April 20, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Cek Fakta Kesepakatan Dengan Freeport Indonesia

IVOOX.ID, Jakarta - Anggota Dewan Kehormatan (Wanhor) Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga ekonom senior Indef, Dradjad Wibowo mengingatkan agar cek fakta kesepakatan dengan Freeport Indonesia.


Menurut Dradjad, negosiasi ini sangat alot dan sudah berjalan sekitar setahun. Pasti Perlu kerja keras dari pihak Inalum dan pemerintah.


"Saya percaya, bos Inalum, Budi Sadikin akan mati-matian mencari deal terbaik bagi Indonesia. Dia, dulunya, dikenal sebagai seorang bankir yang profesional dan hati-hati," akunya di Jakarta, Jumat (13/7).


Namun Drajad mengingatkan bahwa kegembiraan ini jangan dicitrakan secra berlebihan. Pemerintah perlu menjelaskan kepada masyarakat apa saja kesepakatannya.


"Seandainya pemerintah mengumumkan hasil negosiasi dengan Freeport Indonesia (FI) apa adanya, tentu kita harus mengapresiasi," tegas Drajad.


Dradjad menyatakan, dia mendukung penuh usaha pemerintah mengambil alih saham mayoritas Freeport Indonesia. Drajad mengajak masyarakat untuk melakukan cek fakta.


Pertama, mengenai isi kesepakatan.


Tiga pihak, yaitu Indonesia (pemerintah dan Inalum), Freeport-McMoRan Inc. (FCX), dan Rio Tinto sepakat pada harga US$ 3.85 miliar atau sekitar Rp 55 triliun. Harga ini untuk pelepasan hak partisipasi Rio Tinto, plus saham FCX di Freeport Indonesia FI.


Untuk diketahui Rio Tinto terlibat dalam negosiasi karena dia ber-joint venture dengan FCX, di mana hingga 2021 dia berhak atas 40% dari produksi di atas level tertentu dan 40% dari semua produksi sejak 2022.


Jadi FCX pemilik mayoritas FI, tapi 40% produksinya sudah di-ijon-kan ke Rio Tinto. Jadi, selain saham FCX di FI, Indonesia juga harus membeli hak ijon ini.


Kedua, Proses pengambil aliham FI jauh dari tuntas.


Dikutip dari Bloomberg, Rio secara resmi menyatakan “Given the terms that remain to be agreed, there is no certainty that a transaction will be completed”.


Jadi, masih belum ada kepastian bahwa transaksinya akan tuntas.


Menurut Freeport dalam berita Bloomberg, isu besar itu adalah:


(a) hak jangka panjang FCX di FI hingga tahun 2041, (b) butir-butir yang menjamin FCX tetap memegang kontrol operasional atas FI, meskipun tidak menjadi pemegang saham mayoritas, dan (c) kesepakatan tentang isu lingkungan hidup, termasuk tentang limbah tailing.


Ketiga, cek fakta tentang kesepakatan harga yang katanya tercapai pada bulan Juli 2018.


Drajad menduga hal ini ada hubungannya dengan Izin Usaha Pertambangan FI yang habis di 4 Juli 2018. Melalui revisi SK Nomor 413K/30/MEM/2017, IUPK diperpanjang hingga 31 Juli 2018. Sejak 2017, IUPK ini sudah berkali-kali diperpanjang.


"Dugaan saya, ini tidak lepas dari fakta bahwa IUPK sementara (Izin Usaha Pertambangan Khusus) bagi FI habis pada 4 Juli 2018," jelas Drajad.


Keempat, masalah estimasi harga pembelian yang cenderung mahal.


Drajad belum bisa mejawab secara tegas mengenai hal ini. Namun faktanya Indonesia menerima harga yang sejak awal diminta oleh Rio Tinto sebesar US$ 3.5 milliyar.


"Saya belum bisa menjawabnya sekarang. Tapi, yang jelas, sejak lama Rio Tinto pasang harga di US$ 3.5 miliar. Tidak mau nego. Indonesia akhirnya menyerah, terima harga US$ 3.5 milyar, ditambah US$ 350 juta bagi FCX," ungkapnya.


Ada sebuah kasus pembanding, pada 1 November 2013 Indonesia “merebut kembali” Inalum dari Jepang.


Saat itu, NAA (Nippon Asahan Aluminium) ngotot dengan harga US$ 626 juta. Pemerintah ngotot US$ 558 juta. Jadi, ada selisih US$ 68 juta. Jepang akhirnya takluk.


Mungkin memang lebih mudah mengalahkan Jepang dibandingkan “koalisi” dari AS, Inggris dan Australia.


Kelima, fakta bahwa aset Inalaum sebesar 90 triliun rupiah yang akan membeli aset sebesar 55 triliun rupiah.


Dengan kesepakatan harga US$ 3.85 miliar, transaksi ini nilainya setara 61% aset Inalum.


"Saya ingatkan, jangan sampai Inalum over-stretched, yang bisa menjadi masalah besar di kemudian hari," jelasnya.


Berdasarkan fakta diatas makan sebenarnya Freeport Indonesia belum “direbut kembali”. Transaksi belum terjadi karena ada isu-isu besar yang belum tuntas.


Yang patut dikaji adalah pemerintah yang takluk dengan permintaan harga Rio Tinto. Kemudian pada saatnya kita harus membayar 55 triliun yang itu berpotensi menimbulkan masalah dikemudian hari bagi Inalum. Yang lebih merugikan adalah FCX ngotot kontrol operasional tetap mereka yang pegang.


"Qulil haqqa walau kaana murran," tutup Drajad

0 comments

    Leave a Reply