May 2, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Dampak Disahkannya UU MD3

IVOOX.id, Jakarta - Sidang paripurna, pada Senin, 12 Februari 2018, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya menyepakati pengesahan revisi UU MD3. Ini dampaknya bagi kehidupan politik dan tata negara Republik Indonesia.

Aksi Walk Out dua fraksi Nasdem dan Persatuan Pembangunan, menambah drama ditetapkannya UU MD3. Pasca keputusan tersebut beberapa tokoh masyarakat mengungkapkan kekecewaannya.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, mengungkapkan bahwa dengan disahkannya UU MD3 itu, DPR RI telah mengacaukan garis ketatanegaraan yang sudah diatur sebelumnya.

"DPR itu sudah mengacaukan garis-garis ketatanegaraan ya. Soal etika dicampur aduk dengan persoalan hukum," ujar Mahfud saat ditemui di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Rabu (14/2/2018).

Menurut mahfud Pasal yang mencerminkan campur aduknya etika dengan hukum yakni pasal yang memberikan wewenang kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengadukan orang yang dinilai merendahkan martabat DPR secara lembaga atau perorangan.

"Harusnya DPR kalau mau campur adukkan penegakan hukum dengan etika, ya itu tidak boleh," ujar Mahfud.

"Misalnya ada orang dianggap menghina DPR, enggak perlu pakai dewan etiknya segala. Kan sudah ada hukumnya KUHP pidana, menghina atau mencemarkan pejabat publik dan lembaga publik. Kenapa dimasukkan lagi MKD yang harus melapor?" lanjut dia.

UU MD3 mencantumkan beberapa hal yang sangat berdampak luas terhadap penegakan hukum dan kehidupan masyarakat.

Pertama, DPR bisa memanggil paksa orang atau lembaga dengan bantuan polisi. Hal ini diatur dalam Pasal 73 Ayat 4, yakni dalam hal pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kedua, Pengkritik DPR bisa dipidana. Poon ini terdapat dalam Pasal 122 huruf K, yaitu DPR bisa mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Ketiga, pemanggilan anggota DPR oleh KPK atau Polri harus dengan persetujuan Presiden RI. Hal ini terdapat dalam Pasal 245 yang mengatur tentang pemanggilan dan permintaan keterangan penyidik kepada DPR harus mendapat persetujuan tertulis presiden dan pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Tidak hanya memproteksi dirinya dengan berbagai peraturan. Jumlah pimpinan MPR pun direvisi menjadi 8 orang, DPR menjadi 6 orang dan DPD 4 orang. Kondisi ini jelas menampung kompromi - kompromi kepentingan diantara partai politik.

DPR cenderung membunuh demokrasi itu sendiri. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly membuka ruang bagi pihak-pihak yang tak menyetujui pengesahan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi. Pernyataan Yassona itu menyikapi Dewan Perwakilan Rakyat yang telah mengesahkan Rancangan Udang-Undang MD3 menjadi undang-undang, Senin, 12 Februari 2018.

"Kalau enggak setuju, boleh saja. Kalau merasa itu melanggar hak, ada MK. Enggak apa-apa biar berjalan saja," kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

0 comments

    Leave a Reply