March 29, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Desas-desus di WhatsApp Makan Korban, Dua Orang Dibakar Hidup-hidup

IVOOX.id, Jakarta - Desas-desus tentang penculik anak menyebar lewat WhatsApp di sebuah kota kecil di Meksiko. Rumor tersebut tidak benar, tetapi segerombolan orang membakar mati dua pria sebelum seorangpun memeriksa kebenarannya.

Dikutip dari BBC, Selasa (13/11), pada tanggal 29 Agustus, tidak lama setelah tengah hari, Maura Cordero, pemilik sebuah toko seni dan pekerjaan tangan di sebuah kota kecil Acatln, negara bagian Puebla, Meksiko tengah, melihat sekumpulan orang berkumpul di luar kantor polisi di sebelah tokonya.

Cordero, 75 tahun, mendekati pintu dan melihat ke luar. Puluhan orang berada di luar pos polisi di Reforma Street, di pusat kota dan kerumunan orang terus bertambah. Tidak lama kemudian jumlahnya menjadi lebih dari seratus orang.

Cordero tidak ingat apakah dia pernah melihat kerumunan orang seperti itu di Acatln, kecuali saat peringatan peristiwa tertentu.

Dia melihat sebuah mobil polisi melintas tokonya, membawa dua pria ke penjara kecil. Mobil tersebut diikuti lebih banyak lagi orang dan semakin terdengar teriakan mereka menuduh kedua pria yang dibawa ke penjara tersebut sebagai penculik anak.

Dari balik pagar besi pintu masuk pos, polisi mengatakan kedua pria tersebut bukanlah penculik anak tetapi pelanggar hukum ringan. Polisi mengulangi perkataan tersebut berkali-kali, sementara kerumunan terus bertambah.

Ricardo Flores, 21 tahun, duduk di dalam kantor polisi. Dia tumbuh di luar Acatln tetapi kemudian pindah ke Xalapa, kota sejauh 250 km arah timur laut, untuk mempelajari ilmu hukum.

Pamannya, Alberto Flores, seorang petani yang berumur 43 tahun, telah tinggal berpuluh-puluh tahun tinggal di sebuah masyarakat kecil di luar Acatln. Ricardo baru saja kembali ke Acatln untuk mengunjungi keluarganya.

Keduanya mengatakan mereka pergi ke pusat kota hari itu untuk membeli bahan bangunan guna menyelesaikan pembuatan beton sumur air.

Polisi mengatakan tidak terdapat bukti kedua pria itu melakukan kejahatan. Adapun mereka dibawa ke pos karena “mengganggu ketertiban” setelah didatangi penduduk setempat.

Tetapi kerumunan di luar kantor polisi di Reforma Street mengartikan kehadiran kedua pria tersebut dalam versi berbeda, dibumbui cerita yang yang asalnya tidak jelas dan menyebar lewat pesan pribadi WhatsApp.

“Semua orang harap waspada karena adanya wabah penculikan anak di negara ini,” tulis pesan yang berpindah dari satu telepon selular ke telepon selular lainnya.

“Seperti para penjahat ini yang terlibat dalam perdagangan organ tubuh… Dalam beberapa hari terakhir, anak berumur empat, delapan dan 14 tahun menghilang dan sebagian anak ini ditemukan meninggal dengan organ tubuh yang dicabut. Perut mereka dibuka dan dikosongkan.”

Karena terlihat di dekat sekolah dasar bernama San Vicente Boqueron, Ricardo dan Alberto kemudian dianggap sebagai penculik anak.

Mereka menjadi korban ketakutan yang dirasakan masyarakat akibat hoax. Berita penangkapan mereka memang menyebar bersamaan dengan desas-desus penculik anak.

Kerumunan orang mendatangi kantor polisi, sebagian karena dipanas-panasi Francisco Martinez atau “El Tecuanito”, orang yang sudah lama tinggal di Acatln.

Menurut polisi, Martinez adalah salah satu orang yang menyebarkan pesan di Facebook dan Whatsapp, yang menuduh Ricardo dan Alberto. Di luar kantor polisi, dia mulai melakukan ‘siaran langsung’ pada Facebook lewat teleponnya.

