu. (ant)

0 comments

    Leave a Reply