November 25, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Ego Sektoral masih Jadi Tantangan Terbesar Pembangunan

IVOOX.id, Yogyakarta -- EGO sektoral hingga saat ini masih menjadi tantangan terbesar dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Bahkan, secara ekonomi, permasalahan ego sektoral ini membuat perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya menjadi tidak sehat, tidak adil, dan tidak efisien dari sudut pandang kawasan.


"Ego sektoral juga menghambat terjadinya integrasi dan kohesi sosial ekonomi yang menjadi satu tahapan penting dalam membangun suatu

kawasan," kata Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Prof Dr Achmad Erani Yustika SE MSc PhD, di Kampus Universitas Gadjah Mada, Rabu (30/1).


Pada acara bedah buku 'Integrasi Antar-Lembaga dalam Percepatan Pengembangan Kawasan Ekonomi Perdesaan' di Auditorium Mubyarto, MEP UGM, kehadiran dana desa menjadikan desa-desa terlalu melihat ke dalam (inward looking).


Ia mengatakan, hal itu tidak salah namun menjadikan desa yang memiliki sumber daya yang relatif bagus, sumber fiskal dan alokasi dana desa terlalu mengurus desanya sendiri. Mereka hanya berkonsentrasi yang besar di desa masing-masing dan menjadikannya kehilangan perspektif yang lebih besar dalam membangun kolaborasi atau agenda pembangunan kawasan perdesaan.


"Sebelum ada ADD, Alokasi Dana Desa -- maupun dana desa, desa-desa cukup mudah membangun kerja sama dengan desa-desa tetangga, tetapi begitu ada sumber daya yang banyak mereka justru mereka fokus ke dalam. Itu yang kita cermati, ada efek samping dari dana desa atau alokasi dana desa," ujarnya.


Menurut dia, fokus publik terkait UU Desa saat ini hanya perkara desa dan jarang sekali ada pihak yang menyentuh isu kawasan perdesaan. Padahal, jelasnya, dalam Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, sebutan kata desa menjadi satu paket dengan kawasan perdesaan.


"Sehingga imajinasi dan pengetahuan publik mengenai desa itu semata-mata hanya desa, tidak pernah masuk dalam isu yang dari sisi ekonomi jauh lebih penting untuk dibicarakan dan layak untuk didiskusikan yaitu kawasan perdesaan," tuturnya.


Ia menambahkan, membangun desa itu sebuah keniscayaan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sebab, banyak situasi memperlihatkan terjadi defisit ketertinggalan dengan wilayah perkotaan.


Secara sumber ekonomi, lanjutnya, desa memang melimpah sumber daya alam, namun pada isu-isu pengelolaan defisit dan itu harus ditutup dengan program-program dengan alokasi dana desa maupun sumber-sumber penerimaan desa yang lain. Oleh karena itu, dalam mengelola urusan desa terdapat tiga isu pokok yang terus didorong, yaitu relasi desa dengan manusianya, relasi desa dengan ekonomi, dan relasi desa dan budaya.


"Infrastruktur penting memang iya, bahwa pembangunan ekonomi itu vital iya. Tapi jangan lupa pada akhirnya pemanfaatan dan pengelola dari infrastruktur maupun sarana ekonomi tadi itu adalah manusianya, dan intisari pembangunan adalah ekspansi kapablilitas manusianya, manusianya yang harus diurus," tandasnya.


Bupati Kulonprogo, dr Hasto Wardoyo, menjelaskan, dalam melaksanakan pembangunan banyak desa kaya akan sumber daya alam dan berbagai potensi yang dimiliki, namun defisit dalam pengelolaan.


"Memang betul kita seperti itu. Oleh karena itu, merombak mindset itu menjadi penting sekali, mengubah mindset itu sama saja memasukkan satu ideologi, bahwa kita ini tidak cukup inovasi tapi jika perlu melakukan reformasi atau revolusi," katanya.


Menurut Hasto, revolusi adalah change mindset, sementara inovasi adalah just normal science sehingga jika seorang pejabat membuat layanan cepat, semisal agar semua bayi lahir segera mendapat akte kelahiran merupakan sesuatu yang biasa saja.


"Itu just normal science buat saya, belum revolusi karena hanya normal saja. Mengubah cara berpikir sehingga ketika warga di desa defisit pengelolaan ini menjadi penting sekali. Tanpa itu potensi yang ada tidak akan menjadi kenyataan," tuturnya.


Seminar dan Peluncuran Buku 'Integrasi Antar-Lembaga Dalam Percepatan Pengembangan Kawasan Ekonomi Perdesaan' merupakan buku hasil kerja sama antara Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dengan Ditjen Pengembangan Kawasan Perdesaan. Buku ini diharapkan menjadi model untuk menemukan lesson-learned yang dibutuhkan dalam percepatan pembangunan perdesaan.


Kasus yang dijadikan lokasi penelitian dalam buku ini adalah wilayah perdesaan di Kabupaten Kulonprogo yang saat ini telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai Kawasan Agrowisata Menoreh Terpadu yang mencakup enam desa di dua kecamatan. (Adhi Teguh)

0 comments

    Leave a Reply