“Penduduk Acatln de Osorio, Puebla, tolong berikan dukungan Anda, berikan dukungan Anda,” katanya di depan kamera. “Percaya kepada saya, penculiknya sekarang ada disini.”

Sementara pria lain, yang disebut sebagai Manuel oleh polisi, memanjat atap gedung balaikota di sebelah kantor polisi dan membunyikan lonceng kantor pemerintah untuk memberitahu penduduk setempat bahwa polisi berencana membebaskan Ricardo dan Alberto.

Pria ketiga, Petronilo Castelan “El Paisa” menggunakan pengeras suara untuk meminta penduduk menyumbangkan uang guna membeli minyak tanah agar dapat membakar kedua pria itu dan dia mendatangi kerumunan orang untuk mengumpulkannya.

Dari tokonya, Maura Cordero menonton dengan ketakutan, sampai dia mendengar dari seseorang di luar bahwa mereka harus melarikan diri karena kerumunan orang akan membakar hidup-hidup kedua pria itu.

Tidak lama kemudian, kumpulan orang itu menjadi gerombolan dengan satu tujuan. Pintu sempit pos polisi dibuka dengan paksa dan Ricardo dan Alberto Flores diseret keluar.

Sementara orang mengangkat tinggi-tingi telepon mereka untuk merekam, kedua pria itu didorong ke lantai di bawah dan dipukuli.

Minyak tanah yang dibawa sebelumnya kemudian disiramkan ke tubuh mereka.

Saksi mata meyakini Ricardo sudah meninggal karena dipukuli tetapi pamannya Alberto masih hidup ketika mereka membakar keduanya. Rekaman video memperlihatkan anggota tubuhnya bergerak perlahan saat api melalap mereka.

Jenazah gosong dibiarkan di tanah selama dua jam setelah dibakar, sementara jaksa dari Puebla City dalam perjalanan ke Acatln.

Petra Elia Garcia, nenek Ricardo dipanggil ke tempat kejadian untuk mengidentifikasi dan dia mengatakan air mata masih terlihat di pipi Alberto saat dia tiba. “Lihat apa yang Anda lakukan kepada mereka!” teriaknya kepada sisa kerumunan orang yang sudah mulai membubarkan diri.

Menurut pemerintah, lima orang itu sekarang didakwa memicu terjadinya kejahatan dan empat orang lain didakwa melakukan pembunuhan.

Martinez, yang menyiarkan secara langsung adegan kekerasan tersebut, Castelan, yang meminta minyak tanah dan seorang pria yang disebut sebagai Manuel yang membunyikan lonceng. Mereka adalah tiga dari lima orang itu.

Dua orang yang diduga penghasut dan empat terduga pembunuh masih buron, kata polisi.

Kematian Ricardo dan Alberto Flores di kota kecil Meksiko bukanlah peristiwa sejenis satu-satunya. Rumor dan berita palsu di Facebook dan WhatsApp juga menyebabkan kekerasan mematikan di India, Myanmar dan Sri Lanka, selain negara-negara lain.

Di India, sama seperti Meksiko, teknologi membesarkan desas-desus tentang penculik anak di abad ke-21, membuat informasi lebih cepat dan lebih jauh penyebarannya dengan tingkat ketepatan yang lebih rendah.

WhatsApp yang dibeli Facebook senilai US$19 miliar atau Rp281 triliun pada tahun 2014, dikaitkan dengan serangkaian pembunuhan oleh kerumunan orang di India, yang sering kali dipicu berita palsu penculik anak.

Di negara bagian Assam pada bulan Juni, terjadi kejadian yang mirip dengan di Acatln, dimana Abhijit Nath dan Nilotpal Das mati dipukuli 200 orang.

Baik WhatsApp maupun Facebook banyak digunakan untuk pemberitaan di Meksiko, menurut laporan Reuters Institute for the Study of Journalism tahun 2018.

Menurut laporan yang sama, 63% pengguna internet di Meksiko mengatakan mereka sangat khawatir atau benar-benar sangat khawatir terkait dengan penyebaran berita palsu.

