April 17, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

DPR Kritik Kinerja BPOM Soal Bahaya Produk Albothyl

IVOOX.id, Jakarta - Okky Asokawati, Anggota Komisi IX DPR Fraksi PPP Menyayangkan kinerja BPOM atas kasus munculnya produk Albotyl yang ternyata memiliki kandungan yang berbahaya bagi masyarakat. Padahal, produk ini telah lama beredar di masyarakat secara luas.

Sekretaris Dewan Pakar DPP PPP itu mengatakan, kenyataan bahwa produk Albotyl berbahaya, jelas-jelas merugikan konsumen. "Dalam kasus ini, konsumen tidak mendapat perlindungan sebagaimana mestinya," kata Okky di Jakarta, Jumat (16/2/2018).

Peristiwa ini, menurut dia, menunjukkan lemahnya pengawasan BPOM baik terhadap premarket maupun postmarket dari produk makanan, minuman dan obat-obatan.

"Harusnya, setiap produk makanan, minuman dan obat-obatan sebelum dipasarkan harus dilakukan pengawasan premarket maupun postmarket," kata dia tegas.

Langkah ini, dinilai Okky, penting untuk memastikan setiap produk makanan, minuman dan obat aman dikonsumsi masyarakat. "Kami menangkap kesan, jika produk impor tidak perlu perlu pengawasan premarket. Pandangan ini tentu tidak tepat, produk impor maupun produk lokal, harus tetap diawasi baik pre market maupun postmarket," ucapnya menegaskan.

Dalam menangani kasus Albotyl ini, menurut dia, ada kesan BPOM menerapkan standard ganda. "Jika menghadapi produsen pelanggar aturan dalam hal makanan, minuman dan obat-obatan dari kalangan kecil, BPOM bertindak tajam dan tegas," timpal Okky.

Sebaliknya, bila BPOM menghadapi produsen yang melanggar aturan dari kalangan besar, kesan tumpul dan tidak bertaji cukup tampak diperlihatkan BPOM.

Padahal merujuk Pasal 196 Undang-undang Kesehatan disebutkan siapa saja yang memproduksi, mengedarkan, menyediakan farmasi atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan dan mutu diancam pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

BPOM dalam melakukan pengawasan terhadap produk makaman, minuman dan obat-obatan baik premarket dan postmarket sebenarnya tidak ada alasan disebabkan kurangnya anggaran. Sebab, pagu anggaran untuk BPOM untuk tahun 2018 ini sebesar 2,17 triliun. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2017 sekitar Rp1,9 triliun.

"Meski begitu, harus kita sadari, postur kelembagaan BPOM saat ini tidak memiliki kekuatan eksekutorial yang bisa memberikan sanksi bila menemukan kasus pelanggaran yang dilakukan produsen makanan, minuman dan obat-obatan," ucapnya.

Setiap kasus pelanggaran harus tetap diselesaikan melalui jalur kepolisian atau kejaksaan (lembaga penegak hukum). Akibatnya, proses terhadap pihak-pihak pelanggar membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Padahal, saat ini di BPOM ada penambahan Deputi IV yang khusus bertugas menangani persoalan hukum terkait pengawasan terhadap makanan, minuman dan obat-obatan. "Karena kalau BPOM hanya mengurus soal izin termasuk membekukan izin tentu tidak ada efek jera," ujarnya.

DPR telah memasukkan RUU Pengawasan Obat dan Makanan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dalam rancangan tersebut, BPOM didesain sebagai lembaga yang dapat memberikan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan.

"Upaya ini dimaksudkan agar BPOM dapat memiliki peran yang lebih, tidak urusan administrasi izin semata," imbuhnya. (jaw)

0 comments

    Leave a Reply