“Platform digital dipakai sebagai kendaraan untuk menyalurkan yang terbaik dan terburuk dari kita, termasuk ketakutan dan prasangka,” kata Manuel Guerrero, direktur School of Communication di Universidad Iberoamericana, Meksiko.

“Dan itu lebih terlihat jika pihak berwajib yang seharusnya dapat menjamin keamanan kita, tidak efektif bekerja,” katanya.

Karena ketatnya enkripsi WhatsApp dari ujung ke ujung, asal-usul dari apapun yang dibagikan di app tersebut menjadi sulit dilacak. Perusahaan itu menolak desakan pemerintah India pada bulan Juli untuk membuka enkripsinya dan mengizinkan pemerintah melacak pesan.

WhatsApp telah mengambil sejumlah langkah untuk berusaha menghentikan gelombang ini, dengan menambahkan label pada pesan yang diteruskan dan membatasi jumlah pesan kelompok yang dapat diteruskan ke 20 pihak di dunia dan lima pihak di India.

“Kami percaya tantangan dalam menangani kekerasan kerumunan adalah dengan mewajibkan perusahaan teknologi, masyarakat madani dan pemerintah,” kata perusahaan itu kepada BBC.

“Kami sudah meningkatkan pendidikan untuk pengguna terkait dengan informasi salah dan memberikan pelatihan bagi penegak hukum terkait dengan penggunaan WhatsApp sebagai sumber daya bagi masyarakat.”

Juru bicara Facebook mengatakan kepada BBC bahwa platform itu “tidak menginginkan layanan kami dipakai untuk memicu kekerasan”.

“Permulaan tahun ini kami mengidentifikasi dan mencabut video yang memperlihatkan kekerasan di negara bagian Puebla, Meksiko, dan kami memperbarui kebijakan kami terkait dengan pencabutan isi yang dapat menciptakan masalah serius,” kata juru bicaranya.

“Kami akan terus bekerja dengan perusahaan teknologi, masyarakat madani dan pemerintah dalam memerangi penyebaran isi yang kemungkinan akan menciptakan masalah.”

Paling tidak 10 pemerintah negara bagian di Meksiko, termasuk Puebla, telah meluncurkan kampanye informasi untuk menyadarkan para warga terkait gelombang pesan palsu media sosial tentang penculikan anak.

Polisi siber Mexico City menciptakan kelompok chat di WhatsApp yang memungkinkan komunikasi langsung dengan penduduk di paling tidak 300 pemukiman di ibu kota.

Para warga bertanya kepada polisi tentang cara memverifikasi cerita dan polisi menggunakan kelompok untuk mengumpulkan bukti terkait dengan pihak-pihak yang menyebarkan berita palsu. Kelompok ini juga membicarakan: pencurian identitas, usaha memeras dan perdagangan manusia.

“Kami percaya pada setiap 10 kejahatan, sembilan kasus di antaranya menggunakan teknologi,” kata Jose Gil wakil menteri Informasi dan Intelijen Siber di Mexico City.

“Media sosial benar-benar dapat mengubah masyarakat lewat penyebaran informasi salah yang banyak dari kita pandang benar, karena dikirimkan orang yang kita percayai,” katanya.

“Masyarakat harus mengkaji apa yang benar dan mana yang salah, kemudian memutuskan apa yang dapat dipercayai dan mana yang tidak.”

Kurangnya penegakan hukum dan budaya yang membebaskan penghukuman di Meksiko membuat rumor pemicu kekerasan menjadi “dinamit yang sebenarnya,” kata Tatiana Clouthier, anggota parlemen Chamber of Deputies negara itu.

“Tetapi apa yang bisa kita antisipasi? Kita harus memprioritaskan kebebasan menyatakan pendapat, tetapi dimana batasnya? Itu adalah topik yang tidak satupun dari kita ingin sentuh karena tidak seorangpun ingin membatasi kebebasan menyatakan pendapat, tetapi kita tidak dapat membiarkan informasi yang salah. Keadaan yang kita hadapi sangat berbahaya,” tambahnya. (MU)

0 comments

    Leave a Reply